Air Bersih Jakarta

By , Kamis, 30 Juli 2009 | 14:02 WIB

Di gang-gang yang sempit di daerah Pademangan Timur Jakarta Utara ini, sedang dijajakan salah satu air termahal di dunia.!break!

“Harganya antara 37 ribu rupiah hingga 75 ribu rupiah per meter kubik. Tak ada orang di dunia yang membayar air 7 Dolar AS per meter kubik,” ujar Firdaus Ali dari Badan Regulator PAM DKI Jakarta saat saya temui di kantornya. Ia mengucapkan kata-kata tersebut dengan perlahan, penuh tekanan.

Warga yang jauh lebih mampu, yang tinggal di perumahan elite di Jakarta Selatan dengan pendapatan puluhan bahkan ratusan kali lipat dari orang-orang Pademangan tak perlu membayar semahal itu. “Paling mahal hanya membayar 9.000 rupiah per meter kubik. Mobilnya dimandiin, motor gedenya dimandiin. Bayangkan betapa sedihnya saya. Padahal itu bidang saya,” lanjut Firdaus.

Jakarta, memang tidak adil, dan ketidakadilan itu datang dari keterbatasan sumber daya air yang mendukung kota ini. Kota yang begitu dahaga ini membutuhkan sekitar 548 juta meter kubik air tawar bersih per tahun, itu hanya untuk kebutuhan rumah tangga, belum termasuk kebutuhan industri, perkantoran dan hotel yang bisa ditambahkan sekitar 30 persen dari angka di atas.

Sayangnya, Jakarta adalah kota yang lebih besar pasak daripada tiang. Tahun 2007, kapasitas produksi air bersih PAM JAYA berjumlah 425 juta meter kubik—masih ada 48.984 kolam renang yang kering tak terisi. Defisit air makin nyata di siang hari, tatkala jumlah penduduk bertambah menjadi 10 hingga 11 juta jiwa akibat pekerja yang berdatangan dari luar Jakarta.

Pada dasarnya, air bersih yang dipasok oleh perusahaan daerah yang sejak 11 tahun silam bermitra dengan swasta PAM Lyonnaise Jaya (Palyja) dan Aetra Air Jakarta (Dulu Thames PAM Jaya) bersumber dari air permukaan, yaitu dari sungai dan kanal. Namun, masalah menghadang karena tidak semua sumber air permukaan dapat diolah, meski Jakarta punya 13 sungai. Menurut Muzaki, kepala produksi Palyja, mereka dulu punya dua sumber bahan baku air, yaitu Saluran Mookervart serta Saluran Tarum Barat atau Kali Malang. Namun, karena air dari Mookervart dinilai sudah tidak layak menjadi bahan baku sejak 2008, yang jadi andalan tinggal Kali Malang yang mengalirkan air dari Bendungan Jatiluhur Jawa Barat. Kini, sesekali Palyja juga mengambil bahan baku dari Banjir Kanal Barat. !break!

Sedangkan Aetra mengambil air hanya dari Kali Malang. Padahal Kali Malang ini pun adalah saluran terbuka yang melewati tiga sungai, yaitu Bekasi, Cibeet dan Cikarang. Menurut Aetra, mereka mengambil air dari saluran tersebut karena tak ada lagi sungai lain di Jakarta yang lebih layak dari segi kualitas dan kuantitas.

Tidak cukup itu saja, menurut Badan Regulator PAM, Jakarta punya sejumlah permasalahan kunci penyediaan air bersih lainnya, seperti cakupan pelayanan yang tak memadai serta tingkat kehilangan air yang tinggi, hingga mencapai angka 50 persen, akibat pencurian air serta kebocoran pipa.

Dahaga warga Jakarta akan air bersih yang tak terpenuhi ini akhirnya membuat mereka tak punya pilihan selain mengambil air dari perut bumi Jakarta, baik air tanah dangkal, maupun air tanah dalam. Pengambilan air sumur dangkal bukannya tanpa risiko. Dalam pemantauan kualitas air tanah yang dilakukan secara berkala, Badan Pengendalian Lingkungan Hidup Daerah (BPLHD) Jakarta sudah mendeteksi bateri koli di 21 sumur dari 74 sampel sumur pantau yang ada di wilayah Jakarta pada tahun 2008. Masalah air tanah ini tak hanya ada di permukaan, namun jauh ke dasar perut Jakarta.

