Iman yang Terlupakan

By , Jumat, 29 Mei 2009 | 13:08 WIB

Pertama, dia selalu singgah di Alaska, tempat dia “menghirup udara segar sepuasnya.” Selanjutnya, dia menyusuri Amerika Utara dan Amerika Selatan, melompat ke Afrika, bergerak ke atas melewati Timur Tengah, menyapu Eropa, lalu ke timur ke Rusia dan Asia sebelum meneruskan perjalanannya ke selatan ke Australia. Ke mana pun dia pergi, petapa itu menebarkan berkat, menghitungnya satu per satu pada manik-manik rosario yang bergerak begitu cepat melalui jemarinya seakan-akan burung merpati. Perjalanan harian itu memakan waktu tiga-empat jam dan pada kebanyakan hari—jika tidak berlama-lama di daerah konflik—dia sudah kembali ke rumah tengah hari. Di mata orang awam, petapa itu hanyalah seorang tua yang berjalan-jalan di taman. Namun bagi para sahabat dan pengikutnya yang datang dalam jumlah ratusan untuk menyimak ajarannya tentang Yesus, dia adalah tokoh suci, keturunan para petapa berpengaruh seperti Tetua Simeon—seorang aulia abad kelima yang tinggal di atas pilar batu di pedesaan Suriah selama lebih dari 30 tahun dan menarik penduduk lokal yang taat.

Umat Kristen Maronit biasanya bukanlah orang-orang yang dianggap sebagai calon orang suci. Sebagai pengikut petapa abad keempat yang bernama Maron, aliran itu tampaknya ditakdirkan sejak awal untuk terus memperjuangkan keberadaannya sepanjang sejarah. Ketika St. Maron wafat tahun 410, perseteruan sengit berkobar di antara para pengikutnya dalam memperebutkan kewenangan mengurusi jasadnya. Dalam kurun satu generasi, kaum Maronit juga bertarung melawan aliran Kristen saingan mereka mengenai permasalahan teologi, dan setelah Islam tiba, mereka juga menentang kaum Muslimin. Untuk menghindari penindasan, mereka berjuang melintasi pegunungan dari Suriah hingga masuk ke Lebanon, dan di sana mereka mencari lembah yang paling ganas, membentengi gua dan biara batu cadas mereka, dan bersiap mempertahankan diri dari serbuan pasukan khalifah. Di penghujung abad ke-11 ketika para prajurit perang salib Prancis berbaris menuju Jerusalem, kaum Maronit berbondong-bondong meninggalkan pegunungan untuk mengelu-elukan rekan sesama penganut Kristen mereka. Sekitar 800 tahun kemudian ketika Prancis menduduki Suriah (termasuk Lebanon) di akhir Perang Dunia I, negara itu membalas budi kaum Maronit dengan membentuk negara Lebanon masa depan yang menguntungkan mereka. Dengan menggunakan bahasa Prancis dan memupuk ikatan budaya dengan Eropa, kaum Maronit menjadi satu-satunya umat Kristen Arab yang menjadi mayoritas di sebuah negara Timur Tengah ketika Lebanon mendapatkan kemerdekaannya pada 1943.

Kemudian, kaum Kristen Maronit menjadi salah satu pejuang milisi paling ditakuti dalam perang saudara di Lebanon, melancarkan serangan gencar terhadap berbagai faksi Lebanon—Shiah, Suni, Druze, dan Palestina—di zona pertempuran Beirut antara 1975 dan 1990. Namun kini, umat Kristen Lebanon yang pernah menjadi mayoritas mendapati diri mereka semakin kehilangan pamor dan perannya menjadi sama seperti yang disandang umat Kristen di manapun di Timur Tengah seperti yang sudah begitu dikenal. Setelah puluhan tahun terjadi hijrah orang-orang Maronit dari negerinya, jumlah mereka menyusut hingga di bawah 40 persen dari populasi.

