Air Bersih Jakarta

By , Kamis, 30 Juli 2009 | 14:02 WIB

Dalam Hydrogeology Journal yang dipublikasikan pada tahun 2008, Fajar, Robert dan seorang peneliti dari Universitas Chiba di Jepang, Yasuo Sakura, memaparkan penelitian mereka tentang proses imbuhan (recharge, air masuk ke dalam tanah) dan luahan (discharge, air yang keluar dari dalam tanah) air tanah di Basin Jakarta. Dalam penelitian ini mereka menemukan bahwa tak semua air yang meresap ke dalam tanah di kawasan pegunungan di selatan Jakarta, akan terus mengalir menuju Jakarta.

Dalam tahun yang sama, kedua peneliti ini memaparkan penelitian tentang endapan laut berumur Tersier (65-1,8 juta tahun lalu) yang salah satunya membentuk bukit batuan yang membentang di dalam tanah. “Batuan yang berumur tersier ini sangat masif, ungkap Robert.”Batuan ini bisa menahan air karena porositasnya (kemampuan meresap air) sangat kecil.” Mengenai cadangan air tanah yang ada di bawah Jakarta, Robert juga mengatakan, “bisa jadi selama ini kita salah perhitungan, bahwa jumlah suplai air selalu berasal dari Puncak hingga sampai ke pantai.”

Bukit batuan tersier ini membentang dari daerah sekitar Serpong hingga Cibinong. Dengan kata lain, berada tak jauh di selatan Jakarta dan membentang dari sebelah Barat hingga ke sebelah Timur ibu kota. Walau bisa jadi hanya berada pada kedalaman sekitar 50 meter di bawah permukaan tanah, tetapi formasi itu akan menghambat aliran air yang masuk dari pegunungan menuju Jakarta.

Di beberapa tempat, sebagian aliran air tanah dalam yang membentur formasi ini akan naik ke permukaan dan muncul sebagai mata air. Itu sebabnya di daerah Depok dan sekitarnya banyak bermunculan mata air serta danau. Sedangkan di daerah Cibinong dapat dijumpai batuan yang muncul ke atas tanah berupa batuan kars yang merupakan batuan gamping yang masih dan kerap diambil oleh pabrik semen.

Menyimak penelitian Robert, lebih menarik bila dihubungkan dengan studi dari Lambok Hutasoit, dekan Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian ITB yang banyak membantu Dinas Pertambangan DKI Jakarta dengan penelitiannya akan air tanah. Salah satunya berkaitan dengan batas permukaan atas air tanah dalam yang semakin menurun, berdasarkan skenario penggunaan air tanah. Dalam skenario itu, Lambok memasukkan variabel lokasi, kecepatan pengambilan air di masa depan, pertumbuhan penduduk, industri, dan kemampuan air permukaan dalam memenuhi kebutuhan warga.!break!

Menurut Lambok, akuifer(lapisan kulit bumi berpori yang dapat menahan air dan terletak di antara dua lapisan yang kedap air) yang punya kedalaman kurang lebih 100 hingga 200 meter adalah yang paling banyak dieksploitasi. Dalam publikasinya ia mencatat bahwa pada tahun 1995 kecepatan pemompaan di akuifer tersebut adalah 0,5 meter kubik per detik. Itu yang dilaporkan. Sedangkan hasil verifikasi menunjukkan angka dua puluh kali lipatnya, yaitu 10 meter kubik per detik. Seiring perjalanan waktu, kecepatan pemompaan yang dilaporkan pun meningkat.

Berdasarkan data ini, Lambok melakukan simulasi penurunan air tanah di seluruh wilayah Jakarta. Hasilnya cukup mengejutkan. Dengan asumsi kenaikan kecepatan pemompaan 2% per tahun, dalam kurun 10 tahun penurunan muka air tanah di beberapa titik di Jakarta akan mencapai hingga 10 meter.

Penggalian sumur bor yang semakin dalam seiring dengan berjalannya waktu ini tak hanya menandakan bahwa jumlah air di bawah tanah semakin susut. Di samping itu, semakin luas pula ruang kosong sepeninggal air di akuifer yang ada di bawah Jakarta.

Kekosongan ini juga berpotensi membuat permukaan tanah ambles. “Penurunan permukaan tanah bisa jadi disebabkan oleh empat hal. Pertama karena adanya beban bangunan, adanya kompaksi (pemadatan) lapisan tanah secara alamiah, terjadinya gaya tektonik, yang terakhir pengambilan air tanah yang berlebihan,” ujar Hasanuddin Z. Abidin di Laboratorium Teknik Geodesi ITB.

Bersama tim Bakosurtanal dan Earth Remote Sensing Data Analysis Center Tokyo, Hasanuddin mendeteksi bahwa penurunan tanah sebanyak 20 hingga 200 sentimeter telah terdeteksi dalam periode 1982 hingga 1997. Dari penelitian tersebut para peneliti menyimpulkan bahwa kecepatan penurunan tanah di Jakarta berkisar sekitar satu hingga lima sentimeter per tahun. Bahkan yang paling parah saat pengukuran terbaru 2007-2008 menunjukkan,. di bagian utara mencapai penurunan 17 hingga 26 sentimeter per tahun. !break!

Lebih jauh, Hasanuddin menyebutkan bahwa Jakarta bisa jadi bakal mengalami bencana lingkungan: pengambilan air tanah dapat mengakibatkan menurunnya permukaan tanah sehingga banjir pun semakin meluas. Apalagi jika bagian hulu sudah tak berhutan dan tutupan lahan di Jakarta semakin lebar. “Ini jadi semacam lingkaran. Lingkaran ini harus diputus, pertama harusnya dari sumber air,” ujarnya.

*Di atas kertas pengambilan air tanah untuk air minum, rumah tangga, industri, dan usaha lainnya harus memperoleh izin dari Gubernur. Begitu banyak rambu dalam izin tersebut: jenis sumur yang hendak dibuat harus jelas (pantek atau bor), tujuannya harus tegas (niaga atau bukan), kedalamannya harus pasti, jumlah yang dipompa pun dijatah. “100 kubik per hari. Itu pun di kedalaman yang paling dalam, yang potensinya masih besar,” ujar Wasis Wasis Gunawan, Kepala sub Bidang Pengelola Sumber Daya Perkotaan BPLHD.