*

Pada pukul setengah dua siang itu, tak ada yang bisa menghalangi jatuhnya sinar matahari yang menyengat kulit. Satu-satunya penyejuk adalah embusan angin dari Kepulauan Seribu. Di bibir pantai salah satu tempat rekreasi di Jakarta, tiga orang bersarung tangan karet berkutat dengan seonggok benda yang dipenuhi teritip di atas drum yang baru saja diangkat dari dasar laut. Sedikit demi sedikit, tampaklah sebuah kotak dan tabung kecil dibalut lakban.

Tak berapa lama kemudian kami telah duduk di kursi kayu di bawah atap jerami sambil menghadap ke sebuah komputer jinjing. Dengan pakaian yang masih lembap berpasir, Rachmat Fajar Lubis ahli hidrogeologi dari Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI mencolokkan kabel dari tabung kecil kokoh yang ia sebut sebagai CTD (Conductivity Temperature and Depth) ke komputer..

Robert Delinom, koordinator penelitian bersama RIHN (Research Institute for Humanity and Nature) Jepang ini menjelaskan, dengan cara tersebut mereka bisa mengetahui, seberapa besar jumlah air tanah yang menggelontor ke laut. Ia juga berharap bisa mengetahui kualitas air tanah yang keluar, sekaligus melihat bagaimana pergerakan air tanah dangkal hingga sampai ke laut termasuk kaitannya dengan bangunan yang ada di Jakarta. !break!

Dalam Hydrogeology Journal yang dipublikasikan pada tahun 2008, Fajar, Robert dan seorang peneliti dari Universitas Chiba di Jepang, Yasuo Sakura, memaparkan penelitian mereka tentang proses imbuhan (recharge, air masuk ke dalam tanah) dan luahan (discharge, air yang keluar dari dalam tanah) air tanah di Basin Jakarta. Dalam penelitian ini mereka menemukan bahwa tak semua air yang meresap ke dalam tanah di kawasan pegunungan di selatan Jakarta, akan terus mengalir menuju Jakarta.

Dalam tahun yang sama, kedua peneliti ini memaparkan penelitian tentang endapan laut berumur Tersier (65-1,8 juta tahun lalu) yang salah satunya membentuk bukit batuan yang membentang di dalam tanah. “Batuan yang berumur tersier ini sangat masif, ungkap Robert.”Batuan ini bisa menahan air karena porositasnya (kemampuan meresap air) sangat kecil.” Mengenai cadangan air tanah yang ada di bawah Jakarta, Robert juga mengatakan, “bisa jadi selama ini kita salah perhitungan, bahwa jumlah suplai air selalu berasal dari Puncak hingga sampai ke pantai.”

Bukit batuan tersier ini membentang dari daerah sekitar Serpong hingga Cibinong. Dengan kata lain, berada tak jauh di selatan Jakarta dan membentang dari sebelah Barat hingga ke sebelah Timur ibu kota. Walau bisa jadi hanya berada pada kedalaman sekitar 50 meter di bawah permukaan tanah, tetapi formasi itu akan menghambat aliran air yang masuk dari pegunungan menuju Jakarta.

Di beberapa tempat, sebagian aliran air tanah dalam yang membentur formasi ini akan naik ke permukaan dan muncul sebagai mata air. Itu sebabnya di daerah Depok dan sekitarnya banyak bermunculan mata air serta danau. Sedangkan di daerah Cibinong dapat dijumpai batuan yang muncul ke atas tanah berupa batuan kars yang merupakan batuan gamping yang masih dan kerap diambil oleh pabrik semen.

Menyimak penelitian Robert, lebih menarik bila dihubungkan dengan studi dari Lambok Hutasoit, dekan Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian ITB yang banyak membantu Dinas Pertambangan DKI Jakarta dengan penelitiannya akan air tanah. Salah satunya berkaitan dengan batas permukaan atas air tanah dalam yang semakin menurun, berdasarkan skenario penggunaan air tanah. Dalam skenario itu, Lambok memasukkan variabel lokasi, kecepatan pengambilan air di masa depan, pertumbuhan penduduk, industri, dan kemampuan air permukaan dalam memenuhi kebutuhan warga.!break!

Menurut Lambok, akuifer(lapisan kulit bumi berpori yang dapat menahan air dan terletak di antara dua lapisan yang kedap air) yang punya kedalaman kurang lebih 100 hingga 200 meter adalah yang paling banyak dieksploitasi. Dalam publikasinya ia mencatat bahwa pada tahun 1995 kecepatan pemompaan di akuifer tersebut adalah 0,5 meter kubik per detik. Itu yang dilaporkan. Sedangkan hasil verifikasi menunjukkan angka dua puluh kali lipatnya, yaitu 10 meter kubik per detik. Seiring perjalanan waktu, kecepatan pemompaan yang dilaporkan pun meningkat.

