Chittaurgarh adalah sebuah benteng besar dibangun dari batu pasir padat yang terletak di dataran rendah di Rajasthan selatan. Benteng itu dibangun pada abad ke-7, dan merupakan ibukota Mewar, sebuah kerajaan yang sangat berkuasa, yang dipimpin oleh para pejuang Hindu berkasta tinggi yang dikenal dengan nama Rajput. Orang Lohar juga termasuk kaum Rajput, menurut cerita lama dari mulut ke mulut. Mereka bekerja di kerajaan itu sebagai pembuat senjata. Namun, pada 1568, Chittaurgarh dikuasai oleh Akbar, Kaisar Mogul yang agung, dan orang Lohar lari menyelamatkan diri.
Malu dengan pelarian tersebut, mereka bertekad untuk hidup mengembara dan tidak mau menjalani kehidupan yang nyaman, bersumpah untuk tidak akan mau lagi bermalam di desa, menyalakan lampu setelah gelap, atau bahkan menggunakan tali untuk menimba air dari sumur—keseluruhan janji itu disebut sebagai Sumpah. (Mereka juga bersumpah untuk tidak tidur di tempat tidur yang nyaman dan bahkan sampai sekarang berkelana sambil membawa dipan yang dipasang terbalik, sebagai lambang ketaatan memenuhi janji kuno itu).!break!
Namun, mereka tetap harus mencari nafkah, sehingga mereka menggunakan keterampilan sebagai pandai besi untuk membuat barang yang lebih sederhana. Peralatan dapur dan peralatan pertanian mereka terkenal karena awet dan, sebelum barang impor murah buatan Cina membanjir, mereka tidak pernah kekurangan pembeli.
India pernah dipenuhi para pengrajin yang senang berkelana ini. Kehidupan mereka pada mulanya pernah dipaparkan secara terperinci oleh seorang pegawai negeri Inggris, Denzil Ibbetson, dalam laporan tahun 1883 berdasarkan data sensus dari wilayah Punjab. Di antara para pengelana itu terdapat suku Qalandari ("pekerjaan nyata mereka adalah pawang beruang, monyet, dan binatang pertunjukan lainnya"); suku Nat ("pemain akrobat dan pesulap kelas picisan"); suku Gagra (“gemar menangkap, memelihara, dan menempelkan lintah "); dan suku Kanjar ("tukang mengobati barah”). "Mereka bukan orang-orang yang menyenangkan," begitu Ibbetson menyimpulkan, "dan syukurlah kami tidak perlu terlalu sering berhubungan dengan mereka."
Pengamatan Ibbetson mencerminkan prasangka zaman itu dan keyakinan yang dianut banyak orang di Inggris bahwa para pengelana—terutama yang berkulit gelap dan menggunakan bahasa Romany yang dikenal sebagai orang Gipsi—adalah orang-orang jahat. Prasangka seperti itu dengan mudah ditularkan ke penduduk anak benua tersebut. Pada 1871, pemerintah kolonial menyetujui undang-undang yang terkenal karena keburukannya, disebut Criminal Tribes Act, yang menyatakan bahwa puluhan kelompok pengembara, pada dasarnya, adalah penjahat karena sudah merupakan sifat bawaan. Keluarga pengembara ini diwajibkan mendaftar ke polisi, dan ribuan lelaki, wanita, dan anak-anak secara paksa dikumpulkan di kamp-kamp pekerja, beberapa di antaranya dikelola oleh Bala Keselamatan, menurut buku Dishonoured by History, karya sosiolog India Meena Radhakrishna.
Setelah kemerdekaan pada 1947, undang-undang itu digantikan oleh undang-undang lain yang tak kalah diskriminatifnya, yaitu Habitual Offenders Act, dan cap sebagai orang jahat terus berlanjut. "Aku tidak pernah bisa membayangkan bahwa keturunan mereka akan tetap dipandang dengan prasangka yang sama dari tahun ke tahun," kata Radhakrishna. “Bukannya mereka tidak ingin menjadi bagian dari masyarakat—mereka justru tidak diperbolehkan menjadi bagian dari masyarakat.”!break!
