Iman yang Terlupakan

By , Jumat, 29 Mei 2009 | 13:08 WIB

Karena berhati-hati menghadapi orang asing, mereka hanya memberitahukan nama anak mereka yang sedang sakit, Mahmoud. Usianya baru tujuh bulan, dibungkus selimut hijau, terbaring diam seperti sudah meninggal, matanya terpejam, nyaris tidak bernapas. Wajahnya cokelat tua agak kelabu. “Kata dokter, dia sudah tidak bisa menolong Mahmoud dan meminta kami mengirimnya ke Amerika untuk dioperasi,” kata ibunya. “Itu mustahil, jadi kami mengharapkan keajaiban. Aku Muslim, tetapi dulu sekali, keluargaku penganut Kristen. Aku percaya kepada para rasul—Muslim, Yahudi, dan Kristen—dan aku percaya kepada Maria. Aku datang ke sini agar putraku sembuh.”

Adegan seperti itu mencerminkan sejarah koeksistensi damai antara kaum Muslimin dan penganut agama lain di Levant, yang pernah terjadi di masa awal Islam. Ketika Khalifah Umar bin Khatab menaklukkan Suriah dari Kekaisaran Bizantium sekitar tahun 636, dia melindungi umat Kristen di bawah pemerintahannya, memperbolehkan mereka tetap memiliki gereja dan beribadat sebagaimana yang mereka inginkan. Namun begitu, banyak penganut Kristen yang berpindah ke agama Islam, lebih memilih untuk menjalin komunikasi pribadi dengan Tuhan, tidak melalui hierarki Gereja Bizantium yang menindas. Cucu lelaki gubernur Damaskus terakhir yang beragama Kristen, yang setelah dewasa menjadi ahli teologi St. Yohannes Damascene, menyimak pembicaraan para pemeluk baru ini tentang Islam—kesediaan mereka menerima Kitab Perjanjian Lama dan Baru, rasa hormat mereka kepada para nabi Yahudi, pemujaan mereka terhadap Yesus dan Maria—dan menyimpulkan bahwa ini adalah salah satu dari sekian banyak penyimpangan dari ajaran Kristen yang menyebar di Kekaisaran Bizantium, di luar jangkauan penguasa gereja di Konstantinopel. Dia sama sekali tidak mempertimbangkan, bahkan menulis bertahun-tahun kemudian, bahwa Islam mungkin menjadi agama tersendiri. Ketika beberapa khalifah berikutnya memberlakukan pajak yang berat kepada penganut Kristen, perpindahan agama semakin gencar dilakukan penduduk desa yang miskin. Bagi para penganut Kristen Arab masa awal yang menamakan Tuhan (dan juga yang sekarang) sebagai Allah, menerima ajaran Islam ibarat melangkah menyeberangi sungai kecil, bukan melompati ngarai.

“Kita tidak mungkin hidup berdampingan dengan orang lain selama seribu tahun dan memandang mereka sebagai anak-anak Setan,” begitu pengamatan Paolo Dall’Oglio, seorang pendeta bertubuh besar berpenampilan kasar yang mengajak kaum Muslimin ikut serta dalam dialog antaragama di Deir Mar Musa, biara abad keenam di gurun antara Damaskus dan Homs. Biara itu dia pugar bersama sejumlah orang Arab pengikutnya. “Berlawanan dengan itu, kaum Muslim sama seperti kami. Ini adalah pelajaran yang belum dipelajari oleh dunia Barat dan umat Kristen Arab secara unik memiliki keahlian untuk mengajar. Mereka adalah mata rantai terakhir yang amat penting yang menghubungkan penganut Kristen Barat dan dunia Muslim Arab. Jika para penganut Kristen Arab lenyap, kedua pihak tersebut akan terpisah semakin jauh dibandingkan sekarang. Mereka berperan sebagai perantara.”!break!

KEMBALI KE JERUSALEM, Mark dan Lisa sudah lama sadar tentang peran yang mungkin dimainkan umat Kristen Arab dalam percaturan geopolitik dewasa ini. Namun, mereka tinggal di bagian dunia yang bergolak dan di daerah seperti itu para perantara selalu terancam bahaya ditekan—oleh kaum Muslimin, oleh Yahudi, atau oleh para penganut Kristen Barat yang (tidak berbeda dari para pejuang perang salib) tak mempedulikan mereka di kala orang-orang Barat itu sendiri sibuk menancapkan klaim mereka atas tanah suci Tuhan.

