Kembara yang Terlupakan

By , Selasa, 9 Februari 2010 | 11:21 WIB

Beberapa hari setelah aku mempertanyakan kasus tersebut, para pekerja datang untuk mulai memasang kabel listrik di permukiman itu. Sayangnya beberapa warga kota secara terang-terangan menunjukkan sikap tidak senang. Ketika aku meninggalkan permukiman itu bersama seorang petugas badan amal di suatu sore, tiga orang pemuda bercelana panjang dan memakai sweater mengejek kami dari atap sekolah yang berdekatan. "Apa yang akan kamu lakukan untuk mereka?" salah seorang dari mereka berteriak. "Mereka itu pengembara, dan mereka akan selalu berkelana."

Saat itu awal Maret, dan panen musim semi sudah hampir tiba bagi Lallu dan Kailashi serta klan mereka. Ladang gandum tampak seperti emas di bawah terik matahari yang semakin terasa panas dari hari ke hari. Di perkemahan mereka di desa yang baru, orang Lohar berlindung di balik bayangan gerobak dan mendinginkan badan di sumur yang ada di dekat situ.

Musim semi biasanya merupakan waktu yang penuh harapan di pedesaan Rajasthan, tetapi bagi Kanya musim ini penuh dengan ketakutan. Orang tuanya memutuskan bahwa setelah festival Hindu Akha Teej, yang jatuh pada April, Kanya akan kembali tinggal bersama suami dan keluarganya. "Pemuda itu jahat," katanya.

Dia berkata bahwa pemuda itu dan ibunya memaksanya bekerja sepanjang hari meniup-niup ubub, dan pemuda itu memukulinya kalau dia menolak. Namun, Kanya tahu bahwa perceraian adalah sesuatu yang mustahil bagi wanita seperti dirinya. "Aku tidak bisa berbuat apa-apa," katanya. "Kalau aku tinggal di sini, aku akan menderita. Kalau aku tinggal bersama keluarga suamiku, aku juga akan menderita. Ini semua sudah takdir.”

Ketidakberdayaan Kanya diperparah oleh statusnya sebagai wanita, yang pada tingkat tertentu juga dialami oleh semua orang Lohar; kedudukan sosial mereka yang rendah membuat mereka rentan terhadap tekanan dan prasangka yang dilancarkan penduduk pedesaan India. Pada suatu sore, aku muncul di perkemahan dan mendapat kabar bahwa sehari sebelumnya suku Lohar itu dikunjungi oleh pengikut Swayamsevak Rashtriya Sangh, atau RSS, kelompok nasionalis Hindu India yang terkemuka. Para ekstremis dari kelompok itu mendengar kabar tentang kehadiranku, dan mengira aku adalah misionaris Kristen, dan langsung saja mereka mengancam akan menghajarku. Orang-orang Lohar itu jelas ketakutan dan memintaku pergi.!break!

Akhirnya aku bisa menjelaskan pada mereka bahwa aku seorang wartawan, bukan evangelis. Para pekerja RSS meminta maaf dan bahkan menemaniku untuk bertemu lagi dengan orang-orang Lohar itu, yang sekarang telah pindah untuk kedua kalinya, ke padang rumput gersang di pinggiran desa lain. RSS mendesak orang Lohar untuk mau bekerja sama, tetapi hubunganku dengan para pandai besi itu tidak lagi bisa pulih sepenuhnya.

Karena sudah curiga sejak awal, apalagi setelah munculnya masalah dengan RSS, mereka tidak mau menerima alasan apa pun untuk menerimaku lagi. "Kamu memberi kami segenggam tepung, tetapi kamu menulis terlalu banyak," kata Kartar, dengan mata membelalak. "Pergilah. Kami sudah muak denganmu. "

Pada suatu sore, aku mengendarai mobil keluar dari Jaipur dalam upaya terakhir untuk berdamai. Sayangnya, Lallu dan Kailashi tidak ada untuk memberikan dukungan. Mereka sedang naik bus dalam perjalanan ke ibukota Rajasthan, berharap dapat memperoleh perawatan untuk Kailashi yang mengidap batuk kronis dan demam. Yang lain tidak sudi berbicara denganku, dan beberapa orang menolak kedatanganku. Aku memaklumi isyarat mereka dan berjalan kembali ke mobil. "Jangan ke sini lagi," teriak Kartar.

Sebelum pergi, aku menoleh dan memandang orang-orang Lohar itu untuk terakhir kalinya. Bisnis mereka semakin merosot dan peralatan tempa mereka sudah sangat jarang digunakan lagi. Besok, atau mungkin keesokan harinya, mereka akan membereskan gerobak dan melanjutkan perjalanan, seperti yang sudah sering mereka lakukan sebelumnya. Tetapi, saat ini, mereka tampak lesu dan letih. Mereka tampak seperti pengelana yang telah sampai di akhir perjalanan.