Para wanita bertugas menyiapkan makan malam. Dengan lesung dan alu, Kailashi melumatkan cabai untuk dijadikan tumis sayuran, sementara di atas api terbuka Kanya menyiapkan chapati, roti India tipis yang mudah didapatkan di mana-mana. Malam sudah datang menjelang, sehingga mereka harus bekerja dengan cepat, karena sumpah masa lalu mereka janji tidak menyalakan lampu di malam hari. Orang Lohar tiba di desa itu beberapa hari sebelumnya dan tidak yakin berapa lama mereka akan tinggal di situ. Hal itu tergantung pada ada tidaknya pekerjaan. Seperti yang dikatakan oleh salah seorang dari mereka, sambil menganggukkan kepalanya ke arah kerbau di dekatnya,” "Tidak banyak perbedaan antara hidupku dan kehidupan si kerbau. Dia merambah mencari makanan, dan kami juga mengembara untuk mencari makan.”
Memang sulit menyanggah perbandingan itu. Orang Lohar belum pernah mengenal sekolah. Mereka membuang hajat di lapangan dan tidur beratapkan langit, kecuali selama musim hujan, ketika mereka memasang atap peneduh pada gerobak dan membentenginya dengan dinding lumpur rendah untuk mencegah banjir. Mereka belum pernah mendengar tentang Amerika Serikat. Pada kedatanganku yang pertama, Kanya mengira—meskipun aku berkulit putih—bahwa aku berasal dari Jaipur, ibukota negara bagian Rajasthan, yang jaraknya 65 kilometer dan hal itu menunjukkan betapa terbatasnya pengetahuannya tentang ilmu bumi. “Ahhh," katanya ketika aku menceritakan pesawat terbang. "Kamu datang naik cheel Gaadi." Kereta elang.
Seperti kelompok pengembara lain, sesekali Gadulia Lohar dijadikan sasaran untuk upaya rehabilitasi. Pada 1955, Jawaharlal Nehru, perdana menteri India yang pertama, mengatakan dalam sebuah pidato terkenal di Chittaurgarh bahwa kehormatan para pandai besi itu telah dipulihkan dengan pembentukan kedaulatan India dan meminta kepada mereka untuk berhenti mengembara. Ribuan orang yang menempuh perjalanan ke benteng dengan naik gerobak sapi dan kereta api menyaksikan ketika secara simbolis Nehru menjungkirkan dipan yang terbalik, kemudian mengundang mereka untuk masuk dengan berjalan menyeberangi jembatan yang penuh dengan kelopak bunga mawar, menuju sebuah sekolah berasrama untuk anak laki-laki Lohar yang didirikan di dekat tempat itu. Lantas, program perumahan dan lapangan kerja pun diluncurkan.
Sayangnya prakarsa itu tidak berlangsung lama. Permukiman tempat para pandai besi itu, yang dimaksudkan agar mereka mempelajari seluk-beluk peternakan, ditinggalkan setelah dua orang gadis meninggal karena sakit—yang ditafsirkan sebagai peringatan bagi orang-orang yang melanggar tradisi Lohar. Kebijakan lainnya gagal karena dikotori tindakan korupsi dan perencanaan yang buruk.!break!
Tetapi, nasib para perantau itu terus diperjuangkan oleh kelompok hak asasi manusia, dan pada 2005 Parlemen India membentuk sebuah komisi sementara untuk menangani masalah kesejahteraan mereka. Ketuanya, Balkrishna Renke, secara unik memenuhi syarat untuk tugas itu: dia dilahirkan dalam kelompok peminta-minta, menghabiskan masa kecilnya merambah pedesaan di India barat, bernyanyi sebagai upaya mencari nafkah guna membeli makan malamnya, sampai kemudian badan amal mengasuhnya dan menyekolahkannya.
Bagi Renke, sasarannya jelas. "Jika mereka ingin memiliki hak kewarganegaraan, pendidikan, dan berpartisipasi dalam kemajuan modern, mereka harus tinggal menetap," katanya. Renke amat maklum bahwa tantangannya besar sekali . Sistem kesejahteraan sosial India yang lamban, namun begitu luas yang harus ditangani, telah lama diarahkan untuk menangani ketidakadilan kasta. Karena para pengembara ini meliputi banyak kasta, mereka hanya bisa memetik sedikit sekali manfaat program kesejahteraan sosial—tanpa dukungan pengaruh politik manapun tentunya—yang diperoleh kelompok teraniaya lain, seperti kasta pariah. "Mereka tidak punya organisasi. Tidak mengalami kebangkitan,"kata Renke. "Mereka adalah orang-orang yang suaranya tidak dipedulikan."