Untuk bisa bertahan, para pemimpin Maronit membentuk aliansi baru: ada yang bersekutu dengan kelompok Shiah yang dominan, Hizbullah; yang lain bersekutu dengan koalisi Suni dan Druze. Sementara itu, milisi Kristen bergerak di bawah tanah—tapi, bukan berarti sikap mereka melunak.Milad Assaf adalah seorang kontraktor ubin paruh baya yang ramah dan berdinas sebagai tentara rendahan dalam Lebanese Forces (LF), sebuah partai politik Maronit yang berpengaruh kuat. Dari teras apartemennya yang penuh lubang peluru di tingkat lima di Beirut timur, Milad dapat melihat dengan jelas ke permukiman Shiah yang luas, yang terletak di seberang jalan utama yang sibuk. Jalan itu menandai “garis merah” antara wilayah Kristen dan wilayah tempat milisi Shiah bertempur untuk Hizbullah dan sekutunya, Amal. “Seperti tinggal di arena latihan tembak,” katanya sambil tertawa.

Milad baru berusia enam tahun pada April 1975 ketika sekelompok orang Kristen menyulut perang saudara Lebanon dengan menembaki sebuah bus yang dipenuhi para pengungsi Palestina; mereka melakukan hal itu untuk mengirim pesan kepada para pejuang Palestina yang saat itu sedang merambah jalanan kota Beirut, para pejuang yang berniat mengubah Lebanon menjadi markas Organisasi Pembebasan Palestina (PLO). Serangan bus yang menewaskan 27 orang itu hanya berjarak satu blok dari rumah Milad, di depan patung Perawan Maria setinggi orang. Meski daerah itu dihujani tembakan senapan, granat roket, serta bom Israel yang terus-menerus dijatuhkan dari udara sejak 1975, patung tersebut tidak tergores sedikit pun. “Bayangkan saja. Ajaib bukan?” kata Milad.!break!

Tempat tinggal Milad, Ain al-Rumaneh, adalah lingkungan yang keras disesaki gedung apartemen dan toko kecil-kecil yang dipenuhi lubang peluru. Setiap permukaan yang datar, ibaratnya, menampilkan lambang Lebanon Forces, gambar salib yang bagian bawahnya terpapas miring seperti pedang. Setelah pertempuran dengan Shiah belum lama ini, Milad dan teman-temannya mendirikan salib kayu setinggi empat setengah meter di trotoar dan menempelkan dinding kayu lapis dengan poster Yesus berukuran besar. Kemudian, mereka memasang lampu tembak sehingga para pejuang Hizbullah di seberang jalan dapat menerima pesan tersebut selama 24 jam sehari: “Ain al-Rumaneh adalah wilayah Kristen. Jangan coba-coba mendekat.”

Pada usia 12 tahun saat bergabung dengan LF, Milad punya lagak seorang shabb, jagoan. Dia tidak ingat sudah berapa yang tewas di tangannya selama perang. Sudah lusinan kali dia keluar-masuk penjara, dan bahkan sekarang pun di usianya yang ke-40, Milad belum mau meninggalkan kehidupan pejuang yang penuh bahaya. Rambutnya yang menipis disisir ke belakang, gaya Elvis, dan dia mengenakan kalung emas dengan gantungan salib LF besar serta tato di lengan bawah kirinya. Seperti banyak orang Kristen Arab, Milad rajin latihan angkat besi, dan meski perutnya agak buncit, dia punya dada bidang yang dibanggakannya, dada yang ketat dibalut kaus oblong putih merek Armani.

Dia sering menggerakkan otot biseps dan dadanya. Milad sering mabuk-mabukan di dalam mobil SUV yang sudah dimodifikasi, terlalu banyak menenggak minuman keras, punya banyak pacar. Sejak perang dengan Israel Juli 2006 yang menghancurkan ekonomi Lebanon dan memperkuat Hizbullah, usaha ubinnya ikut terpukul, tetapi Milad berharap dapat bertahan dalam badai krisis ini, seperti berbagai krisis sebelumnya.Di penjuru negeri, kondisi labil yang kronis ini mendorong pengangguran hingga 20 persen, membuat para investor asing takut, dan meredupkan dunia perdagangan yang dulu pernah berjaya di negara itu. Sepekan sebelumnya di jantung wilayah kaum Maronit di sepanjang Lembah Qadicha, aku singgah di sebuah toko di Bcharre, sebuah kota di tepi tebing yang menjadi kota kelahiran penyair Khalil Gibran. “Pengunjung pertama hari ini,” kata perempuan berambut gelap dari balik meja. Nama perempuan itu Liliane Geagea. Saat itu pukul 11.00 pagi di suatu hari Sabtu yang cerah di bulan April, musim wisatawan, tetapi tempat itu sepi. “Dengan semua masalah itu, orang enggan datang ke sini. Semua orang menabung agar bisa meninggalkan tempat yang gila ini. Aku juga begitu. Sudah 45 tahun aku tinggal di negara ini, sebagian besar dalam perang dan rasanya sudah cukup lama. Aku sudah capek, begitu juga keluargaku. Putriku kuliah di Universitas Beirut. Apabila sudah lulus nanti, nasihatku untuknya adalah: Pergilah ke Amerika, pergilah ke Eropa atau Australia, tidak jadi soal ke mana. Yang penting, keluar dari sini, dan bawa aku.”

