Keajaiban Gua

By , Jumat, 29 Mei 2009 | 13:10 WIB

Si Domba menyisipkan tubuhnya melalui Mulut Liang. Sambil mengerang dan mencakar, dengan leher terpilin, kepalanya yang putih menggesek bebatuan. Untuk menjejalkan tubuh melalui lubang seukuran bola basket ini dia harus meliuk-liukkan tubuhnya seperti gerakan yoga—kedua lengan di atas kepala seperti menyelam, pinggul dengan tidak nyaman diputar berlawanan dengan dada, tungkai menekuk di bawah. Mulut Liang berada di ujung terowongan mirip usus yang terpilin dan Marion “Si Domba” Smith adalah orang terakhir dari enam anggota tim penjelajah yang meliuk-liuk melewatinya. Tugas itu dia tuntaskan dengan kelenturan seorang penelusur gua kawakan yang tak henti-hentinya bersumpah serapah.!break!

“Asal tahu saja,” kata Kristen Bobo berpaling kepadaku sambil berhati-hati agar lampu kepalanya tidak menyilaukan mataku, “semakin suka Marion pada suatu gua, semakin sering dia bersumpah serapah.” Bobo, 38 tahun, adalah pencinta gua juga. Dengan tubuhnya yang mungil seperti tubuh anak kecil, tetapi sekuat buruh tambang, dengan mata besar yang ramah yang menyembunyikan keteguhan tak tergoyahkan seperti batang besi, dia meluncur dengan mudah melalui Si Lubang Kecil dengan kegesitan seekor ular.

Si Domba melesat keluar, terjerembab ke tanah, lalu menyatakan dengan aksen orang selatan yang serak, “Apa yang terpuruk akhirnya harus bangkit.” Begitulah cara Smith yang jenaka untuk mengatakan bahwa kami berada ratusan meter di bawah perbukitan Tennessee dan kami akan harus melalui Mulut Liang untuk bisa pulang.

Smith yang pekerjaannya adalah sejarawan dan kini berusia 62 tahun memiliki otot yang lembut, panjang, dan ramping, dengan kulit yang amat putih sehingga kita mungkin mengira bahwa dia menghabiskan seluruh hidupnya di bawah tanah. Memang, boleh dikatakan begitulah adanya. Dia mulai menelusuri gua pada 1966 dan sejak itu boleh dikatakan keluar-masuk gua hampir setiap pekan. Dia sudah menjelajahi lebih dari 80 kilometer lorong perawan, biasanya sambil merayap. Berpenampilan keras dan kuat, tangguh, dan senang bicara, Smith sudah menelusuri gua, lebih banyak dari siapa pun di AS.

Sambil beristirahat setelah adu gulat dengan Mulut Liang, kami mematikan lampu kepala untuk menghemat baterai. Kegelapan yang nyata menyelubungi kami. Orang yang selalu berada di permukaan tanah tidak pernah mengalami kegelapan yang sepekat ini. Di permukaan tanah, bahkan saat malam yang paling kelam sekalipun, selalu ada sejumput cahaya entah dari mana. Cahaya bintang atau sinar bulan atau cahaya api atau seulas cahaya lampu dapur di bawah pintu kamar tidur. Mata pun menyesuaikan diri. Tetapi, tidak demikian keadaannya di dalam usus Bumi yang gelap. Di sini, kegelapan begitu pekat sehingga jika tangan kita letakkan satu sentimeter di depan wajah selama yang kita kehendaki, kita tetap tidak bisa melihatnya. Ini adalah kegelapan purba yang tidak terganggu, kegelapan yang sudah ada di sini sejak fajar dunia.

Kami berada di cabang Gua Jaguar yang baru ditemukan, labirin terowongan yang membingungkan menembusi lapisan tebal batu gamping di bawah lahan pertanian dan lereng bukit yang ditumbuhi pepohonan di bagian tengah-utara Tennessee. Dengan tanahnya yang berlubang-lubang seperti keju Swiss, Tennessee adalah bagian dari kawasan yang oleh para penelusur gua dinamakan TAG, akronim untuk Tennessee-Alabama-Georgia. Ketiga negara bagian tersebut berada di ujung selatan sabuk batu gamping yang terbentuk ratusan juta tahun yang lalu ketika kawasan itu tertutup oleh laut purba. Di mana ada batu gamping, pasti ada gua karena batu gamping rawan korosi air yang agak asam. Dalam kurun jutaan tahun, penghancuran yang berlangsung lambat ini telah mengisi lapisan bebatuan dengan terowongan dan relung, menciptakan dunia bawah tanah yang kemungkinan penjelajahannya nyaris tanpa batas. Terdapat lebih dari 14.000 gua yang sudah dikenal di TAG—9.200 di Tennessee, 4.800 di Alabama, dan 600 di Georgia—dan ada tabiat khas para penelusur gua yang keras hati untuk menjelajahi semua gua itu.!break!

