Listrik Matahari

By , Senin, 31 Agustus 2009 | 14:10 WIB

Peninggalan lain dari era Carter, National Renewable Energy Laboratory (NREL) di Golden, Colorado—pusat penelitian utama pemerintah untuk surya, angin, hidrogen, dan bahan bakar alternatif lainnya—bersiap bangkit kembali. Saat saya berkunjung ke sana musim gugur lalu, markas dan kampus penelitian yang baru sedang dibangun menempel ke lereng bukit di luar Golden. Panel fotovoltaik seluas dua hektare di puncak bukit itu akan menyuplai kebutuhan listrik laboratorium dan perkantoran di bawah. Ini baru awalnya. NREL yang dulu dianaktirikan oleh pemerintah menerima anggaran ekstra dari Pemerintahan Obama yang bertekad mengembangkan energi terbarukan. “Saat ini surya masih merupakan bagian sangat kecil dalam produksi listrik AS, hanya mencapai sepersepuluh persen,” kata Robert Hawsey, wakil direktur lab itu. “Namun, diperkirakan akan tumbuh. Sepuluh hingga 20 persen kebutuhan listrik puncak A.S. akan disuplai oleh energi surya pada 2030.”!break!

Namun, tidak akan terjadi tanpa bantuan pemerintah (lihat artikelnya, halaman 52). Nevada Solar One tidak akan dibangun andai negara bagian itu tidak memasang tenggat yang mewajibkan perusahaan listrik negara menghasilkan 20 persen dayanya dari sumber terbarukan sebelum 2015. (Hampir tiga puluh negara bagian kini punya “standar portofolio-terbarukan,” dan awal tahun ini terjadi perdebatan di Kongres untuk membuat aturan federal.)Pada saat beban puncak—sore yang panas di Las Vegas, saat biaya produksi paling besar—listrik dari PLTS hampir semurah pembangkit berbahan bakar gas di dekatnya. Namun, hal itu terjadi hanya karena 30 persen kredit pajak federal ikut meringankan biaya konstruksinya.

Para insinyur NREL yang bermaksud menurunkan biaya dan mengurangi kebutuhan insentif kini mempelajari cermin yang dibuat dari polimer ringan alih-alih kaca, juga tabung penerima yang menyerap lebih banyak sinar surya dan membuang panas lebih sedikit. Mereka juga meneliti masalah terbesar tenaga surya: cara menyimpan sebagian panas yang dihasilkan pada siang hari untuk digunakan kemudian. “Di Southwest terutama, beban puncak terjadi pada siang hari, tetapi tidak berakhir saat matahari tenggelam,” ujar Mark Mehos, manajer program NREL. Orang pulang dari kantor, menyalakan lampu dan penyejuk udara. Tak lama lagi, mereka mungkin mengisi baterai mobil listrik.

Tahun lalu PLTS komersial pertama dengan fasilitas penyimpanan panas dibuka di dekat Guadix, Spanyol, di timur Granada. Pada siang hari, sinar surya dari ladang cermin digunakan untuk memanaskan garam leleh. Malam hari, saat mendingin, garam melepaskan panasnya untuk menghasilkan uap. Di Arizona, Solana Generating Station juga akan menggunakan garam leleh untuk penyimpanan. Saat mulai berproduksi pada 2012, palung parabola seluas delapan kilometer persegi akan menghasilkan 280 megawatt untuk Phoenix dan Tucson. Solana dibangun oleh perusahaan Spanyol, Abengoa Solar—suatu pertanda betapa tertinggalnya AS dalam perkembangan teknologi ini.

DULU PADA 1980-AN, insinyur bernama Roland Hulstrom menghitung bahwa jika panel-panel fotovoltaik—teknologi surya hebat lainnya—meliputi 0,3 persen wilayah AS, 160 kilometer kali 160 kilometer, itu akan cukup untuk memenuhi kebutuhan seluruh negara tersebut.!break!

Orang mengira dia bermaksud melapisi Mojave dengan silikon. “Para pembela lingkungan menentang dan berkata, Anda tak bisa menutupi wilayah160 x 160 kilometer begitu saja,” ujar Hulstrom baru-baru ini sambil duduk di kantornya di NREL. Padahal, bukan itu yang dia maksud. “Kita dapat mengatapi tempat parkir dengan fotovoltaik. Juga dapat dipasang di atap.”

Dua puluh tahun kemudian, panel fotovoltaik masih sangat kecil kontribusinya bagi suplai listrik Amerika Serikat. Akan tetapi, di atas atap di California, Nevada, dan negara bagian lain yang banyak mendapat sinar surya dan memberlakukan insentif pajak, panel fotovoltaik sudah menjadi pemandangan yang hampir seumum penyejuk udara—dan walaupun belum semaju termal surya, mungkin masa depannya lebih baik.