Milad tidak punya opsi untuk pergi, dan begitu pula ribuan pemuda tangguh seperti dirinya yang sering berkumpul di balai pertemuan milisia untuk mendiskusikan “situasi” dan mematuhi keputusan partai untuk menjalin persekutuan politik, dan bukan berperang. Namun, yang membuat mereka gelisah adalah jika jumlah senjata mereka lebih sedikit daripada senjata musuh. Milad menunjukkan kekuatan otot lengan atasnya, menepuk popor senapannya, sambil menyeringai. “Kami masih punya senjata,” katanya, sambil menyentuh salah satu senapan M16 yang rajin dia minyaki dan selalu siap di lantai basemen. “Tetapi, sekarang senjata kaum Shiah lebih banyak.” Dia memberi isyarat keluar jendela, ke kompleks apartemen yang dipenuhi lubang peluru di seberang jalan empat jalur yang ibarat batas internasional yang sarat permusuhan. “Hizbullah mengendalikan segalanya di seberang jalan itu,” katanya. “Dan mereka itu orang-orang gila. Mereka punya alat peluncur roket, RPG, dan aneka senjata lainnya, yang dipasok Iran. Jelas sekali, kami harus selalu melindungi daerah permukiman dan keluarga kami. Tetapi sekarang ini, jika terjadi baku tembak, kami pasti kalah. Jadi, sekarang kami mendukung perdamaian.”

DI TEMPAT YANG BERJARAK BEBERAPA JAM KE TIMUR garis batas perang antara kaum Muslimin dan Kristen di Beirut, komunitas di Suriah mengingatkan, bahwa di balik permusuhan dewasa ini, betapa erat sesungguhnya hubungan antara kedua agama tersebut. Ada berbagai oasis toleransi—dulu ada di mana-mana, sekarang tinggal sedikit saja—tempat orang Kristen dan Muslim saling menghadiri upacara pernikahan dan pemakaman, serta saling beribadah di rumah ibadat pihak yang lain. Di sejumlah biara, orang Kristen masih sering bersujud saat berdoa—kebiasaan di zaman Bizantium yang mungkin dikagumi dan diterapkan kaum Muslim di masa-masa awal dulu. Sejumlah gereja masih sering melaksanakan misa dalam bahasa Armaik atau bahasa Siriak, bahasa praIslam.

Pada suatu siang aku mendaki ke biara Bunda Kudus dari Saydnaya, biara Kristen Ortodoks Yunani yang berada di puncak tebing di Suriah yang tetap kokoh, meski berkali-kali mengalami pergolakan kekaisaran sejak 547. Begitu berada di dalam, kudapati diriku tidaklah berada di tengah-tengah umat Kristen, melainkan dalam kerumunan keluarga-keluarga Muslim yang datang untuk meminta berkah dari Perawan Maria, yang kekuatan penyembuhan dan kesuburannya telah menarik orang-orang yang membutuhkan selama hampir 1.500 tahun.!break!

Di saat mataku mulai terbiasa dengan pendaran cahaya lilin di ruangan dalam, kuperhatikan seorang perempuan berjilbab menyorongkan bayinya yang dibalut selimut ke sebuah tempat yang jadi pusat dari tempat ibadah itu. Di titik yang dikelilingi oleh sejumlah patung yang sudah menghitam karena jelaga itu, sebuah pelat kuningan menutupi gambar Maria yang konon dilukis oleh St. Lukas. Gambar itu diyakini menimbulkan inspirasi meskipun terhalang dari pandangan. Dengan mata terpejam dan bibir komat-kamit memanjatkan doa tanpa suara, ibu si bayi menempelkan wajah bayinya dengan lembut ke pelat logam untuk beberapa lama. Kemudian di luar, kutemui perempuan itu dan keluarganya. Mereka datang mengendarai mobil dari Damaskus setelah salat Jumat di masjid.