Setelah seminggu bergaul dengan orang Lohar, aku mulai memaklumi salah satu alasan tersebut: memang tidak mudah bergaul dengan mereka. Walaupun telah menjelaskan sejak awal bahwa aku tidak akan memberi mereka uang, aku berusaha untuk tetap menarik hati mereka dengan membagikan hadiah kecil—biasanya beberapa bungkus lentil dan tepung—dan sesekali membelikan mereka chai—minuman khas India campuran the dan beberapa jenis rempah—dari penjual yang berjualan di dekat situ. Namun, untuk beberapa orang, hal itu tidak pernah cukup. Kartar, kakak Lallu, terus-menerus merecoki diriku, minta dibelikan kalakand, semacam puding susu, dan merajuk ketika aku tidak memenuhi rengekannya. Istrinya, Pooni, sama juga, suka merengek. "Beri aku uang untuk membeli chai!" katanya sambil menyapaku di suatu pagi, dan setiap kali aku menatap matanya, ia menarik-narik bajunya yang compang-camping atau memberi isyarat keinginannya untuk membeli bidi dengan mengangkat dua jari ke bibirnya, seperti orang merokok. Aku pun kemudian berusaha untuk tidak menatap matanya.
Bahkan Lallu, yang menurut Kailashi "terlalu malu untuk mengemis," tidak malu untuk sesekali merengek kepadaku.“Aku belum makan sejak kemarin karena ayamku mati,” katanya di suatu sore. “Aku sedih sekali. Ada anjing yang menerkamnya sampai mati.”Aku bergumam menyampaikan belasungkawa."Ayam baru harganya 300 rupee."Aku mengangguk tanda bersimpati.“Minta uang 100 rupee ya?”Ya ampun!!break!
Meskipun begitu, aku tetap mengagumi orang-orang Lohar ini. Mereka adalah seniman yang terampil dan pekerja keras, serta tampak jelas selalu bangga akan pekerjaan mereka. Pada suatu sore, datang seorang wanita yang rambutnya sudah beruban dari desa, hendak membeli sendok. "Aku mungkin akan minta beberapa rupee lagi, tapi bakal sepadan karena barang-barang buatanku bermutu baik," Kartar berjanji. Sambil berjongkok di bawah naungan sebuah pohon neem (keluarga Meliaceae), dia memanaskan sepotong besi hingga membara, kemudian meletakkannya di atas sebuah alas dengan penjepit, sementara Pooni berdiri dengan kaki merentang lebar-lebar di tanah, memipihkan besi itu dengan palu godam. Ketika logam itu sudah pipih dan lentur, Katar meraih palu yang lebih kecil dan dengan cekatan membentuk sendok bergagang panjang, memukuli permukaannya sehingga membentuk banyak lekukan kecil yang sangat indah.
Ia mengikir pinggirannya sampai halus, lalu menyerahkannya kepada wanita itu dengan mimik wajah yang menunjukkan rasa bangga dan hormat. "Silakan, Ibu," katanya, dan menerima 30 rupee—sekitar 6.500 rupiah—sebagai imbalannya.
Orang Lohar peduli akan keterampilan mereka karena mereka peduli akan jatidiri mereka. Semuanya, termasuk anak-anak, mengenal cerita Chittaurgarh, dan anak-anak yang menangis disuruh diam dengan kata-kata, "Jangan menangis—kamu orang Lohar." Putra Kartar, Arjun, adalah perwujudan kebanggaan orang Lohar. Pada usianya yang baru sekitar sepuluh tahun, perawakannya besar dan meyakinkan, dengan tubuh yang cocok untuk seorang juara gulat tingkat junior. Arjun menunjukkan rasa bangganya akan kehebatan tubuhnya dengan palu godam, yang terus diangkatnya berulang-ulang tanpa lelah, sementara ayahnya terus mengobarkan semangatnya dengan teriakan, Ayo, lebih keras! Lebih cepat! "
Sudah beberapa hari aku bertanya kepada orang-orang Lohar itu, kapan mereka berencana untuk berangkat, dan setiap kali jawabannya sama: besok. Kemudian, waktu keberangkatan itu pun akhirnya tiba. Aku muncul di perkemahan pada suatu pagi dan kulihat mereka sedang memuat barang ke gerobak. Peralatan disimpan dalam beberapa kompartemen, hewan ternak diikat dengan susah payah, selimut dilipat dan ditumpuk di gerobak bersama dengan dipan, bersama dengan peralatan masak yang sudah menghitam karena sering digunakan di atas api, dan anggota keluarga yang masih terlalu kecil atau lemah diatur untuk berjalan di sisi gerobak. Akhirnya, dengan isyarat tanpa suara, rombongan karavan yang butut itu bergerak maju, suara roda besi terdengar berderak-derak menapaki jalan. Kendaraan di jalan, kebanyakan sepeda motor dan jalopies (mobil) bertenaga diesel buatan dalam negeri yang dinamakan jugards, menepi ketika orang-orang Lohar itu bergerak menuruni jalanan sempit, melewati ladang sayuran dan ladang gandum yang tampak bergelombang tertiup angin musim dingin.