Saat ini panel tersebut masih mahal dan efisiensinya hanya sekitar 10 hingga 20 persen dibandingkan dengan efisiensi palung parabola yang 24 persen. Penyebabnya lebih karena sejarah, bukan fisika. Setelah tenaga surya kandas pada medio 1980-an, banyak insinyur terbaik pindah ke industri komputer yang menggunakan bahan mentah yang sama—silikon dan semikonduktor lainnya. Sesuai dengan hukum Moore, kemampuan mikroprosesor berlipat dua setiap dua tahun, sementara teknologi surya merana. Kini sebagian insinyur cerdas itu kembali ke teknologi surya.

Peneliti di NREL memanfaatkan fakta bahwa semikonduktor yang berbeda menangkap warna sinar surya yang berbeda. Dengan melapiskan senyawa yang disebut gallium indium fosfida dan gallium indium arsenida serta menggunakan lensa untuk memusatkan sinar surya, mereka membuat sel fotovoltaik tahun lalu yang efisiensinya mencapai 40,8 persen (rekor dunia saat itu, kini sudah dipecahkan). Namun, sel tersebut masih jauh dari kesiapan untuk produksi massal. “Teknologinya luar biasa canggih,” kata Ray Stults, wakil direktur lab tersebut. “Saat ini kami dapat membuatnya dengan biaya 10.000 dolar AS (sekitar 100 juta rupiah) per sentimeter persegi, tetapi tak banyak yang akan membelinya.”!break!

Pendekatan lainnya adalah mengorbankan efisiensi untuk menurunkan harga. Walaupun energi yang dihasilkan per sentimeter persegi lebih kecil, semikonduktor setipis film memerlukan lebih sedikit bahan mentah, sehingga menjadi alternatif yang lebih murah untuk instalasi semikonduktor besar. Dua perusahaan Amerika, First Solar dan Nanosolar, menyatakan dapat memproduksi sel surya setipis film dengan biaya sekitar sepuluh ribu rupiah per watt—sangat dekat untuk dapat bersaing dengan bahan bakar fosil. Lebih ke depan lagi, para insinyur di NREL sedang mengembangkan fluida fotovoltaik. “Sasarannya adalah membuatnya seharga seliter cat,” kata Stults. “Efisiensinya tak akan mencapai 40 atau 50 persen. Hanya 10 persen. Tapi jika murah, tinggal dicat di dinding, sambungkan, dan beres.”

Panel fotovoltaik tidaklah terbatas untuk rumah atau gudang. Di pinggiran Las Vegas sisi timur laut, Pangkalan Angkatan Udara Nellis memperoleh 25 persen listriknya dengan fotovoltaik. Pada musim dingin saat tak diperlukan penyejuk udara, 100 persen daya pangkalan itu diperoleh dari surya. Musim gugur lalu, saat memandang ladang berisi 72.416 panel pelacak-surya, sementara angin bertiup di antara jajarannya, saya dapat melihat daya tariknya: Tak ada pipa minyak, penukar panas, ketel, dinamo, atau menara pendingin—hanya foton surya yang menghantam elektron hingga lepas dari atom silikon dan menghasilkan arus. Dibangun hanya dalam 26 minggu tahun 2007 oleh SunPower Corporation, sistem ini menghasilkan 14,2 megawatt, menjadikannya instalasi fotovoltaik terbesar di AS—walaupun hanya sekitar nomor 25 terbesar di dunia. Hampir semua yang lebih besar berada di Spanyol, yang seperti juga Jerman, berinvestasi dalam jumlah besar di bidang tenaga surya.

Namun, semua PLTS tersebut belum punya sistem penyimpanan. Karena fotovoltaik memeroduksi listrik secara langsung, tidak ada panas yang bisa diserap dalam tangki garam leleh. Salah satu pilihan adalah mengalihkan sebagian arus fotovoltaik pada siang hari untuk menggerakkan pompa, memampatkan udara ke dalam gua bawah tanah. Udara termampatkan sudah berpuluh tahun dipakai di Jerman dan Alabama untuk menyimpan produksi pembangkit listrik konvensional pada malam hari yang lebih murah, untuk digunakan saat beban puncak pada siang harinya. Di PLTS siklus itu dibalik: Apabila perlu listrik pada malam hari, energi yang terkurung pada siang hari dilepaskan, mengalir deras, dan memutar turbin.