Manusia sudah menjelajahi Gua Jaguar sejak zaman prasejarah, tetapi jaringan gua tersebut begitu luas sehingga saluran yang tak dikenal dan terowongan berusia jutaan tahun masih tetap terus ditemukan. Kami yang kembali bergerak merayap dan mendaki dan menari dan mendorong, akhirnya muncul di sebuah ruang gua bawah tanah yang besar. Smith mengenal pepatah yang mengatakan bahwa “arah gua itu bisa drop, pop, atau stop” yang artinya bisa tegak lurus ke bawah, menyeruak, atau buntu. Gua yang satu ini menyeruak. Bahkan dengan lampu kepala yang dipasang paling terang pun, kami nyaris tidak bisa melihat dinding di sekitar kami. Ruangan itu sebesar gimnasium yang kecil, tetapi langit-langitnya sangatlah tinggi.

“Lihat ke atas dan ke kanan,” kata Bobo mengarahkan. Di saat kami menyorotkan lampu kepala menerangi dinding batu yang basah, telihatlah seutas tali, menggantung dari kegelapan di atas. Seorang demi seorang memanjat tali itu. Di puncak gua yang berbentuk kubah, kami melipir gigir gua yang curam di atas tebing setinggi tujuh lantai yang tak terlihat dan yang baru saja kami panjat. Kemudian, kami kembali memasuki sebuah terowongan. Terowongan itu cukup besar sehingga kami dapat berdiri dan berjalan lebih dari 400 meter sampai lintasan tersebut tersumbat rapat oleh tumpukan batu besar dan tanah—itulah reruntuhan dari langit-langit gua yang runtuh.

Hanya sampai di sinilah orang bisa menjelajahinya. Tim kami yakin lintasan tersebut masih terus berlanjut di balik reruntuhan sehingga sasaran kami adalah “menerobos” gua itu: terus maju melampaui yang sudah diketahui, menuju tempat asing yang tak. Kami membagi diri menjadi dua kelompok, kelompok pemetaan dan penggali. Smith dan Bobo akan menyigi lintasan yang melingkar; aku mengajukan diri untuk menjadi penggali.Ketika giliranku tiba, aku tengkurap dan merayap ke ujung lubang di bawah reruntuhan. Dengan tubuh menelungkup, langit-langit menekan leher, dinding yang serasa menjepit sisi tubuhku, kujulurkan sekop ke depan dan dengan penuh semangat menggali dinding tanah itu. Bongkahan tanah berjatuhan di sekelilingku seraya aku terus menggali seperti seekor luwak yang mengamuk. Beberapa kali aku mengisi baki seret, mendorongnya ke bawah tubuhku, lalu mendorong ke belakang dengan tendangan seperti katak, yang kemudian dikosongkan oleh penggali yang lain. Tetapi, tidak lama kemudian, lubang itu menjadi terlalu sempit, dan aku tidak lagi memerlukan baki seret, tetapi menggunakan tangan sebagai sekop untuk mengumpulkan tanah ke sekeliling tubuhku.

Setelah 30 menit berlalu, aku berhasil maju kira-kira 1,5 meter, kedua lenganku terasa sakit dan tubuhku bersimbah keringat. Aku hampir saja menyerah ketika sekopku terasa menerobos sesuatu. Dengan penuh semangat aku mengeruk lubang dan menjulurkan kepalaku melalui lubang itu. Tampak di depanku lintasan berbentuk segitiga yang hanya cukup untuk merayap. Dengan adrenalin yang menggelegak, aku berusaha menyeret tubuhku memasuki lintasan baru tersebut, tetapi dadaku tersangkut tidak bisa bergerak.

