Keajaiban Gua

By , Jumat, 29 Mei 2009 | 13:10 WIB

Bobo sudah pernah menjelajahi lebih dari 700 gua. Dalam penjelajahan itu, dia pernah mengalami patah tulang punggung, otot sobek, jari kaki dan tangan terkilir, dan nyaris tewas akibat hipotermia. Namun, yang benar-benar membuat Bobo pilu adalah manakala ada gua yang cedera. Pada tahun 2001, dia mengunjungi sebuah gua yang stalaktit dan stalagmitnya dipatah-patahkan orang dengan semena-mena.

“Ratusan stalaktit dan stalagmit yang membutuhkan waktu jutaan tahun untuk pembentukannya hancur. Aku melihat ke sekeliling dan hatiku ikut hancur. Aku hanya bisa duduk menangis. Entah mengapa ada saja orang yang merasa perlu merusak sesuatu,” katanya dengan kepiluan yang tidak dibuat-buat. “Spesies langka yang sangat peka, yang tidak ditemukan di mana pun di dunia ini, hidup dalam iklim mikro gua. Belum lagi arkeologi! Seperti yang kita saksikan di Gua Jaguar.”

Kami memasuki jaringan gua itu melalui sebuah lubang rahasia yang berada di ketinggian hutan, menuruni tali sepanjang 10 meter. Setelah menuruni tali itu, kami meluncur turun menyusuri semacam selokan bergerigi, memasuki lintasan pertama dari puluhan lintasan yang ada, lalu mengikuti aliran sungai bawah tanah yang arusnya deras. Di saat kami bergerak menyusuri sungai sedalam 30 cm, Bobo menunjuk ke beberapa jenis binatang: jangkrik gua (Hadenoecus) yang pucat dan bersudut-sudut seperti tulang kerangka, ikan gua (Typhlichthys subterraneus) yang panjangnya 2,5 cm dan putih polos seperti hantu, kadal berlendir (Plethodon glutinosus) yang sehitam arang dan berlumuran lendir.

Dalam lintasan sungai besar dengan tepian berpasir di kedua sisinya, kami memeriksa jejak jaguar prasejarah yang ditinggalkan oleh dua jenis binatang sedikitnya 35.000 tahun yang lalu ketika mereka terperangkap. Yang bahkan lebih menakjubkan lagi, 274 jejak kaki manusia purba ditemukan di bagian gua yang dinamakan Jalan Aborigine, yang kini tertutup bagi para penjelajah. Dengan usia 4.500 tahun, jejak kaki itu adalah jejak kaki tertua dari manusia di Amerika Utara.!break!

Sebagaimana yang sudah diduga, para pengunjung masa kini pun meninggalkan tanda kunjungan mereka. Meskipun jejak jaguar purba telah dikelilingi dengan pita survei dan bebatuan, ada saja orang yang dengan sengaja menerobos pita itu, merusak sebagian besar tanda pembatas itu. Pintu masuk utama gua sekarang dihalangi dengan gerbang baja yang kokoh—gerbang pertama yang pembangunannya dibantu Bobo. Pencerahan yang dialaminya pada tahun 2001—bahwa gua perlu dilindungi—mengubah perjalanan hidup Bobo. Dia mendaftar ke sekolah kejuruan patri, lalu magang di Roy Powers, seorang perintis perancang gerbang gua. Sekarang, Bobo adalah salah seorang pembuat gerbang-gua terkemuka di Amerika Serikat. Dengan mengemban tugas dari badan pelestarian di tingkat negara bagian dan federal, Bobo sudah membangun lebih dari 50 gerbang gua, termasuk gerbang terbesar di dunia, penghalang dari baja dengan lebar 25 meter dan tinggi 10 meter yang membentang menghalangi jalan masuk ke Gua Rocheport di Boone County, Missouri, sampai akhirnya rusak akibat banjir beberapa tahun yang lalu.

Bobo dan rekan-rekannya sesama penjelajah gua TAG setara dengan para pendaki di Taman Nasional Yosemite: Pada tahun 1960an, kedua kelompok itu mengembangkan keterampilan dan perlengkapan yang melambungkan rekreasi mereka menjadi olahraga baru yang sulit dan berbahaya. Marion Smith adalah salah seorang penjelajah gua TAG pertama. Dengan terus terang dia mengakui bahwa menjelajahi gua bukan hanya sekadar hobi baginya, melainkan urat nadi kehidupannya. Dalam kurun beberapa dasawarsa, dia telah menjelajahi lebih dari 6.500 gua dan menyimpan catatan terperinci tentang semua penjelajahannya itu.Smith tinggal di Bone Cave Road di Rock Island, Tennessee. Ada sepuluh gua yang dapat ditempuh dengan berjalan kaki dari rumahnya. “Itulah sebabnya mengapa aku pindah ke sini,” katanya ketika kami pertama kali bertemu. Kami bercengkerama dengan nyaman di teras depan, minum limun, dan dia tak putus-putusnya berbicara tentang gua dan penjelajahan gua. Selama obrolan yang berlangsung sepihak itu, kuamati simpul nilon hijau yang mengelilingi pergelangan kakinya. Saat itu Smith berkaki telanjang, dan tampak jelas bahwa simpul itu tidak dapat dilepaskan.

