Listrik Matahari

By , Senin, 31 Agustus 2009 | 14:10 WIB

Awal pagi bulan November yang cerah di Gurun Mojave, Matahari baru saja menyentuh puncak-puncak Pegunungan McCullough dengan rona merah dadu. Di baliknya, purnama terbenam di atas gemerlap miliaran watt Las Vegas. Nevada Solar One masih tertidur. Namun, pekerjaan hari itu akan segera dimulai. Sulit membayangkan pembangkit listrik bisa seindah ini: 100 hektare jajaran cermin cekung memanjang laksana kanal cahaya. Cermin-cermin yang diletakkan menghadap ke bawah pada malam hari itu mulai terbangun—jumlahnya lebih dari 182.000—dan mengikuti Matahari.!break!

“Sepertinya hari ini 370 derajat,” kata salah seorang operator di ruang kendali. Tugas si operator adalah memantau barisan cermin parabola itu saat memusatkan sinar surya ke pipa baja panjang berisi minyak yang bersirkulasi, memanaskannya hingga mencapai 400 derajat Celsius. Dari ladang cermin, cairan yang sangat panas itu dicurahkan ke dalam radiator raksasa yang mengambil panas tersebut untuk mendidihkan air hingga menguap. Uap lalu menggerakkan turbin dan dinamo, menghasilkan hingga 64 megawatt ke jaringan listrik—cukup untuk kebutuhan listrik 14.000 rumah tangga atau beberapa kasino Las Vegas. “Begitu sistem menghasilkan uap, prosesnya seperti pembangkit biasa—standar industri,” kata manajer pembangkit Robert Cable sambil menunjuk ke arah pembangkit listrik tenaga gas di seberang Eldorado Valley Drive. “Kami punya alat dan komponen yang sama dengan pembangkit di seberang jalan itu.”

Saat mulai berproduksi pada 2007, Nevada Solar One merupakan pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) berukuran besar pertama yang dibangun di Amerika Serikat selama lebih dari 17 tahun. Selama kurun itu, teknologi surya berkembang di tempat lain. Nevada Solar One dimiliki Acciona, perusahaan Spanyol yang memproduksi listrik di sini dan menjualnya kepada NV Energy, perusahaan penyedia listrik regional. Cerminnya buatan Jerman.

Sambil mengenakan helm proyek dan kacamata hitam, saya dan Cable naik mobil pikapnya lalu perlahan melintasi cermin, baris demi baris. Beberapa lelaki yang naik truk air menyemprot beberapa cermin. “Semua jenis debu berpengaruh pada cermin,” ujar Cable. Di pinggir ladang cermin, kami berhenti dan turun dari truk untuk melihat lebih jelas. Untuk memperlihatkan kekuatan kaca cermin tersebut, Cable memukulnya seperti gendang. Di atas kepalanya, di titik fokus parabola, pipa yang mengalirkan minyak dilapisi keramik hitam agar menyerap cahaya dan terbungkus silinder kaca hampa udara sebagai penyekat. Pada hari musim panas yang cerah saat Matahari tepat di atas kepala, Nevada Solar One dapat mengubah sekitar 21 persen sinar surya menjadi listrik. PLTG lebih efisien memang, tetapi yang ini bahan bakarnya gratis. Juga tidak menghasilkan karbon dioksida yang memanaskan planet.!break!

Sekitar setiap 30 detik, terdengar dengung pelan saat motor mendongakkan cermin sedikit; pada tengah hari cermin itu akan tepat menghadap ke atas. Tempat itu sangat sepi, sehingga sulit membayangkan jumlah listrik yang dihasilkan: Setiap jajaran 760 cermin dapat menghasilkan 84.000 watt—hampir 113 tenaga kuda. Pada pukul delapan, minyak yang mengalir dalam pipa mencapai suhu kerja. Asap putih mengepul dari cerobong pendingin. Setengah jam kemudian, suara turbin dalam unit pembangkit melengking nyaring. Nevada Solar One siap menyuplai tenaga.!break!

