Air Bersih Jakarta

By , Kamis, 30 Juli 2009 | 14:02 WIB

Hanya saja, kenyataan di lapangan jumlah pompa dan volume air tanah yang tersedot tanpa izin pemerintah tidaklah diketahui, baik air tanah dangkal maupun dalam yang diambil oleh jutaan warga Jakarta untuk rumah tangga, hotel, serta industri baik berskala kecil, sedang, maupun besar.

Memahami masalah air di Jakarta analog dengan masalah kemacetan transportasinya. Pemerintah menghendaki orang beralih dari menggunakan kendaraan pribadi ke kendaraan umum. Namun kendaraan umum yang memadai juga tidak tersedia. Pemerintah menghendaki warga beralih dari menggunakan air tanah ke air permukaan, namun air permukaan yang bersih tidak tersedia.

Warga bukan tinggal diam dengan gejala ini. Salah satunya terlihat dari WC di kantor kami. Airnya tidak sejernih air keran kami. Ternyata menurut Luhur Putrastyono dari Bagian Umum kantor kami, air untuk keperluan tertentu sudah didaur ulang. air buangan seperti kloset, urinoir, air dari wastafel serta kamar mandi, diolah hingga menjadi layak pakai kembali. “Digunakan untuk menyiram tanaman serta penyiram kloset, juga untuk pendinginan sistem AC. Jadi prinsipnya tidak ada air yang terbuang,” ujar Luhur, kecuali penguapan dari sistem pendingin udara yang mencapai 20 meter kubik per hari. Air sumur dalam hanya digunakan sebagai cadangan untuk sistem pemadam kebakaran. “Jadi hanya akan terpakai selama kebakaran. Itu pun sudah menggunakan meteran resmi.” Hal ini juga sudah jamak dilakukan di hotel-hotel di Jakarta.

Kalangan peneliti juga tidak ketinggalan dengan inovasinya terhadap kondisi air tanah.“Dulu istilah sumur resapan sudah ada, tapi istilah itu tidak populer,” ujar Nana M. Arifjaya dari Fakultas Kehutanan IPB. “Orang masih bingung akan kaitannya dengan septic tank. Padahal, prinsipnya air harus kering secepatnya setelah masuk ke sumur itu. Jakarta memiliki lahan yang sempit, jadi saya pikir jangan sampai ada lahan yang hilang atau fungsi ruang yang hilang karena adanya sumur resapan.” Oleh karena itulah Nana memutar otak untuk membuat sumur resapan yang bisa digunakan di trotoar, taman, tempat parkir, bahkan gang sempit. Sumur itu juga harus bisa dibuat dalam semalam hingga tak mengganggu orang yang lalu lalang di atasnya.!break!

Sejak 2008, sudah terbangun 800 titik bioretensi di wilayah Jakarta. M Fadhillah, koordinator program bioretensi yang membawahi kecamatan Kebayoran Lama yang terdiri dari enam kelurahan, mengawasi titik-titik bioretensi di wilayahnya. “Masyarakat amat merasakan efeknya. Di Bendi Baru, Tanah Kusir, ada 17 titik sumur resapan. Daerah ini dulu sering kebanjiran, tapi sekarang tidak lagi,” ujarnya senang. “Kini sumur warga pun tak lagi kering. Bahkan taman-taman di sekeliling sumur resapan menjadi subur karena air naik ke atas. Tanaman tak perlu disiram lagi.” Padahal sebelum bioretensi dibuat, warga harus membuat sumur hingga kedalaman 35 meter untuk mendapatkan air bersih.

“Tentu saja data-data untuk membuat semua program ini tak kami dapatkan dalam waktu sekejap, namun butuh waktu bertahun-tahun,” ujar Nana yang mulai melakukan penelitian dengan timnya sejak tahun 2002.

* “Kamu mau hujannya ada di mana?,” tanya Idung Risdiyanto, seorang peneliti dari Departemen Geofisika dan Meteorologi IPB. Ia menandai sebuah titik yang berlokasi di suatu daerah di Puncak. “Ayo kita lihat, seberapa lama air yang turun di daerah ini bisa sampai di Jakarta.” Setelah memilih jenis hujan,program dimulai, garis-garis berwarna biru yang menjadi gambaran air limpasan mulai menjalar di layar. Dari kawasan Puncak, garis itu terus bergerak ke utara, menuju dataran yang lebih rendah. Warna biru yang mengular itu masuk ke laut dan terhenti, ia berujar sambil membaca data yang ada di layar, “Air (limpasan) akan sampai di Jakarta dalam waktu empat jam.”

Masih dengan program yang sama, kelompok peneliti ini juga bisa memperkirakan asal air penyebab banjir di suatu daerah. Semua inilah –setelah dikumpulkan dan dianalisa bertahun-tahun– menjadi data dasar program sumur resapan Nana dan kelompoknya di atas.

Simulasi itu memperlihatkan betapa air permukaan yang sesungguhnya bisa menjadi penyelamat jika meresap ke dalam tanah untuk mengganti air tanah dangkal yang begitu cepat disedot. Kernyatannya air permukaan Jakarta amat cepat menggelontor sia-sia ke laut.

Cepatnya air permukaan terbuang membawa ke sebuah ironi. Penjelasan Robert, sang hidrogeolog ketika ia menganalisa umur air tanah dengan menggunakan isotop karbon 14, terngiang di kepala saya: “Air (tanah dalam) dari Depok dan sekitarnya akan sampai ke Jakarta sekitar 100 tahun.”

Kota yang dahaga ini menjadi begitu dungu karena terdesak oleh beban pertumbuhannya sendiri. Air permukaan yang lebih mudah dikelola tersia-sia, sementara air tanah yang begitu berharga disedot tak kenal aturan. Bila kita paham ancaman bencananya, menggali sumur –air tanah dalam– di Jakarta akan seperti menggali kubur.