Sulit rasanya untuk tidak terpesona oleh pemandangan yang romantis itu. Tambahan lagi, inilah suku yang semakin punah, yang sedang mengembara. Jika kita abaikan keberadaan peralatan dunia modern—mobil Honda buatan India dan menara microwave berwarna jingga-putih—maka suku Lohar itu hampir tidak bisa dibedakan dari seniman Rajput yang bangga, yang melarikan diri dari Chittaurgarh hampir setengah milenium yang lalu. Apa sajakah yang akan dirasakan hilang oleh para penjelajah abad pertengahan ini jika mereka tidak lagi mengembara dan menyatu dengan masyarakat? Dalam hal budaya dan tradisi mereka, mungkin segalanya.!break!
Tampaknya hal itu merupakan pengorbanan yang sangat besar. Orang Lohar yang kutemui di mana-mana berpegang teguh pada jatidiri mereka sebagai bangsa pengembara. Namun, sebagian besar menyatakan dengan jelas bahwa mereka hidup dengan mengandalkan gerobak mereka karena alasan sederhana: mereka tidak memiliki pilihan lain.
"Aku akan menjadi orang paling bahagia di dunia jika punya tanah dan rumah," Lallu berkata kepadaku di suatu malam. Kanya juga sangat ingin memiliki rumah yang nyaman, pengalaman yang belum pernah dialaminya. Dambaan mereka ini mudah dipahami. Transformasi ekonomi yang begitu cepat tengah terjadi di India, bahkan di pedesaan Rajasthan sekalipun. Misalnya ponsel yang dibawa para pelanggan orang Lohar (meskipun orang Lohar sendiri tidak memilikinya) dan parabola yang dipasang di rumah-rumah besar milik para petani. Wajar saja jika mereka juga ingin menikmati kemakmuran baru ini. Apalagi karena kesadaran mereka telah dibangkitkan. Seperti yang dialami kelompok pengembara lainnya di Rajasthan utara, orang Lohar telah didorong oleh para aktivis setempat yang memperjuangkan hak atas tanah untuk mengajukan permohonan kepada dewan pemerintahan daerah urusan tanah dan perumahan. Selain menyediakan tempat berteduh bagi mereka, hal ini juga akan memudahkan birokrasi India yang memerlukan alamat tetap, untuk menyalurkan tunjangan kesejahteraan, seperti minyak goreng bersubsidi dan perawatan kesehatan gratis.
Tetapi, sejauh ini usaha mereka sia-sia. Para pejabat kota yang menerima permintaan orang Lohar mengatakan bahwa mereka tidak memiliki tanah untuk diberikan—dan seandainya pun mereka memiliki tanah, mereka ragu orang Lohar akan mau menerimanya. "Mereka tidak ingin tinggal menetap di suatu tempat," kata seorang pejabat dengan acuh tak acuh. "Mereka ingin terus berkelana."
Tanggapan yang sama juga dikemukakan di Thana Ghazi, sekitar 95 kilometer timur laut Jaipur; ketika para pejabat setempat dengan enggan memberikan lahan untuk puluhan keluarga orang Lohar di tepian jalan tersibuk di kota itu. Para pandai besi itu ditempatkan di rumah tembok berkamar satu, sementara gerobak dan perkakas mereka berada di depan rumah. Namun, setelah lima tahun berlalu, kota itu tetap tidak mengalirkan listrik dan menolak permohonan orang Lohar untuk diberi jamban bersama.
Pradhan, sebutan bagi pejabat senior terpilih untuk distrik itu, menegaskan bahwa ia menolak menyediakan layanan ke permukiman itu karena menurut pendapatnya sejak awal orang Lohar seharusnya tidak diizinkan menetap di tempat itu. Lokasi permukiman itu terlalu dekat dengan asrama putri dan SMA, begitu alasannya, dan orang Lohar akan lebih baik tinggal di lokasi lain di luar kota.!break!