DENGAN ADANYA JANJI DARI PEMERINTAHAN BARU di Washington DC untuk menanggulangi pemanasan global dan membebaskan diri dari minyak impor, energi surya mungkin akhirnya berkembang. Tahun lalu harga minyak melonjak hingga lebih dari Rp1,4 juta per barel sebelum terpuruk seiring kondisi perekonomian—pengingat akan bahayanya menggantungkan masa depan pada hal yang tak terduga seperti minyak. Washington, yang menghadapi resesi terparah sejak 1930-an, mendanai berbagai proyek raksasa untuk memperbaiki prasarana Amerika Serikat, termasuk suplai energinya. Dalam pidato pelantikannya, Presiden Barack Obama berjanji untuk “memanfaatkan Matahari, angin, dan tanah untuk menggerakkan mobil dan menjalankan pabrik AS”. Anggaran 2010-nya menggariskan penggandaan kapasitas energi terbarukan negeri itu dalam tiga tahun. Turbin angin dan bahan bakar hayati bakal menjadi kontributor penting. Hanya saja, tak ada bentuk energi yang seberlimpah Matahari.

“Jika kita membicarakan panas bumi atau angin, semua sumber energi terbarukan ini terbatas jumlahnya,” tutur Eicke Weber, direktur Institut Fraunhofer untuk Sistem Energi Surya di Freiburg, Jerman, kepada saya musim gugur lalu. “Kebutuhan manusia di Bumi akan total daya listrik sekitar 16 terawatt,” ujarnya (satu terawatt sama dengan satu triliun watt).“ Jumlah itu diperkirakan naik menjadi 20 terawatt pada 2020. Adapun sinar surya yang sampai ke daratan di Bumi mencapai 120.000 terawatt. Dari sudut pandang ini, energi dari Matahari bisa dikatakan tak terbatas.”

Ada dua cara menyerap energi tersebut. Cara pertama adalah dengan memeroduksi uap, baik dengan palung parabola seperti yang di Nevada atau melalui ladang cermin datar berpandu-komputer, disebut heliostat, yang memfokuskan sinar matahari ke penerima di atas “menara daya” raksasa. Cara kedua adalah mengubah sinar surya langsung menjadi listrik dengan panel fotovoltaik yang terbuat dari semikonduktor seperti silikon.

Setiap pendekatan punya kelebihan. Saat ini penguapan fluida yang juga dikenal sebagai pemusatan sinar surya atau termal surya lebih efisien daripada fotovoltaik—persentase sinar surya yang diubah menjadi listrik lebih besar. Namun, cara ini perlu lahan luas dan jalur transmisi yang panjang agar tenaga listrik bisa dibawa ke pengguna. Sementara itu, panel fotovoltaik dapat diletakkan di atas atap di tempat yang memerlukan tenaga listrik. Kedua sumber energi itu jelas punya kekurangan yang sama: Tenaga berkurang saat mendung dan hilang pada malam hari. Namun, para insinyur sedang mengembangkan sistem penyimpanan energi tersebut untuk digunakan saat gelap.!break!

Yang optimis menyatakan bahwa dengan peningkatan bertahap yang stabil—tak perlu terobosan besar—dan dengan dukungan pemerintah yang substansial, tenaga surya dapat menjadi seekonomis dan seefisien bahan bakar fosil. Yang pesimis menyatakan mereka pernah mendengar hal ini—30 tahun lalu, pada masa kepresidenan Jimmy Carter. Saat itu juga terjadi krisis di AS yang dipicu embargo minyak Arab pada 1973. Presiden Carter yang menyampaikan pidato negara dengan bersweter kardigan, menggariskan kebijakan energi baru yang lebih melibatkan energi surya. Pada 1979 Revolusi Islam di Iran menyebabkan harga minyak melonjak lagi. Orang Amerika mengantre bensin, radionya mengumandangkan lagu seperti “Bomb Iran,” oleh Vince Vance & The Valiants (dinyanyikan dengan melodi “Barbara Ann” Beach Boys). Carter, sebagaimana yang dikatakannya, memasang pemanas air surya di atas atap Gedung Putih.

