Listrik Matahari

By , Senin, 31 Agustus 2009 | 14:10 WIB

Saat ini orang yang tidak tersambung ke PLN dan mengandalkan panel surya di atap rumahnya hanya mengandalkan aki untuk menyuplai energi saat malam hari. Pada masa mendatang mereka mungkin akan punya pengelektrolisis tenaga surya yang memecah molekul air menjadi hidrogen dan oksigen. Penggabungan kedua jenis gas ini dalam sel bahan bakar akan kembali menghasilkan listrik. Ini bukan ide baru, tetapi tahun lalu Daniel Nocera, kimiawan di MIT, melaporkan hal yang mungkin menjadi terobosan: katalis baru yang membuat penguraian air menjadi jauh lebih murah. Dalam studium generale, Nocera sering mengacungkan botol air plastik ukuran 1 liter. Semua kebutuhan listrik keluarga di malam hari, ujarnya, dapat disimpan dalam lima botol ini, dan sisanya cukup untuk menjalankan mobil listrik.!break!

Tak seorang pun yang tahu dengan rinci masa depan energi surya. Namun, sedang terbentuk kesepakatan bahwa peluang itu terbuka lebar—jika kita dapat berkomitmen menghidupkan kembali teknologi ini. “Awalnya terasa seperti pungguk merindukan bulan,” tutur Michelle Price, manajer energi Nellis, kepada saya musim gugur lalu saat saya mengelilingi pembangkit fotovoltaik baru pangkalan itu. “Rasanya tak mungkin saat itu.” Kini banyak yang terasa mungkin diraih.

PADA SUATU PAGI BULAN DESEMBER NAN DINGIN di barat Frankfurt, Jerman, kabut beku menggantung di pepohonan dan awan menghalangi Mentari. Sembari menggigil di punggung gunung di atas kota Morbach, saya mengamati bilah-bilah turbin angin setinggi 100 meter berputar menembus kelam. Sementara itu di bawah, ladang panel fotovoltaik berjuang menggapai cahaya Matahari. Siapa sangka bahwa Jerman bisa mengubah dirinya menjadi produser terbesar tenaga fotovoltaik di dunia dengan kapasitas lebih dari lima gigawatt?

Sebagian kecil daya tersebut berasal dari PLTS terpusat seperti PLTS kecil di Morbach atau bahkan Taman Surya Waldpolenz seluas 110 hektare yang baru-baru ini dibangun dengan teknologi fotovoltaik setipis film di bekas pangkalan angkatan udara Uni Soviet yang terbengkalai di dekat Leipzig. Karena harga tanah mahal di Jerman, panel surya dipasang di atas atap, rumah pertanian, bahkan stadion sepak bola dan di sepanjang jalan raya autobahn. Walaupun tersebar di seantero pelosok negeri, pembangkit-pembangkit itu terhubung ke jaringan listrik negara, dan perusahaan listrik wajib membayar produsen terkecil sekalipun sekitar 7.000 rupiah per kilowatt-jam.

“Kami dibayar karena tinggal di rumah ini,” kata Wolfgang Schnürer, penduduk Solarsiedlung—“perumahan surya”—sebuah kompleks kondominium di Freiburg. Di luar, salju meluncur jatuh dari panel surya yang menutupi atap permukiman itu. Sehari sebelumnya, sistem Schnürer hanya memproduksi 5,8 kilowatt-jam, tak cukup bahkan untuk satu keluarga Jerman. Namun, pada hari yang cerah bulan Mei hasilnya bisa lebih dari tujuh kali lipatnya.

Setelah menyajikan kopi dan kue Natal, Schnürer menggelar gambar cetak di atas meja. Pada 2008 PLTS pribadinya menghasilkan 6.187 kilowatt-jam, lebih dari dua kali yang dipakai keluarga Schnürer. Setelah jumlah yang mereka gunakan dikurangkan dari jumlah produksi, mereka untung lebih dari 2.500 euro (sekitar 35 juta rupiah).!break!

Terletak di tepi Hutan Hitam (Black Forest) di bagian selatan negeri itu, “Freiburg yang cerah,” demikian brosur wisata menyebutnya, berubah karena ledakan surya. Di seberang jalan Solarsiedlung, tempat parkir dan sekolah ditutupi panel fotovoltaik. Di bagian kota yang lebih tua, dinding fotovoltaik yang menjulang menyambut pengunjung di stasiun kereta. Tak jauh dari tempat itu, di Institut Fraunhofer untuk Sistem Energi Surya, teknologi generasi baru sedang dikembangkan. Dalam salah satu proyek, lensa Fresnel digunakan untuk memusatkan sinar surya hingga 500 kalinya, meningkatkan efisiensi panel fotovoltaik standar hingga 23 persen.

Kebutuhan akibat “tarif pemasok” pemerintah-lah yang mendorong penelitian seperti ini, ujar Eicke Weber, direktur institut itu. Siapa saja yang memasang sistem fotovoltaik dijamin akan dibeli di atas harga pasar selama 20 tahun—setara dengan 8 persen hasil per tahun dari investasi awal. “Ini mekanisme yang cerdas,” ujar Weber. “Saya selalu mengatakan, Amerika Serikat hanya mengajak kaum idealis yang mau menyelamatkan planet—kaum hippie. Di Jerman hukum mengajak siapa saja yang mau mendapat hasil 8 persen per tahun selama 20 tahun atas investasinya.”