Sejak awal, aku memang terlalu memusatkan perhatianku sepenuhnya pada penggalian agar bisa cepat keluar dari kegelapan, terlepas dari perasaan mencekam karena claustrophobia--tidak nyaman berada dalam ruangan sempit. Namun sekarang, di saat terjebak bak seekor tikus di tenggorokan ular, kecemasan yang pahit menerkam diriku. Dengan sengit kutendang-tendang kakiku, tetapi tidak ada hasil: aku seakan berenang dalam kubangan tanah. Kusadari bahwa dengan tidak menggunakan baki seret untuk membuang tanah galian, aku telah mengubur diriku sendiri.Kucoba menenangkan pikiranku yang kalang kabut, tetapi pikiranku penuh dengan jutaan ton bebatuan di atas kepalaku. Aku pernah mendengar bahwa gua jarang runtuh, tetapi lihatlah keadaanku sekarang, terjebak di dasar reruntuhan, di dalam gua yang jelas-jelas runtuh. Kuusahakan untuk mengatur nafasku yang memburu karena aku juga pernah mendengar bahwa pernapasan yang berlebihan dapat mengembangkan paru-paru dan hanya akan memperketat cengkeraman badan yang tersangkut. Memang itulah yang terjadi. Tiba-tiba saja aku meronta-ronta tanpa kenal malu, menendang dan mencengkeram dan menggeliat. Lampu helmku sampai terlepas, dan sekelilingku pun menjadi gelap gulita.!break!

PENELUSUR GUA TIDAK SEPERTI kebanyakan orang. “Aku tidak merasakan claustrophobia,” kata Kristen Bobo menjelaskan. Saat itu hari sudah senja, dan kami duduk di kursi goyang dari kayu di pekarangan rumahnya yang rindang di Cookeville, Tennessee. “Bahkan, aku merasa sangat nyaman jika dinding di depanku hanya berjarak 15 sentimeter atau kurang.” Selama tiga tahun berturut-turut, Bobo yang tingginya 1,6 meter dan bobotnya 46 kilogram memenangi lomba “squeeze box” di kelas yang sesuai dengan usia dan berat badannya. Sebagai benda yang selalu ada di pesta para penelusur gua (pesta mabuk-mabukan yang terkenal menyajikan bir murah dan api unggun besar), squeeze box tampak seperti alat penyiksa abad pertengahan. Dua lembar kayu lapis disusun berlapis dengan ruang di antaranya dapat terus dipersempit dengan selang jarak setengah sentimeter. Bobo dapat meluncur melalui ruangan setebal 16 cm.

Meskipun sudah mengenakan helm, sarung tangan, bantalan siku, bantalan tulang kering, bantalan lutut, dan baju nilon, Bobo masih saja dipenuhi luka dan memar dalam perjalanan kami di Gua Jaguar. “Ini sudah biasa,” katanya dengan gaya tidak peduli. “Penelusur gua terlalu terobsesi sehingga tidak terlalu memikirkan hal sepele begini. Kami semua hanya ingin segera kembali ke bawah tanah. Kami menyebutnya demam gua. Kalian dapat melihatnya dalam mata kami—ada binar yang khas.”

Bobo sudah pernah menjelajahi lebih dari 700 gua. Dalam penjelajahan itu, dia pernah mengalami patah tulang punggung, otot sobek, jari kaki dan tangan terkilir, dan nyaris tewas akibat hipotermia. Namun, yang benar-benar membuat Bobo pilu adalah manakala ada gua yang cedera. Pada tahun 2001, dia mengunjungi sebuah gua yang stalaktit dan stalagmitnya dipatah-patahkan orang dengan semena-mena.

“Ratusan stalaktit dan stalagmit yang membutuhkan waktu jutaan tahun untuk pembentukannya hancur. Aku melihat ke sekeliling dan hatiku ikut hancur. Aku hanya bisa duduk menangis. Entah mengapa ada saja orang yang merasa perlu merusak sesuatu,” katanya dengan kepiluan yang tidak dibuat-buat. “Spesies langka yang sangat peka, yang tidak ditemukan di mana pun di dunia ini, hidup dalam iklim mikro gua. Belum lagi arkeologi! Seperti yang kita saksikan di Gua Jaguar.”