Beberapa tahun berikutnya, dua ladang palung parabola, SEGS I dan II (singkatan Solar Electric Generating Station) dipasang sekitar 260 kilometer barat daya Las Vegas, di dekat Daggett, California. Kedua stasiun ini diikuti oleh tujuh pembangkit lagi tak jauh dari sana, di Kramer Junction dan di tepi Danau Harper yang tak berair. Semua pembangkit itu masih beroperasi—sekitar sejuta cermin total di lahan sekitar 650 hektare dengan tenaga listrik gabungan 354 megawatt. Dari jauh terlihat seperti fatamorgana.

Momentum itu tidak bertahan lama. Setelah ekonomi menyesuaikan diri dengan kejutan minyak Iran, harga bahan bakar turun kembali. Dengan menurunnya perasaan genting, serta dana penelitian yang juga turun, surya tetap menjadi faktor kecil dalam persamaan energi. Pembangkit SEGS masih dalam tahap pembangunan saat Presiden Ronald Reagan menyingkirkan pemanas air surya dari atas Gedung Putih. Revolusi surya pertama kandas.

Dua dasawarsa kemudian, revolusi surya yang baru mungkin akan terjadi lagi.

Peninggalan lain dari era Carter, National Renewable Energy Laboratory (NREL) di Golden, Colorado—pusat penelitian utama pemerintah untuk surya, angin, hidrogen, dan bahan bakar alternatif lainnya—bersiap bangkit kembali. Saat saya berkunjung ke sana musim gugur lalu, markas dan kampus penelitian yang baru sedang dibangun menempel ke lereng bukit di luar Golden. Panel fotovoltaik seluas dua hektare di puncak bukit itu akan menyuplai kebutuhan listrik laboratorium dan perkantoran di bawah. Ini baru awalnya. NREL yang dulu dianaktirikan oleh pemerintah menerima anggaran ekstra dari Pemerintahan Obama yang bertekad mengembangkan energi terbarukan. “Saat ini surya masih merupakan bagian sangat kecil dalam produksi listrik AS, hanya mencapai sepersepuluh persen,” kata Robert Hawsey, wakil direktur lab itu. “Namun, diperkirakan akan tumbuh. Sepuluh hingga 20 persen kebutuhan listrik puncak A.S. akan disuplai oleh energi surya pada 2030.”!break!

Namun, tidak akan terjadi tanpa bantuan pemerintah (lihat artikelnya, halaman 52). Nevada Solar One tidak akan dibangun andai negara bagian itu tidak memasang tenggat yang mewajibkan perusahaan listrik negara menghasilkan 20 persen dayanya dari sumber terbarukan sebelum 2015. (Hampir tiga puluh negara bagian kini punya “standar portofolio-terbarukan,” dan awal tahun ini terjadi perdebatan di Kongres untuk membuat aturan federal.)Pada saat beban puncak—sore yang panas di Las Vegas, saat biaya produksi paling besar—listrik dari PLTS hampir semurah pembangkit berbahan bakar gas di dekatnya. Namun, hal itu terjadi hanya karena 30 persen kredit pajak federal ikut meringankan biaya konstruksinya.

Para insinyur NREL yang bermaksud menurunkan biaya dan mengurangi kebutuhan insentif kini mempelajari cermin yang dibuat dari polimer ringan alih-alih kaca, juga tabung penerima yang menyerap lebih banyak sinar surya dan membuang panas lebih sedikit. Mereka juga meneliti masalah terbesar tenaga surya: cara menyimpan sebagian panas yang dihasilkan pada siang hari untuk digunakan kemudian. “Di Southwest terutama, beban puncak terjadi pada siang hari, tetapi tidak berakhir saat matahari tenggelam,” ujar Mark Mehos, manajer program NREL. Orang pulang dari kantor, menyalakan lampu dan penyejuk udara. Tak lama lagi, mereka mungkin mengisi baterai mobil listrik.