PAJANGAN PALING SPEKTAKULER untuk masa depan surya mungkin Plataforma Solúcar, kompleks energi surya Spanyol di dataran Andalusia. Saya pernah melihat foto menara daya 11-megawatt yang bernama PS10. Menara yang menjulang setinggi 115 meter itu dikelilingi 624 cermin pelacak-Matahari yang memantulkan berkas cahaya ke puncaknya, menimbulkan cahaya cemerlang laksana bintang baru. Di sebelahnya, PS20 telah rampung dibangun dengan heliostat dan daya sebesar dua kali lipatnya. Namun, saat mencapai puncak bukit sekitar 25 kilometer di sebelah barat Sevilla, saya melihat cuaca Jerman turut bersama saya. Lembah itu terbungkus kabut—sebuah pengingat bahwa bahkan di Spanyol selatan yang terik sekalipun, surya harus dilengkapi dengan penyimpanan dan bentuk daya lainnya.

“Kami mendapat masalah tadi malam—menaranya hilang,” ujar Valerio Fernández, direktur PLTS yang dimiliki Abengoa Solar itu saat dia menyambut di gerbang. Dia tertawa saat kami menengadah untuk melihat PS10, puncaknya tertutup awan. Pada hari biasa, daya yang difokuskan ke menara dapat mencapai empat megawatt per meter persegi—jauh lebih tinggi daripada yang dapat digunakan secara aman. Operator PS10 harus membatasi fluks agar penerimanya tidak meleleh.!break!

Menara daya adalah versi lain dari termal surya, cara lain dalam menggunakan sinar surya untuk menghasilkan uap. Walaupun palung parabola terbukti cocok untuk area yang luas dan datar, menara daya dapat dibangun di medan berbukit, setiap cermin diatur agar terkumpul ke ketel yang ditinggikan. Karena menara itu memanaskan uap hingga suhu yang lebih tinggi, menara tersebut potensial untuk lebih efisien.

Namun, karena industri surya ini masih belum terlalu berkembang, Abengoa Solar melindunginya dengan cara lain. Tak jauh dari menara-menara daya, beberapa derek memasang jajaran palung parabola. Di belakang PS10 terbentang ladang fotovoltaik canggih yang melacak Matahari terhadap dua sumbu—utara-selatan juga timur-barat—untuk menjamin paparan optimum sepanjang tahun. Setiap panel dilengkapi dengan cermin atau lensa Fresnel untuk memperkuat cahaya. “Mengambil manfaat dari setiap berkas sinar mentari—itulah sasaran kami,” kata Fernández.

SETELAH PULANG KE AMERIKA SERIKAT, SAYA MEMBACA artikel majalah yang menantang negara ini agar mempercepat pengembangan industri yang menggunakan surya: “Setiap jam, Matahari membanjiri Bumi dengan energi termal yang setara dengan 21 miliar ton batubara,” hitung sang penulis. “Jumlah energi surya nyaris tak bisa dibayangkan.” Artikel yang berilustrasi gambar PLTS masa depan dengan cermin pembuat uap raksasa itu berjudul “Mengapa Kita Tak Punya...Tenaga Surya?” Artikel itu bertanggal September 1953.

Kali ini mungkin AS akan berhasil. Februari lalu, BrightSource Energy menandatangani kontrak dengan Southern California Edison untuk beberapa menara surya di gurun barat daya yang dapat menghasilkan daya 1,3 gigawatt, setara dengan pembangkit besar berbahan bakar batubara. Sementara itu, Pacific Gas and Electric juga membuat kontrak untuk lebih dari 1,8 gigawatt yang dihasilkan palung parabola, fotovoltaik, dan menara daya BrightSource. Pejuang lingkungan sudah bersiap-siap mencoba menentang beberapa proyek ini; proyek ini akan meliputi wilayah gurun yang luas, dan beberapa mungkin menggunakan banyak air yang langka di sana untuk pendinginan. Seperti bentuk penghasil energi lainnya, Matahari juga punya aspek negatif.!break!

Perjalanan masih panjang. Saat berada di Nevada, saya berkendara ke Hoover Dam—penghasil massal listrik terbarukan yang awal—dan ikut tur turun ke dalamnya. Di dasar curahan Sungai Colorado, air yang terjun dari Danau Mead memutar dua baris turbin raksasa yang paralel. Satu turbin saja menghasilkan 130 megawatt, dua kali daya Nevada Solar One.

Tetapi, Hoover Dam membuat saya berharap. Kembali ke atas, sambil membaca plakat kuningan pudar dan mengagumi arsitektur art deco, saya berpikir tentang cara AS menghadapi tantangan Depresi Besar 1930-an. Kesepakatan Baru, demikian nama paket stimulus di masa lalu itu, tidak hanya mencakup Hoover namun juga Tennessee Valley Authority, yang membawa daya hidrolistrik ke bagian Tenggara Amerika, serta Rural Electrification Administration, yang memasang kabel listrik hingga ke pedalaman. Saat terjadi bencana ekonomi, lanskap energi AS berubah. Tujuh dasawarsa kemudian AS masih menuai manfaatnya setiap menyalakan sakelar.