Kami memasuki jaringan gua itu melalui sebuah lubang rahasia yang berada di ketinggian hutan, menuruni tali sepanjang 10 meter. Setelah menuruni tali itu, kami meluncur turun menyusuri semacam selokan bergerigi, memasuki lintasan pertama dari puluhan lintasan yang ada, lalu mengikuti aliran sungai bawah tanah yang arusnya deras. Di saat kami bergerak menyusuri sungai sedalam 30 cm, Bobo menunjuk ke beberapa jenis binatang: jangkrik gua (Hadenoecus) yang pucat dan bersudut-sudut seperti tulang kerangka, ikan gua (Typhlichthys subterraneus) yang panjangnya 2,5 cm dan putih polos seperti hantu, kadal berlendir (Plethodon glutinosus) yang sehitam arang dan berlumuran lendir.

Dalam lintasan sungai besar dengan tepian berpasir di kedua sisinya, kami memeriksa jejak jaguar prasejarah yang ditinggalkan oleh dua jenis binatang sedikitnya 35.000 tahun yang lalu ketika mereka terperangkap. Yang bahkan lebih menakjubkan lagi, 274 jejak kaki manusia purba ditemukan di bagian gua yang dinamakan Jalan Aborigine, yang kini tertutup bagi para penjelajah. Dengan usia 4.500 tahun, jejak kaki itu adalah jejak kaki tertua dari manusia di Amerika Utara.!break!

Sebagaimana yang sudah diduga, para pengunjung masa kini pun meninggalkan tanda kunjungan mereka. Meskipun jejak jaguar purba telah dikelilingi dengan pita survei dan bebatuan, ada saja orang yang dengan sengaja menerobos pita itu, merusak sebagian besar tanda pembatas itu. Pintu masuk utama gua sekarang dihalangi dengan gerbang baja yang kokoh—gerbang pertama yang pembangunannya dibantu Bobo. Pencerahan yang dialaminya pada tahun 2001—bahwa gua perlu dilindungi—mengubah perjalanan hidup Bobo. Dia mendaftar ke sekolah kejuruan patri, lalu magang di Roy Powers, seorang perintis perancang gerbang gua. Sekarang, Bobo adalah salah seorang pembuat gerbang-gua terkemuka di Amerika Serikat. Dengan mengemban tugas dari badan pelestarian di tingkat negara bagian dan federal, Bobo sudah membangun lebih dari 50 gerbang gua, termasuk gerbang terbesar di dunia, penghalang dari baja dengan lebar 25 meter dan tinggi 10 meter yang membentang menghalangi jalan masuk ke Gua Rocheport di Boone County, Missouri, sampai akhirnya rusak akibat banjir beberapa tahun yang lalu.

Bobo dan rekan-rekannya sesama penjelajah gua TAG setara dengan para pendaki di Taman Nasional Yosemite: Pada tahun 1960an, kedua kelompok itu mengembangkan keterampilan dan perlengkapan yang melambungkan rekreasi mereka menjadi olahraga baru yang sulit dan berbahaya. Marion Smith adalah salah seorang penjelajah gua TAG pertama. Dengan terus terang dia mengakui bahwa menjelajahi gua bukan hanya sekadar hobi baginya, melainkan urat nadi kehidupannya. Dalam kurun beberapa dasawarsa, dia telah menjelajahi lebih dari 6.500 gua dan menyimpan catatan terperinci tentang semua penjelajahannya itu.Smith tinggal di Bone Cave Road di Rock Island, Tennessee. Ada sepuluh gua yang dapat ditempuh dengan berjalan kaki dari rumahnya. “Itulah sebabnya mengapa aku pindah ke sini,” katanya ketika kami pertama kali bertemu. Kami bercengkerama dengan nyaman di teras depan, minum limun, dan dia tak putus-putusnya berbicara tentang gua dan penjelajahan gua. Selama obrolan yang berlangsung sepihak itu, kuamati simpul nilon hijau yang mengelilingi pergelangan kakinya. Saat itu Smith berkaki telanjang, dan tampak jelas bahwa simpul itu tidak dapat dilepaskan.

“Aku menyebutnya simpul kecut sesuai dengan kata pengecut dalam sebuah kelompok,” katanya menjelaskan. Sambil menatapku tajam dengan mata birunya yang dihiasi kacamata tebal yang selalu tampak buram, Smith bercerita bahwa suatu ketika dia terjebak dalam “terowongan rendah yang untuk merayap pun sulit, lintasan besar berlumpur becek yang sangat rendah sehingga aku tidak bisa terus merayap. Aku berusaha mundur, tetapi lumpurnya sangat tebal sehingga aku terjerumus semakin dalam. Jadi, aku berteriak, ‘Hey! Ayo ke sini, dan tarik simpul kecutku!’”