Tahun lalu PLTS komersial pertama dengan fasilitas penyimpanan panas dibuka di dekat Guadix, Spanyol, di timur Granada. Pada siang hari, sinar surya dari ladang cermin digunakan untuk memanaskan garam leleh. Malam hari, saat mendingin, garam melepaskan panasnya untuk menghasilkan uap. Di Arizona, Solana Generating Station juga akan menggunakan garam leleh untuk penyimpanan. Saat mulai berproduksi pada 2012, palung parabola seluas delapan kilometer persegi akan menghasilkan 280 megawatt untuk Phoenix dan Tucson. Solana dibangun oleh perusahaan Spanyol, Abengoa Solar—suatu pertanda betapa tertinggalnya AS dalam perkembangan teknologi ini.

DULU PADA 1980-AN, insinyur bernama Roland Hulstrom menghitung bahwa jika panel-panel fotovoltaik—teknologi surya hebat lainnya—meliputi 0,3 persen wilayah AS, 160 kilometer kali 160 kilometer, itu akan cukup untuk memenuhi kebutuhan seluruh negara tersebut.!break!

Orang mengira dia bermaksud melapisi Mojave dengan silikon. “Para pembela lingkungan menentang dan berkata, Anda tak bisa menutupi wilayah160 x 160 kilometer begitu saja,” ujar Hulstrom baru-baru ini sambil duduk di kantornya di NREL. Padahal, bukan itu yang dia maksud. “Kita dapat mengatapi tempat parkir dengan fotovoltaik. Juga dapat dipasang di atap.”

Dua puluh tahun kemudian, panel fotovoltaik masih sangat kecil kontribusinya bagi suplai listrik Amerika Serikat. Akan tetapi, di atas atap di California, Nevada, dan negara bagian lain yang banyak mendapat sinar surya dan memberlakukan insentif pajak, panel fotovoltaik sudah menjadi pemandangan yang hampir seumum penyejuk udara—dan walaupun belum semaju termal surya, mungkin masa depannya lebih baik.

Saat ini panel tersebut masih mahal dan efisiensinya hanya sekitar 10 hingga 20 persen dibandingkan dengan efisiensi palung parabola yang 24 persen. Penyebabnya lebih karena sejarah, bukan fisika. Setelah tenaga surya kandas pada medio 1980-an, banyak insinyur terbaik pindah ke industri komputer yang menggunakan bahan mentah yang sama—silikon dan semikonduktor lainnya. Sesuai dengan hukum Moore, kemampuan mikroprosesor berlipat dua setiap dua tahun, sementara teknologi surya merana. Kini sebagian insinyur cerdas itu kembali ke teknologi surya.

Peneliti di NREL memanfaatkan fakta bahwa semikonduktor yang berbeda menangkap warna sinar surya yang berbeda. Dengan melapiskan senyawa yang disebut gallium indium fosfida dan gallium indium arsenida serta menggunakan lensa untuk memusatkan sinar surya, mereka membuat sel fotovoltaik tahun lalu yang efisiensinya mencapai 40,8 persen (rekor dunia saat itu, kini sudah dipecahkan). Namun, sel tersebut masih jauh dari kesiapan untuk produksi massal. “Teknologinya luar biasa canggih,” kata Ray Stults, wakil direktur lab tersebut. “Saat ini kami dapat membuatnya dengan biaya 10.000 dolar AS (sekitar 100 juta rupiah) per sentimeter persegi, tetapi tak banyak yang akan membelinya.”!break!

Pendekatan lainnya adalah mengorbankan efisiensi untuk menurunkan harga. Walaupun energi yang dihasilkan per sentimeter persegi lebih kecil, semikonduktor setipis film memerlukan lebih sedikit bahan mentah, sehingga menjadi alternatif yang lebih murah untuk instalasi semikonduktor besar. Dua perusahaan Amerika, First Solar dan Nanosolar, menyatakan dapat memproduksi sel surya setipis film dengan biaya sekitar sepuluh ribu rupiah per watt—sangat dekat untuk dapat bersaing dengan bahan bakar fosil. Lebih ke depan lagi, para insinyur di NREL sedang mengembangkan fluida fotovoltaik. “Sasarannya adalah membuatnya seharga seliter cat,” kata Stults. “Efisiensinya tak akan mencapai 40 atau 50 persen. Hanya 10 persen. Tapi jika murah, tinggal dicat di dinding, sambungkan, dan beres.”

