Mencari Shangri-La

By , Selasa, 21 April 2009 | 15:20 WIB

Tentu saja masalah yang ada dengan buku itu adalah masalah yang ada dengan segala narasi khayali: novel itu menganggap enteng hal negatif tak kurang dari penderitaan umat manusia seperti rasa cemburu, nafsu, ketamakan, dan ambisi. Kesimpulannya, hal tersebut membuat buku dan tema yang menyatukannya, Shangri-La, kelihatan menyederhanakan--benar-benar bertolak belakang dengan kota Shangri-La modern, sebuah tempat yang mungkin tak bisa lebih rumit dan kacau lagi.

Dalam kehidupan sebelumnya, Shangri-La adalah Zhongdian, kota pada ketinggian 3.160 meter di atas permukaan laut yang terletak di jalur perdagangan nan ramai, tepat di bagian timur beberapa ngarai terdalam dan paling dramatis di dunia. Tiga sungai besar--Yangtze, Mekong, dan Salween dipisahkan oleh rangkaian pegunungan yang menjulang dan dikenal di daerah itu sebagai Jinsha, Lancang, dan Nu—ketiga sungai mengalir di timur Himalaya, kemudian berbelok ke selatan dalam formasi sejajar ketat sebelum mengalir ke arah berbeda. Inilah kawasan terpencil yang dijelajahi Rock pada 1920-an dan 30-an.

Namun banyak yang telah berubah setelah itu. Pembalakan komersial skala besar dimulai pada 1950-an. Jalan-jalan membelah pegunungan dan ribuan hektar hutan tua dipapas dari lereng-lereng curam. Pada pertengahan 1990-an, lebih dari 80 persen pendapatan wilayah tersebut berasal dari aktivitas perkayuan. Kemudian pada 1998, sebagian karena penebangan berlebihan di kawasan tangkapan air Jinsha, sungai meluap. Hampir 4.000 orang meninggal dan jutaan lainnya kehilangan tempat tinggal. Sebagai tanggapan, pemerintah China melarang semua pembalakan komersial di kawasan Tiga Sungai.!break!

Zhongdian yang dipaksa untuk merevisi perekonomiannya beralih ke pariwisata, bermodalkan arsitektur kota yang unik dan kedekatannya pada geografi yang dahsyat. Saat itu Zhongdian tidak punya bandar udara, dan perlu dua hari di jalan tidak rata untuk mencapai kota dari Kunming, kota utama terdekat. Bandar udara dibangun pada 1999, dan jalan ke Kota Kunming diselesaikan setahun kemudian. Pada 2001, pendapatan dari industri pariwisata telah melampaui apa yang pernah diperoleh dari pembalakan.

Di tahun yang sama itu, lewat lobi yang signifikan, para pejabat lokal yang pintar dan oportunis mendapat izin dari Beijing untuk mengubah nama kota dan kabupaten mereka dengan Shangri-La—sebuah gebrakan pemasaran, mengingat betapa banyak kota di Yunnan dan Sichuan berlomba memanfaatkan nama Shangri-La yang terkenal. Roda Doa Fortunate Victory didirikan tahun berikutnya, dan hotel-hotel serta toko-toko cinderamata mulai bermunculan seperti jamur matsutake yang mahal yang dipanen orang-orang Tibet di musim panas untuk diekspor ke Jepang.

Pencapaian tertinggi dalam menarik wisatawan terjadi tahun 2003 ketika PBB secara resmi mengakui keanekaragaman hayati yang luar biasa dari ngarai sungai di sana dan memilih kawasan Tiga Sungai Sejajar sebagai situs Pusaka Dunia. Dalam sekejab, Shangri-La menjadi daerah paling menggairahkan yang baru bagi para pelancong China yang hendak mendaki gunung dan menikmati pengalaman di alam liar.

Tiga sungai besar yang diasupi badai muson itu mengeruk ngarai-ngarai yang teramat dalam, seringkali melebihi 3.000 meter, dua kali kedalaman rata-rata Grand Canyon. Situs Pusaka Dunia itu juga mencakup lebih dari 100 puncak gunung di atas 5.000 meter. Karena sudut kecuraman yang dramatis, ekosistem di daerah itu dapat bervariasi dari subtropis ke ekosistem mirip arktika dalam rentang berkilo-kilometer. !break!