MENJELAJAHI DUNIA BAWAH TANAH di bawah pegunungan yang rendah, rimbun, serta lembah bersungai di TAG adalah perjuangan, bukan hanya menghadapi batu dan lumpur, tetapi juga air. Sebagai pelajaran, Smith dan dua rekannya sesama penelusur gua mengajakku memasuki gua basah yang dialiri sungai. Diramalkan ada badai berat melanda kawasan itu. Jika hujan lebat berlangsung lama membasahi permukaan di atas kami, bisa-bisa kami terjebak di dalam gua yang kebanjiran. (Pada Desember 2007, dua orang pencinta gua di sistem gua Alum Pot di Inggris tewas dalam kejadian persis seperti ini.) Namun, Smith dan rekan-rekannya memutuskan agar kami harus terus. Jika air mulai meninggi, kami akan bergegas menuju langit-langit tertinggi dalam gua, bergelantungan, dan berharap.!break!

Setelah tiga jam melalui sejumlah lintasan yang dipenuhi lumpur berwarna dan bertekstur cokelat, kami mencapai lereng tegak lurus yang memerlukan alat panjat. Belum pernah ada orang yang melampaui titik ini. Kami memasang perlengkapan untuk turun dan menjatuhkan diri melalui tirai dinding batu—bahan kalsit yang membentuk stalaktit dan stalagmit—memasuki terowongan rendah lainnya yang dipenuhi air dan lumpur yang lebih dalam. Di baliknya terdapat labirin rumit yang terdiri atas sejumlah terowongan yang belum pernah dijelajahi dan kami berniat untuk menyusurinya hingga ke ujung.

Mungkin yang kami jelajahi adalah lintasan perawan sepanjang 120 meter dan lalu membawa kami di sebuah rekahan di lantai. Dengan mengarahkan lampu ke bawah melalui celah itu, kami dapat melihat air, tetapi turun ke sana pastilah sulit. Hore! Aku pun mengajukan diri untuk melakukannya (dan Smith tahu bahwa aku pasti begitu). Dengan melakukan teknik chimneying, punggungku menempel di satu dinding, sementara lututku mengenai dinding yang lain, dengan gerakan yang kaku tubuhku meluncur menuruni celah itu memasuki air yang dinginnya membuat beku. Kakiku tak dapat menyentuh dasarnya, sehingga meskipun tidak mengenakan baju selam (wet suit), aku terpaksa harus berenang. Semakin jauh aku berenang, semakin rendah pula langit-langitnya. Akhirnya, kepalaku harus dimiringkan untuk tetap berada di ruang udara yang sempit. Air yang hitamnya laksana tinta itu memasuki mulutku dengan sewenang-wenang. Aku menyelam, meraba-raba dinding dengan tangan, mencari apakah ada lubang, kemudian menyeruak lagi ke permukaan, dengan kepala membentur langit-langit, megap-megap mencari udara, tetapi malah menelan air.

“Kurasa kau sudah mengerti sekarang bahwa penelusuran gua-gua di TAG bukanlah untuk orang cengeng,” kata Smith kemudian, tersenyum seperti anak lelaki yang naif. “Kebanyakan gua memang kondisinya benar-benar jelek. Itu kalau kau memang ingin tahu yang sebenarnya. Kebanyakan tidak membawa kita ke formasi lapisan batu yang megah, kristal raksasa, atau pemandangan serba cantik yang ditampilkan dalam banyak gambar. Namun, kami selalu mencari, dan sesekali… sesekali kami menemukan harta karun.…” Suara Smith seakan-akan menerawang.

Pada tahun 1998, Smith menemukan salah satu temuan paling hebat di TAG dalam 25 tahun ini. Dengan mendorong tubuhnya melewati cengkeraman celah yang menyakitkan di Gua Rumbling Falls di Tennessee tengah, dia memasuki bibir ruang hampa. Sinar lampu kepalanya ibarat menghilang dalam kegelapan yang amat pekat.

“Kulemparkan batu dari tepinya dan menghitung beberapa detik,” kata Smith. “Kuhitung sedikitnya empat detik, yang berarti kedalamannya 60 meter atau lebih.”