“Aku menyebutnya simpul kecut sesuai dengan kata pengecut dalam sebuah kelompok,” katanya menjelaskan. Sambil menatapku tajam dengan mata birunya yang dihiasi kacamata tebal yang selalu tampak buram, Smith bercerita bahwa suatu ketika dia terjebak dalam “terowongan rendah yang untuk merayap pun sulit, lintasan besar berlumpur becek yang sangat rendah sehingga aku tidak bisa terus merayap. Aku berusaha mundur, tetapi lumpurnya sangat tebal sehingga aku terjerumus semakin dalam. Jadi, aku berteriak, ‘Hey! Ayo ke sini, dan tarik simpul kecutku!’”

MENJELAJAHI DUNIA BAWAH TANAH di bawah pegunungan yang rendah, rimbun, serta lembah bersungai di TAG adalah perjuangan, bukan hanya menghadapi batu dan lumpur, tetapi juga air. Sebagai pelajaran, Smith dan dua rekannya sesama penelusur gua mengajakku memasuki gua basah yang dialiri sungai. Diramalkan ada badai berat melanda kawasan itu. Jika hujan lebat berlangsung lama membasahi permukaan di atas kami, bisa-bisa kami terjebak di dalam gua yang kebanjiran. (Pada Desember 2007, dua orang pencinta gua di sistem gua Alum Pot di Inggris tewas dalam kejadian persis seperti ini.) Namun, Smith dan rekan-rekannya memutuskan agar kami harus terus. Jika air mulai meninggi, kami akan bergegas menuju langit-langit tertinggi dalam gua, bergelantungan, dan berharap.!break!

Setelah tiga jam melalui sejumlah lintasan yang dipenuhi lumpur berwarna dan bertekstur cokelat, kami mencapai lereng tegak lurus yang memerlukan alat panjat. Belum pernah ada orang yang melampaui titik ini. Kami memasang perlengkapan untuk turun dan menjatuhkan diri melalui tirai dinding batu—bahan kalsit yang membentuk stalaktit dan stalagmit—memasuki terowongan rendah lainnya yang dipenuhi air dan lumpur yang lebih dalam. Di baliknya terdapat labirin rumit yang terdiri atas sejumlah terowongan yang belum pernah dijelajahi dan kami berniat untuk menyusurinya hingga ke ujung.

Mungkin yang kami jelajahi adalah lintasan perawan sepanjang 120 meter dan lalu membawa kami di sebuah rekahan di lantai. Dengan mengarahkan lampu ke bawah melalui celah itu, kami dapat melihat air, tetapi turun ke sana pastilah sulit. Hore! Aku pun mengajukan diri untuk melakukannya (dan Smith tahu bahwa aku pasti begitu). Dengan melakukan teknik chimneying, punggungku menempel di satu dinding, sementara lututku mengenai dinding yang lain, dengan gerakan yang kaku tubuhku meluncur menuruni celah itu memasuki air yang dinginnya membuat beku. Kakiku tak dapat menyentuh dasarnya, sehingga meskipun tidak mengenakan baju selam (wet suit), aku terpaksa harus berenang. Semakin jauh aku berenang, semakin rendah pula langit-langitnya. Akhirnya, kepalaku harus dimiringkan untuk tetap berada di ruang udara yang sempit. Air yang hitamnya laksana tinta itu memasuki mulutku dengan sewenang-wenang. Aku menyelam, meraba-raba dinding dengan tangan, mencari apakah ada lubang, kemudian menyeruak lagi ke permukaan, dengan kepala membentur langit-langit, megap-megap mencari udara, tetapi malah menelan air.

“Kurasa kau sudah mengerti sekarang bahwa penelusuran gua-gua di TAG bukanlah untuk orang cengeng,” kata Smith kemudian, tersenyum seperti anak lelaki yang naif. “Kebanyakan gua memang kondisinya benar-benar jelek. Itu kalau kau memang ingin tahu yang sebenarnya. Kebanyakan tidak membawa kita ke formasi lapisan batu yang megah, kristal raksasa, atau pemandangan serba cantik yang ditampilkan dalam banyak gambar. Namun, kami selalu mencari, dan sesekali… sesekali kami menemukan harta karun.…” Suara Smith seakan-akan menerawang.

Pada tahun 1998, Smith menemukan salah satu temuan paling hebat di TAG dalam 25 tahun ini. Dengan mendorong tubuhnya melewati cengkeraman celah yang menyakitkan di Gua Rumbling Falls di Tennessee tengah, dia memasuki bibir ruang hampa. Sinar lampu kepalanya ibarat menghilang dalam kegelapan yang amat pekat.