Pada pagi di hari Paskah, Mark dan Lisa tampil serasi dengan dalam pakaian yang biasa mereka kenakan di hari Minggu saat pergi ke gereja, membimbing tangan Nate dan Nadia di trotoar menuju mobil keluarga, sebuah Honda agak tua berwarna merah anggur. Ini adalah momen yang membanggakan, Paskah pertama mereka bersama-sama di Tanah Suci dan Lisa yang melihat lapisan debu tebal mengotori mobil meminta Mark untuk membersihkannya. Mark mengambil selang, lalu menyambungkannya ke keran air yang digunakan bersama para tetangga. Para tetangga yang mengenakan kafiyeh dan jilbab itu juga keluar ke teras, berdiri, dan memperhatikan. Dengan suara yang dilucu-lucukan, Lisa menjelaskan kepada anak-anak bahwa Ayah memandikan mobil untuk menyambut Paskah. Seakan sudah direncanakan, dengan penuh gaya Mark memijit mulut selang. Tidak ada air yang memancar. Dia memeriksa keran, memijit lagi. Masih tetap tak ada air yang memancar. Jadi, dia berdiri di situ, memegang selang yang kering, di hadapan anak-anaknya, tetangganya, dan seorang tamu dari luar negeri. “Saya rasa airnya dialihkan ke daerah permukiman,” katanya perlahan memberi isyarat dengan menunjuk ke ratusan rumah baru milik pemukim Israel yang memenuhi lereng bukit di dekat sana. “Tidak ada lagi (air) untuk kami.” Lisa masih terus berusaha menjelaskan kepada anak-anak di saat mobil meninggalkan tepi jalan.

“Aku benci pada orang Israel,” kata Lisa di suatu hari, secara tiba-tiba, benar-benar tak terduga. “Aku benar-benar benci pada mereka. Kami semua membencinya. Kurasa bahkan Nate juga mulai membenci mereka.”Apakah itu dosa? Tanyaku.

“Ya,” jawabnya. “Dan hal itu membuatku menjadi pendosa. Tapi, aku mengaku dosa sewaktu pergi ke gereja, dan itu terasa meringankan. Aku sedang belajar untuk tidak membenci. Untuk sementara ini, yang dapat kulakukan hanyalah mengaku dosa.”

“Perasaan benci menghancurkan semangat orang yang membenci,” kata Romo Rafiq Khoury, seorang pendeta Palestina bersuara lembut yang sering mendengar pengakuan dosa di keuskupan Latin Patriarchate di Yerusalem. “Namun, bahkan di tengah semua permasalahan ini, semua kekerasan dan kekecewaan yang membuat para penganut Kristen ini menjauh, kita bisa menyaksikan kehidupan baru di wajah kaum muda dan mengalami harapan yang merupakan karunia Tuhan bagi umat manusia. Itulah ajaran Paskah.”

Namun, bahkan di saat Paskah pun, para penganut Kristen Arab tampaknya terlupakan. Pada suatu malam di Jerusalem Timur, aku menemani Lisa dan Mark mengikuti misa Jumat Agung di Gereja Segala Bangsa yang besar di sebelah Taman Getsemani. Mark yang tidak merasa nyaman jika berada dalam kerumunan orang menunggu di luar bersama Nate dalam udara malam yang sejuk, tetapi Lisa sudah mengikuti misa ini sejak masih kecil dan ingin masuk ke dalam. Jumlah orang yang berkerumun tidak terlalu banyak dan kami berdiri di dalam gereja di bagian belakang, jauh dari deretan bangku, beberapa meter dari pintu. Lisa sudah mendudukkan Nadia di kereta bayi. Ketika kami berdiri di sana mengagumi altar dan ruang depan yang berornamen, para penganut Kristen yang berlalu-lalang di Jerusalem tiba-tiba membanjir masuk gereja, seperti wabah yang disebutkan dalam Perjanjian Lama.

Ratusan peziarah berdesakan melewati kedua daun pintu gereja, mengisi ruangan yang sangat luas itu dengan tubuh-tubuh hangat dan mendorong kami semakin ke dalam. Suhu naik dengan cepat, dan udara mendadak terasa pengap. Kuamati wajah Lisa dan dia tampak cemas sambil mencengkeram kereta bayi dan berusaha mempertahankan diri agar tidak terdorong oleh arus manusia yang mengalir memasuki gereja. Kerumunan orang Belanda,!break!

Jerman, Korea, Nigeria, Amerika, Prancis, Spanyol, Rusia, Filipina, Brasil, terus merasuk ke depan, dengan penuh dahaga berusaha maju sedekat mungkin dengan Tuhan.

Tiba-tiba saja keputusan Lisa untuk mengajak Nadia seakan-akan sebuah kekeliruan. Lewat tinggi pandangan mata, orang melihat ruang yang ditempati kereta bayi Nadia itu seakan kosong, sehingga dengan agresif mendorong masuk untuk mengisi ruang kosong itu tanpa menyadari ada anak kecil sedang tidur di bawah hingga mereka nyaris jatuh menimpanya. Mata Lisa terbelalak di saat kami berusaha keras melindungi Nadia agar tidak ditimpa badan orang. Ibarat mengarungi kubangan air setinggi dada, kami berusaha membuka jalan untuk kereta bayi menuju ke pintu gereja. Beberapa orang peziarah asing tampak geram melihat perempuan Arab bertubuh mungil ini bergerak melawan arus dan terjadi sedikit adu fisik di saat kami membuka jalan melalui kerumunan orang. Setelah kami berhasil melewati pintu, kerumunan orang mulai agak menipis. Lisa bersandar, berusaha keras agar suaranya terdengar di tengah-tengah hiruk pikuk yang ada di sekeliling kami. “Kaulihat keadaannya?” tanyanya sambil megap-megap di bukit tempat Yesus menghabiskan malam terakhirnya di Bumi. “Ini rumah kami. Tapi, kami bahkan seakan tidak berada di rumah sama sekali!”