Iman yang Terlupakan

By , Jumat, 29 Mei 2009 | 13:08 WIB

PASKAH DI JERUSALEM bukanlah untuk pengecut. Kota Tua yang bahkan kalut dan hiruk pikuk di saat-saat yang paling tenang pun tampak benar-benar gusar dalam beberapa hari menjelang hari suci itu. Puluhan ribu umat Kristen dari seluruh pelosok dunia tumpah ruah seperti gerombolan penakluk, memenuhi berbagai jalanan sempit dan gang kuno di Via Dolorosa. mencari ikatan rohaniah di hamparan bebatuan dingin atau, mungkin, sisa-sisa kegalauan yang dialami Yesus pada beberapa jam terakhir sisa hidupnya. !break!

Setiap wajah di muka Bumi tampaknya melayang melalui jalanan ini di saat Paskah, manusia dengan mata, rambut, dan warna kulit yang beragam, dandanan dan gaya busana beraneka jenis, mulai dari penganut Kristen dari Afrika yang bermata biru dan berkulit hitam yang mengenakan dashikis yang membuat mata terbelalak, hingga penganut Kristen dari Finlandia yang berpakaian seperti Yesus bermahkota duri penuh darah, hingga penganut Kristen dari Amerika yang memakai sepatu kets dan topi bertuliskan “I [heart] Israel”, yang jelas siap terjun ke medang perang Armageddon.

Mereka datang karena di tempat inilah agama Kristen bermula. Di sini di Jerusalem dan di tanah sekitarnya adalah perbukitan berbatu tempat Yesus berjalan, mengajar, dan wafat—dan kemudian menjadi tempat para pengikutnya berdoa, menumpahkan darah, dan bertarung tentang bagaimana seharusnya ajaran Yesus. Di samping kumpulan bangsa Yahudi yang berpindah agama di gua-gua Palestina dan Suriah, bangsa Arab adalah juga yang pertama mendapat perlakuan buruk akibat menganut keyakinan baru tersebut. Mereka-mereka yang pertama dinamakan umat Kristen. Di sinilah, di Levant—sebuah wilayah geografis yang mencakup Suriah, Lebanon, Yordania, Israel, dan Palestina masa kini—dibangun ratusan gereja dan biara setelah Konstantin si kaisar Romawi melegalkan agama Kristen pada tahun 313 dan mengumumkan bahwa provinsi-provinsi kekaisarannya di Levant sebagai tanah suci. Bahkan setelah kaum Muslimim Arab menaklukkan wilayah itu pada 638 pun, daerah itu tetap didominasi umat Kristen.

Ironis, justru pada masa Perang Salib-lah (1095-1291) umat Kristen Arab secara berangsur-angsur mulai surut menjadi kaum minoritas. Di masa itu, umat Kristen Arab bersama kaum Muslimin dibantai oleh para prajurit Perang Salib dan terperangkap dalam pertempuran antara Islam dan Kristen Barat. Dewasa ini, penduduk asli yang beragama Kristen di Levant adalah duta dari dunia yang terlupakan, yang terus mempertahankan semangat menyala-nyala dari gereja masa awal. Komunitas mereka yang terdiri atas berbagai aliran Ortodoks, Katolik, dan Protestan jumlahnya menyusut pada seabad ini dari 25 persen menjadi sekitar 8 persen dari populasi karena generasi masa kini pergi demi alasan ekonomi, demi menghindari kekerasan di wilayah itu, atau karena memiliki kerabat di dunia Barat yang membantu mereka hijrah. Sungguh memilukan bahwa kepergian mereka membuat Levant harus kehilangan warganya yang berpendidikan paling baik dan yang paling moderat pandangan politiknya—orang-orang yang justru paling diperlukan oleh masyarakat. Jadi, bagi umat Kristen Arab di Jerusalem, terasa ada suasana meriah saat Paskah, seakan setelah masa cobaan yang sepi dan lama, penguat hati yang sangat diperlukan itu pun tiba.

Di sebuah apartemen kecil di pinggiran kota, sepasang suami-istri muda Palestina penganut Kristen yang kusebut saja sebagai Lisa dan Mark sedang mempersiapkan diri menyambut kemeriahan Paskah. Lisa, yang masih bercelana jeans dan berkaus oblong, sedang sibuk membantu putrinya yang berusia 18 bulan, Nadia, mengenakan baju Paskah berwarna putih. Mark yang masih berpiama berupaya tanpa hasil agar putranya yang berusia tiga tahun, Nate, mau mengenakan setelan celana dan rompi barunya. Mark juga berupaya agar Nate yang ingin bergaya a la Spiderman atau Attila the Hun tidak merusak TV, lukisan bayi Yesus di dinding, atau vas bunga di atas meja. Mark si lelaki bertubuh besar yang tidak sabaran itu menyeringai kelelahan. Saat itu jam menunjukkan pukul 8.00 di pagi bulan Mei yang dingin menggigit dan Mark sudah mandi keringat. Namun demikian, ini adalah hari Paskah, saat untuk bersikap optimistis dan berharap dan ini adalah hari yang istimewa.