Panel fotovoltaik tidaklah terbatas untuk rumah atau gudang. Di pinggiran Las Vegas sisi timur laut, Pangkalan Angkatan Udara Nellis memperoleh 25 persen listriknya dengan fotovoltaik. Pada musim dingin saat tak diperlukan penyejuk udara, 100 persen daya pangkalan itu diperoleh dari surya. Musim gugur lalu, saat memandang ladang berisi 72.416 panel pelacak-surya, sementara angin bertiup di antara jajarannya, saya dapat melihat daya tariknya: Tak ada pipa minyak, penukar panas, ketel, dinamo, atau menara pendingin—hanya foton surya yang menghantam elektron hingga lepas dari atom silikon dan menghasilkan arus. Dibangun hanya dalam 26 minggu tahun 2007 oleh SunPower Corporation, sistem ini menghasilkan 14,2 megawatt, menjadikannya instalasi fotovoltaik terbesar di AS—walaupun hanya sekitar nomor 25 terbesar di dunia. Hampir semua yang lebih besar berada di Spanyol, yang seperti juga Jerman, berinvestasi dalam jumlah besar di bidang tenaga surya.

Namun, semua PLTS tersebut belum punya sistem penyimpanan. Karena fotovoltaik memeroduksi listrik secara langsung, tidak ada panas yang bisa diserap dalam tangki garam leleh. Salah satu pilihan adalah mengalihkan sebagian arus fotovoltaik pada siang hari untuk menggerakkan pompa, memampatkan udara ke dalam gua bawah tanah. Udara termampatkan sudah berpuluh tahun dipakai di Jerman dan Alabama untuk menyimpan produksi pembangkit listrik konvensional pada malam hari yang lebih murah, untuk digunakan saat beban puncak pada siang harinya. Di PLTS siklus itu dibalik: Apabila perlu listrik pada malam hari, energi yang terkurung pada siang hari dilepaskan, mengalir deras, dan memutar turbin.

Saat ini orang yang tidak tersambung ke PLN dan mengandalkan panel surya di atap rumahnya hanya mengandalkan aki untuk menyuplai energi saat malam hari. Pada masa mendatang mereka mungkin akan punya pengelektrolisis tenaga surya yang memecah molekul air menjadi hidrogen dan oksigen. Penggabungan kedua jenis gas ini dalam sel bahan bakar akan kembali menghasilkan listrik. Ini bukan ide baru, tetapi tahun lalu Daniel Nocera, kimiawan di MIT, melaporkan hal yang mungkin menjadi terobosan: katalis baru yang membuat penguraian air menjadi jauh lebih murah. Dalam studium generale, Nocera sering mengacungkan botol air plastik ukuran 1 liter. Semua kebutuhan listrik keluarga di malam hari, ujarnya, dapat disimpan dalam lima botol ini, dan sisanya cukup untuk menjalankan mobil listrik.!break!

Tak seorang pun yang tahu dengan rinci masa depan energi surya. Namun, sedang terbentuk kesepakatan bahwa peluang itu terbuka lebar—jika kita dapat berkomitmen menghidupkan kembali teknologi ini. “Awalnya terasa seperti pungguk merindukan bulan,” tutur Michelle Price, manajer energi Nellis, kepada saya musim gugur lalu saat saya mengelilingi pembangkit fotovoltaik baru pangkalan itu. “Rasanya tak mungkin saat itu.” Kini banyak yang terasa mungkin diraih.

PADA SUATU PAGI BULAN DESEMBER NAN DINGIN di barat Frankfurt, Jerman, kabut beku menggantung di pepohonan dan awan menghalangi Mentari. Sembari menggigil di punggung gunung di atas kota Morbach, saya mengamati bilah-bilah turbin angin setinggi 100 meter berputar menembus kelam. Sementara itu di bawah, ladang panel fotovoltaik berjuang menggapai cahaya Matahari. Siapa sangka bahwa Jerman bisa mengubah dirinya menjadi produser terbesar tenaga fotovoltaik di dunia dengan kapasitas lebih dari lima gigawatt?