Meskipun Smith dan timnya tidak mengetahuinya pada saat itu, yang mereka temukan adalah Rumble Room, sebuah ruang gua berukuran sekitar 100 meter, dari lantai ke langit-langit, dan luasnya 1,5 hektare. Catatan lengkap tentang ukuran gua memang tidak ada, tetapi tidaklah berlebihan jika dikatakan bahwa Rumble Room mungkin merupakan ruangan terluas di Amerika Serikat bagian timur, dan kedua terluas di seluruh negeri. “Ini adalah temuan yang diimpikan pencinta gua selama hidupnya,” ujar Smith.

Hasrat untuk melihat sesuatu yang belum pernah dilihat orang, “itulah yang utama bagi kebanyakan penelusur gua,” kata Bobo membenarkan. “Di permukaan, hanya tinggal sedikit tempat yang belum terjamah, tetapi di bawah sini masih ada dunia liar yang benar-benar belum terjamah.”!break!

KETIKA TERJEBAK DI GUA JAGUAR, pada akhirnya aku berhasil menenangkan diri. Aku tak punya pilihan lain selain berbaring saja di situ dan membiarkan tubuhku tak bergerak. Bajuku basah kuyup oleh keringat sehingga rasanya aku bisa tergelincir di dalamnya. Dengan upaya luar biasa aku dorong sedikit dadaku yang berjaket dan tiba-tiba saja tubuhku tergelincir memasuki ruang di depanku.

Di saat merayap maju, tidak lama kemudian aku berhadapan lagi dengan dinding tanah. Kukira itu jalan buntu, tetapi kemudian sinar lampu kepalaku menunjukkan sebuah lubang amat kecil di atas. Ketika kutempelkan wajahku ke lubang itu, dapat kurasakan semilir udara. Petuah lain dari sekian banyak petuah perguaan yang disampaikan Smith adalah “jika bertiup, pasti bergerak.” Mendadak saja aku menggali dengan penuh semangat. Aku terbawa oleh dorongan naluriah yang menggebu-gebu untuk terus menerobos untuk melihat ada apa di sisi sebelah sana—inilah demam gua.

Aku langsung menyekop batu, tetapi berhasil menarik beberapa bongkah batu sebesar bola sepak. Sambil mengangkat tangan dengan gencar ke atas menembus lubang itu, kupelintir tubuhku, kuputar, dan aku menggeram, menyebabkan kulit dada dan perutku terkelupas, tetapi astaga! Aku berhasil menerobos masuk ke sebuah kamar yang amat sangat luas.

Perasaanku gembira luar biasa, mungkin karena pada akhirnya berhasil menembus lubang yang di kemudian hari kami juluki Colonoscopy, sama seperti berhasil mencapai tempat yang belum pernah terjamah manusia. Satu jam kemudian, setelah menggali dan terus menggali lagi, seluruh tim berhasil menerobos Colonoscopy, lalu kami mulai menjelajahi relung gua itu dengan semestinya. Di mata penelusur gua yang terlatih, begitu banyak temuan di situ: Setumpuk tulang kelelawar purba. Kerangka binatang pengerat prasejarah. Stalaktit dengan bentuk pipa yang tidak lazim. Fosil crinoid (kelas satwa yang berkerabat dengan bintang laut) yang masih utuh, hewan dasar laut dengan lengan berbulu yang digunakan untuk makan.

Sebuah lubang kecil seakan memberi isyarat di ujung relung baru itu. Bobo yang tubuhnya paling kecil akhirnya berhasil menerobos. Kami bisa mendengar teriakannya yang riang gembira. Dia menemukan heliktit berwarna putih bersih, formasi mirip laba-laba yang belum pernah ditemukan di Gua Jaguar.

“Semuanya benar-benar indah menawan,” seru Bobo ketika muncul kembali dari lubang itu. “Mungil, rapuh, seperti bunga langka yang membeku dalam waktu. Dan…” Tubuhnya gemetar karena sangat gembira dan jelas sekali ada lagi sesuatu yang tidak dapat disembunyikannya. Aku menoleh kepada si Domba dan tampak matanya berbinar seperti binatang malam yang kita lihat sekilas di balik api unggun. Dia sudah tahu apa yang akan dikatakan Bobo.

“Gua itu masih panjang! Aku bisa melihat ada lintasan yang berlanjut, tapi tubuhku tidak cukup kecil untuk bisa memasuki lubang itu.”