Berdasarkan data ini, Lambok melakukan simulasi penurunan air tanah di seluruh wilayah Jakarta. Hasilnya cukup mengejutkan. Dengan asumsi kenaikan kecepatan pemompaan 2% per tahun, dalam kurun 10 tahun penurunan muka air tanah di beberapa titik di Jakarta akan mencapai hingga 10 meter.

Penggalian sumur bor yang semakin dalam seiring dengan berjalannya waktu ini tak hanya menandakan bahwa jumlah air di bawah tanah semakin susut. Di samping itu, semakin luas pula ruang kosong sepeninggal air di akuifer yang ada di bawah Jakarta.

Kekosongan ini juga berpotensi membuat permukaan tanah ambles. “Penurunan permukaan tanah bisa jadi disebabkan oleh empat hal. Pertama karena adanya beban bangunan, adanya kompaksi (pemadatan) lapisan tanah secara alamiah, terjadinya gaya tektonik, yang terakhir pengambilan air tanah yang berlebihan,” ujar Hasanuddin Z. Abidin di Laboratorium Teknik Geodesi ITB.

Bersama tim Bakosurtanal dan Earth Remote Sensing Data Analysis Center Tokyo, Hasanuddin mendeteksi bahwa penurunan tanah sebanyak 20 hingga 200 sentimeter telah terdeteksi dalam periode 1982 hingga 1997. Dari penelitian tersebut para peneliti menyimpulkan bahwa kecepatan penurunan tanah di Jakarta berkisar sekitar satu hingga lima sentimeter per tahun. Bahkan yang paling parah saat pengukuran terbaru 2007-2008 menunjukkan,. di bagian utara mencapai penurunan 17 hingga 26 sentimeter per tahun. !break!

Lebih jauh, Hasanuddin menyebutkan bahwa Jakarta bisa jadi bakal mengalami bencana lingkungan: pengambilan air tanah dapat mengakibatkan menurunnya permukaan tanah sehingga banjir pun semakin meluas. Apalagi jika bagian hulu sudah tak berhutan dan tutupan lahan di Jakarta semakin lebar. “Ini jadi semacam lingkaran. Lingkaran ini harus diputus, pertama harusnya dari sumber air,” ujarnya.

*Di atas kertas pengambilan air tanah untuk air minum, rumah tangga, industri, dan usaha lainnya harus memperoleh izin dari Gubernur. Begitu banyak rambu dalam izin tersebut: jenis sumur yang hendak dibuat harus jelas (pantek atau bor), tujuannya harus tegas (niaga atau bukan), kedalamannya harus pasti, jumlah yang dipompa pun dijatah. “100 kubik per hari. Itu pun di kedalaman yang paling dalam, yang potensinya masih besar,” ujar Wasis Wasis Gunawan, Kepala sub Bidang Pengelola Sumber Daya Perkotaan BPLHD.

Hanya saja, kenyataan di lapangan jumlah pompa dan volume air tanah yang tersedot tanpa izin pemerintah tidaklah diketahui, baik air tanah dangkal maupun dalam yang diambil oleh jutaan warga Jakarta untuk rumah tangga, hotel, serta industri baik berskala kecil, sedang, maupun besar.

Memahami masalah air di Jakarta analog dengan masalah kemacetan transportasinya. Pemerintah menghendaki orang beralih dari menggunakan kendaraan pribadi ke kendaraan umum. Namun kendaraan umum yang memadai juga tidak tersedia. Pemerintah menghendaki warga beralih dari menggunakan air tanah ke air permukaan, namun air permukaan yang bersih tidak tersedia.

Warga bukan tinggal diam dengan gejala ini. Salah satunya terlihat dari WC di kantor kami. Airnya tidak sejernih air keran kami. Ternyata menurut Luhur Putrastyono dari Bagian Umum kantor kami, air untuk keperluan tertentu sudah didaur ulang. air buangan seperti kloset, urinoir, air dari wastafel serta kamar mandi, diolah hingga menjadi layak pakai kembali. “Digunakan untuk menyiram tanaman serta penyiram kloset, juga untuk pendinginan sistem AC. Jadi prinsipnya tidak ada air yang terbuang,” ujar Luhur, kecuali penguapan dari sistem pendingin udara yang mencapai 20 meter kubik per hari. Air sumur dalam hanya digunakan sebagai cadangan untuk sistem pemadam kebakaran. “Jadi hanya akan terpakai selama kebakaran. Itu pun sudah menggunakan meteran resmi.” Hal ini juga sudah jamak dilakukan di hotel-hotel di Jakarta.