Sebagian kecil daya tersebut berasal dari PLTS terpusat seperti PLTS kecil di Morbach atau bahkan Taman Surya Waldpolenz seluas 110 hektare yang baru-baru ini dibangun dengan teknologi fotovoltaik setipis film di bekas pangkalan angkatan udara Uni Soviet yang terbengkalai di dekat Leipzig. Karena harga tanah mahal di Jerman, panel surya dipasang di atas atap, rumah pertanian, bahkan stadion sepak bola dan di sepanjang jalan raya autobahn. Walaupun tersebar di seantero pelosok negeri, pembangkit-pembangkit itu terhubung ke jaringan listrik negara, dan perusahaan listrik wajib membayar produsen terkecil sekalipun sekitar 7.000 rupiah per kilowatt-jam.

“Kami dibayar karena tinggal di rumah ini,” kata Wolfgang Schnürer, penduduk Solarsiedlung—“perumahan surya”—sebuah kompleks kondominium di Freiburg. Di luar, salju meluncur jatuh dari panel surya yang menutupi atap permukiman itu. Sehari sebelumnya, sistem Schnürer hanya memproduksi 5,8 kilowatt-jam, tak cukup bahkan untuk satu keluarga Jerman. Namun, pada hari yang cerah bulan Mei hasilnya bisa lebih dari tujuh kali lipatnya.

Setelah menyajikan kopi dan kue Natal, Schnürer menggelar gambar cetak di atas meja. Pada 2008 PLTS pribadinya menghasilkan 6.187 kilowatt-jam, lebih dari dua kali yang dipakai keluarga Schnürer. Setelah jumlah yang mereka gunakan dikurangkan dari jumlah produksi, mereka untung lebih dari 2.500 euro (sekitar 35 juta rupiah).!break!

Terletak di tepi Hutan Hitam (Black Forest) di bagian selatan negeri itu, “Freiburg yang cerah,” demikian brosur wisata menyebutnya, berubah karena ledakan surya. Di seberang jalan Solarsiedlung, tempat parkir dan sekolah ditutupi panel fotovoltaik. Di bagian kota yang lebih tua, dinding fotovoltaik yang menjulang menyambut pengunjung di stasiun kereta. Tak jauh dari tempat itu, di Institut Fraunhofer untuk Sistem Energi Surya, teknologi generasi baru sedang dikembangkan. Dalam salah satu proyek, lensa Fresnel digunakan untuk memusatkan sinar surya hingga 500 kalinya, meningkatkan efisiensi panel fotovoltaik standar hingga 23 persen.

Kebutuhan akibat “tarif pemasok” pemerintah-lah yang mendorong penelitian seperti ini, ujar Eicke Weber, direktur institut itu. Siapa saja yang memasang sistem fotovoltaik dijamin akan dibeli di atas harga pasar selama 20 tahun—setara dengan 8 persen hasil per tahun dari investasi awal. “Ini mekanisme yang cerdas,” ujar Weber. “Saya selalu mengatakan, Amerika Serikat hanya mengajak kaum idealis yang mau menyelamatkan planet—kaum hippie. Di Jerman hukum mengajak siapa saja yang mau mendapat hasil 8 persen per tahun selama 20 tahun atas investasinya.”

PAJANGAN PALING SPEKTAKULER untuk masa depan surya mungkin Plataforma Solúcar, kompleks energi surya Spanyol di dataran Andalusia. Saya pernah melihat foto menara daya 11-megawatt yang bernama PS10. Menara yang menjulang setinggi 115 meter itu dikelilingi 624 cermin pelacak-Matahari yang memantulkan berkas cahaya ke puncaknya, menimbulkan cahaya cemerlang laksana bintang baru. Di sebelahnya, PS20 telah rampung dibangun dengan heliostat dan daya sebesar dua kali lipatnya. Namun, saat mencapai puncak bukit sekitar 25 kilometer di sebelah barat Sevilla, saya melihat cuaca Jerman turut bersama saya. Lembah itu terbungkus kabut—sebuah pengingat bahwa bahkan di Spanyol selatan yang terik sekalipun, surya harus dilengkapi dengan penyimpanan dan bentuk daya lainnya.