Digambarkan oleh PBB sebagai “episentrum keanekaragaman hayati China,” Tiga Sungai Sejajar memiliki lebih dari 6.000 spesies tumbuhan berpembuluh—lebih dari 200 jenis azalea, 300 spesies pohon kayu, dan sekitar 500 tumbuhan obat. Dengan keanekaragaman flora seperti itu, fauna pun jadi melimpah. Sedikitnya, ada 173 mamalia—termasuk spesies langka seperti macan dahan dan sero merah (Naemorhedus baileyi yang berkerabat dengan sero Sumatra)—di samping lebih dari 400 jenis burung. Topografi yang ekstrem juga menyebabkan keanekaragaman manusia. Dipisahkan oleh sunga-sungai yang tidak terseberangi dan pegunungan menjulang, berbagai kelompok etnik tunggal mengembangkan bahasa dan tradisi yang unik untuk lingkungan mereka sendiri. Tiga Sungai Sejajar sedikitnya punya selusin kelompok etnik, termasuk suku Tibet, Yi, Naxi, Lisu, dan Nu, terdiri dari kira-kira 300.000 jiwa.

Penyematan gelar situs Pusaka Dunia bertujuan untuk melestarikan keanekaragaman lingkungan dan budaya yang tak tergantikan, maka adalah ironis bahwa piagam Tiga Sungai Sejajar tidak melindungi ketiga sungai itu sendiri. Salah satu alasannya adalah bahwa kebanyakan habitat alami di sepanjang ketiga sungai itu telah dipengaruhi permukiman manusia. Namun, mengecualikan ketiga sungai memiliki tujuan yang lain lagi: memenuhi kebutuhan China yang mendesak terhadap energi. Delapan puluh persen pasokan listrik negara China dipasok oleh pembangkit listrik tenaga batu bara. Namun batu bara adalah energi yang kotor dan polusi udara membahayakan kesehatan jutaan orang China. Pembangkit tenaga air yang sekarang menghasilkan 15 persen daya listrik China, mewakili alternatif yang nyata dan kontroversial. Selusin bendungan direncanakan untuk Jinsha, empat di antaranya sudah dalam pembangunan. Lancang telah memiliki tiga bendungan, dua lagi sedang dibangun, dan diusulkan hingga sembilan bendungan lagi. Hanya dua bendungan telah dibangun di Nu, tetapi porposal yang diusulkan pada 2003 menyebutkan 13 bendungan lagi. Cemas, para aktivis bekerja keras menyelamatkan sungai.

“Pembuatan bendungan-bendungan di Nu telah menjadi debat nasional di China,” kata Yu Xiaoang, pendiri Daerah Aliran Sungai Hijau. Sejauh ini Yu bersama dengan para jurnalis dan akademisi lingkungan telah ikut menghalangi pembangunan bendungan lebih lanjut di Nu dan mengurangi jumlah usulan bendungan ke depan, dari 13 menjadi empat. Namun mengingat membengkaknya kebutuhan energi China dan negara-negara sekitarnya—sebagian besar tenaga listrik ditujukan untuk diekspor—setidaknya beberapa usulan bendungan kemungkinan akan segera dibangun.!break!

Meski ngarai monumental terdekat gampang dijangkau dari berbagai hotel wisata di Shangri-La, hampir tidak satu pun keanekaragaman hayati dari kawasan Tiga Sungai Sejajar dapat dijumpai di dekat kota. Jika ada Shangri-La yang lain—sebuah tempat terasing dan damai yang mirip mite memikat dalam imajinasi kolektif kita—tempat itu pastilah berada di lokasi di mana Rock menemukan tempat brutal nan memperdaya yang diejawantahkan Hilton sebagai surga. Ke sanalah saya mencari Shangri-La yang lebih sejati.

Melintasi aliran salju di bawah deretan panji-panji doa yang berkelepak laksana cemeti, saya dan Rick Kent yang jadi rekan pendakian benar-benar tertiup keluar Celah Shu yang ketinggiannya 4.815 meter di atas permukaan laut, terlempar dari Provinsi Yunnan, melintasi perbatasan yang bebatuannya setajam pisau menuju Tibet. Kami menyeberang dari daerah aliran sungai (DAS) Lancang ke titik DAS Nu. Jarak lurus kedua sungai tersebut adalah 35 kilometer, tetapi lanskap di sini tak ada yang rata. Gunung Kawagebo, gunung tertinggi di Tiga Sungai Sejajar, menjulang hingga lebih dari 6.740 meter, puncaknya selama musim ini tertutup awan.