Kalangan peneliti juga tidak ketinggalan dengan inovasinya terhadap kondisi air tanah.“Dulu istilah sumur resapan sudah ada, tapi istilah itu tidak populer,” ujar Nana M. Arifjaya dari Fakultas Kehutanan IPB. “Orang masih bingung akan kaitannya dengan septic tank. Padahal, prinsipnya air harus kering secepatnya setelah masuk ke sumur itu. Jakarta memiliki lahan yang sempit, jadi saya pikir jangan sampai ada lahan yang hilang atau fungsi ruang yang hilang karena adanya sumur resapan.” Oleh karena itulah Nana memutar otak untuk membuat sumur resapan yang bisa digunakan di trotoar, taman, tempat parkir, bahkan gang sempit. Sumur itu juga harus bisa dibuat dalam semalam hingga tak mengganggu orang yang lalu lalang di atasnya.!break!

Sejak 2008, sudah terbangun 800 titik bioretensi di wilayah Jakarta. M Fadhillah, koordinator program bioretensi yang membawahi kecamatan Kebayoran Lama yang terdiri dari enam kelurahan, mengawasi titik-titik bioretensi di wilayahnya. “Masyarakat amat merasakan efeknya. Di Bendi Baru, Tanah Kusir, ada 17 titik sumur resapan. Daerah ini dulu sering kebanjiran, tapi sekarang tidak lagi,” ujarnya senang. “Kini sumur warga pun tak lagi kering. Bahkan taman-taman di sekeliling sumur resapan menjadi subur karena air naik ke atas. Tanaman tak perlu disiram lagi.” Padahal sebelum bioretensi dibuat, warga harus membuat sumur hingga kedalaman 35 meter untuk mendapatkan air bersih.

“Tentu saja data-data untuk membuat semua program ini tak kami dapatkan dalam waktu sekejap, namun butuh waktu bertahun-tahun,” ujar Nana yang mulai melakukan penelitian dengan timnya sejak tahun 2002.

* “Kamu mau hujannya ada di mana?,” tanya Idung Risdiyanto, seorang peneliti dari Departemen Geofisika dan Meteorologi IPB. Ia menandai sebuah titik yang berlokasi di suatu daerah di Puncak. “Ayo kita lihat, seberapa lama air yang turun di daerah ini bisa sampai di Jakarta.” Setelah memilih jenis hujan,program dimulai, garis-garis berwarna biru yang menjadi gambaran air limpasan mulai menjalar di layar. Dari kawasan Puncak, garis itu terus bergerak ke utara, menuju dataran yang lebih rendah. Warna biru yang mengular itu masuk ke laut dan terhenti, ia berujar sambil membaca data yang ada di layar, “Air (limpasan) akan sampai di Jakarta dalam waktu empat jam.”

Masih dengan program yang sama, kelompok peneliti ini juga bisa memperkirakan asal air penyebab banjir di suatu daerah. Semua inilah –setelah dikumpulkan dan dianalisa bertahun-tahun– menjadi data dasar program sumur resapan Nana dan kelompoknya di atas.

Simulasi itu memperlihatkan betapa air permukaan yang sesungguhnya bisa menjadi penyelamat jika meresap ke dalam tanah untuk mengganti air tanah dangkal yang begitu cepat disedot. Kernyatannya air permukaan Jakarta amat cepat menggelontor sia-sia ke laut.

Cepatnya air permukaan terbuang membawa ke sebuah ironi. Penjelasan Robert, sang hidrogeolog ketika ia menganalisa umur air tanah dengan menggunakan isotop karbon 14, terngiang di kepala saya: “Air (tanah dalam) dari Depok dan sekitarnya akan sampai ke Jakarta sekitar 100 tahun.”

Kota yang dahaga ini menjadi begitu dungu karena terdesak oleh beban pertumbuhannya sendiri. Air permukaan yang lebih mudah dikelola tersia-sia, sementara air tanah yang begitu berharga disedot tak kenal aturan. Bila kita paham ancaman bencananya, menggali sumur –air tanah dalam– di Jakarta akan seperti menggali kubur.