“Kami mendapat masalah tadi malam—menaranya hilang,” ujar Valerio Fernández, direktur PLTS yang dimiliki Abengoa Solar itu saat dia menyambut di gerbang. Dia tertawa saat kami menengadah untuk melihat PS10, puncaknya tertutup awan. Pada hari biasa, daya yang difokuskan ke menara dapat mencapai empat megawatt per meter persegi—jauh lebih tinggi daripada yang dapat digunakan secara aman. Operator PS10 harus membatasi fluks agar penerimanya tidak meleleh.!break!

Menara daya adalah versi lain dari termal surya, cara lain dalam menggunakan sinar surya untuk menghasilkan uap. Walaupun palung parabola terbukti cocok untuk area yang luas dan datar, menara daya dapat dibangun di medan berbukit, setiap cermin diatur agar terkumpul ke ketel yang ditinggikan. Karena menara itu memanaskan uap hingga suhu yang lebih tinggi, menara tersebut potensial untuk lebih efisien.

Namun, karena industri surya ini masih belum terlalu berkembang, Abengoa Solar melindunginya dengan cara lain. Tak jauh dari menara-menara daya, beberapa derek memasang jajaran palung parabola. Di belakang PS10 terbentang ladang fotovoltaik canggih yang melacak Matahari terhadap dua sumbu—utara-selatan juga timur-barat—untuk menjamin paparan optimum sepanjang tahun. Setiap panel dilengkapi dengan cermin atau lensa Fresnel untuk memperkuat cahaya. “Mengambil manfaat dari setiap berkas sinar mentari—itulah sasaran kami,” kata Fernández.

SETELAH PULANG KE AMERIKA SERIKAT, SAYA MEMBACA artikel majalah yang menantang negara ini agar mempercepat pengembangan industri yang menggunakan surya: “Setiap jam, Matahari membanjiri Bumi dengan energi termal yang setara dengan 21 miliar ton batubara,” hitung sang penulis. “Jumlah energi surya nyaris tak bisa dibayangkan.” Artikel yang berilustrasi gambar PLTS masa depan dengan cermin pembuat uap raksasa itu berjudul “Mengapa Kita Tak Punya...Tenaga Surya?” Artikel itu bertanggal September 1953.

Kali ini mungkin AS akan berhasil. Februari lalu, BrightSource Energy menandatangani kontrak dengan Southern California Edison untuk beberapa menara surya di gurun barat daya yang dapat menghasilkan daya 1,3 gigawatt, setara dengan pembangkit besar berbahan bakar batubara. Sementara itu, Pacific Gas and Electric juga membuat kontrak untuk lebih dari 1,8 gigawatt yang dihasilkan palung parabola, fotovoltaik, dan menara daya BrightSource. Pejuang lingkungan sudah bersiap-siap mencoba menentang beberapa proyek ini; proyek ini akan meliputi wilayah gurun yang luas, dan beberapa mungkin menggunakan banyak air yang langka di sana untuk pendinginan. Seperti bentuk penghasil energi lainnya, Matahari juga punya aspek negatif.!break!

Perjalanan masih panjang. Saat berada di Nevada, saya berkendara ke Hoover Dam—penghasil massal listrik terbarukan yang awal—dan ikut tur turun ke dalamnya. Di dasar curahan Sungai Colorado, air yang terjun dari Danau Mead memutar dua baris turbin raksasa yang paralel. Satu turbin saja menghasilkan 130 megawatt, dua kali daya Nevada Solar One.

Tetapi, Hoover Dam membuat saya berharap. Kembali ke atas, sambil membaca plakat kuningan pudar dan mengagumi arsitektur art deco, saya berpikir tentang cara AS menghadapi tantangan Depresi Besar 1930-an. Kesepakatan Baru, demikian nama paket stimulus di masa lalu itu, tidak hanya mencakup Hoover namun juga Tennessee Valley Authority, yang membawa daya hidrolistrik ke bagian Tenggara Amerika, serta Rural Electrification Administration, yang memasang kabel listrik hingga ke pedalaman. Saat terjadi bencana ekonomi, lanskap energi AS berubah. Tujuh dasawarsa kemudian AS masih menuai manfaatnya setiap menyalakan sakelar.