Ini adalah paskah pertama bagi Mark untuk diperbolehkan merayakannya bersama keluarga di Jerusalem. Dia berasal dari Bethlehem di Tepi Barat, jadi KTP-nya diterbitkan oleh Otoritas Palestina; dia memerlukan izin dari Israel untuk berkunjung ke Jerusalem. Lisa yang keluarganya tinggal di Kota Tua punya memiliki KTP Israel. Jadi, meski keduanya sudah menikah selama lima tahun dan menyewa apartemen di pinggiran kota Jerusalem, menurut hukum Israel mereka tidak bisa tinggal di bawah satu atap. Mark tinggal bersama orang tuanya di Bethlehem yang jaraknya lebih dari sembilan kilometer, tetapi seakan-akan 100 kilometer, jauh dari pos pemeriksaan Israel dan tembok beton setinggi 7 meter yang dikenal sebagai Dinding.!break!

Mark merasa sangat sedih karena “80 persen teman-teman sesama Kristen yang bersama mereka saya tumbuh dewasa bersama telah pergi ke negara lain untuk mencari kerja.”

Namun, dia memahami alasannya. Sebagai pekerja sosial terlatih yang memiliki gelar di bidang sosiologi, Mark sudah berusaha mencari pekerjaan, apa saja, selama hampir dua tahun. “Kami dikelilingi dinding raksasa ini dan tidak ada pekerjaan,” katanya. “Ini seperti percobaan ilmiah. Jika kita mengurung tikus dalam ruang tertutup dan luas ruangan itu dibuat semakin sempit setiap hari dan menerapkan berbagai hambatan baru serta terus-menerus mengubah peraturan, lama kelamaan tikus akan menjadi gila dan mulai saling memangsa. Seperti itulah keadaannya.”

Bagi siapa pun yang tinggal di wilayah Israel atau Palestina, stres adalah sesuatu yang lazim. Namun, 196.500 orang Arab Palestina dan Arab Israel yang beragama Kristen, yang jumlahnya menyusut dari 13 persen populasi pada 1894 menjadi kurang dari 2 persen sekarang, menghuni daerah yang membuat sesak yang diapit oleh bangsa Yahudi Israel yang dilanda trauma dan Muslim Palestina yang juga dilanda trauma, yang kegiatan militan mereka semakin gencar dan dikaitkan dengan gerakan aliran Islam regional yang terkadang menjadikan umat Kristen Arab sebagai sasaran.

Dalam satu dasawarsa terakhir, “situasinya bagi umat Kristen Arab memburuk dengan cepat,” kata Razek Siriani, lelaki 40-an tahun yang jujur dan dinamis, yang bekerja di Dewan Gereja Timur Tengah di Aleppo, Suriah. “Kami benar-benar kalah dalam jumlah dan dikelilingi oleh suara-suara penuh amarah,” katanya. Pemeluk Kristen di Barat semakin memperburuk keadaan, begitu kata Razek menyuarakan perasaan yang diungkapkan oleh banyak orang Kristen Arab. “Ini karena ulah penganut Kristen dunia Barat yang dipimpin AS di dunia Timur,” katanya sambil menyebut perang di Irak dan Afghanistan, dukungan AS terhadap Israel, dan ancaman “penggantian pemerintahan” oleh Pemerintahan Bush. “Bagi banyak kaum Muslimin, terutama yang fanatik, ini ibarat Perang Salib yang terjadi sekali lagi, perang melawan Islam yang dikobarkan oleh umat Kristen. Karena kami Kristen, mereka memandang kami juga sebagai musuh. Kami ini korban kesalahan umat Kristen di Barat.”

Mark dan Lisa, sama seperti penganut Kristen Arab di mana-mana, terlibat dalam perdebatan tak berkesudahan tentang apakah lebih baik meninggalkan kampung halaman mereka untuk selamanya. Mark punya satu saudara laki-laki di Irlandia, seorang lagi di San Diego, dan dia pernah tinggal di AS selama beberapa tahun. Dia punya green card dan sedang bekerja di California saat menikahi Lisa di Jerusalem pada 2004. Lisa pernah mencoba tinggal di San Diego sebentar, tetapi rindu pada keluarganya di tanah air sehingga pasangan itu pulang kembali setelah kelahiran Nate.

Tinggal sebagai orang Arab di A.S. setelah kejadian 11 September merupakan pengalaman berharga bagi mereka. “Sungguh menggelikan,” kata Mark, “sudut pandang orang Amerika. Mereka belum pernah mendengar ada orang Arab penganut Kristen. Mereka berasumsi semua orang Arab itu Muslim—maksudnya teroris—dan bahwa agama Kristen ditemukan di Italia atau entah di mana. Jadi, jika kami berkata, saya orang Arab beragama Kristen, mereka memandang kami dengan penuh curiga, seakan-akan kami berkata, Bulan itu warnanya ungu. Suatu kali ada seorang perempuan bertanya, ‘Bagaimana sikap keluargamu karena kamu beragama Kristen? Mereka pasti marah sekali!’”!break!

DI ATAS SEBUAH GUNUNG dekat Beirut yang menghadap ke Laut Tengah, seorang petapa terjaga pada pukul 3.00 pagi. Dia lalu mengambil lampu senter yang ada di antara tumpukan buku yang menjadi buah karya kehidupannya sekaligus teman tidurnya sepanjang hayat. Si petapa yang usianya 73 tahun, berjanggut panjang, dan dikenal sebagai Romo Yuhanna bekerja di tempat tersebut hingga fajar, menerjemahkan himne-himne Kristen kuno dari bahasa Aramaik, bahasa yang digunakan Yesus, ke bahasa Arab modern dan menyalinnya ke dalam buku raksasa bersampul kulit yang sebesar bantal kursi. Kemudian dia berdoa, makan sepotong buah, mengenakan mantel dan jubah hitamnya, lalu menebar 10.000 doa restu ke semua tempat di dunia dengan suka cita.