Sebut saja misalnya Prasasti Karang Tengah yang diterbitkan pada 824 Masehi. Prasasti itu menyebut bhumisambharabudhara yang diidentifikasikan sebagai Candi Borobudur oleh arkeolog Belanda JG de Casparis. Kitab Sutasoma yang ditulis Mpu Prapanca juga menyebut tentang sebuah biara di Budur. Sementara Babad tanah Jawi (1709-1711) berkisah soal ditangkapnya pemberontak di sekitar Borobudur. Namun, semuanya tak menyinggung tentang danau.
Sebenarnya, sejumlah arkeolog menyepakati adanya danau di sekitar Borobudur. “Tapi jauh sebelum Borobudur dibangun,”kata Junus Satrio Atmodjo, Direktur Peninggalan Purbakala, Departemen Budaya dan Pariwisata. “Ketika Candi dibangun, danau telah kering,” imbuhnya.
Alasannya jelas, buat membangun candi yang megah seperti Borobudur--tinggi candi 42 meter, memiliki 10 tingkat, 1.460 panel selebar 2 meter, 1.212 panil relief dan 504 patung Buddha-- dibutuhkan sumber daya alam dan manusia yang besar. Apa lagi Borobudur tak dibangun satu atau dua tahun, tetapi nyaris 50 tahun. Karenanya dibutuhkan sistem produksi pangan berkelanjutan yang baik sebagai pemasok logistik para pekerja. “Jika di sekelilingnya danau, di mana sawahnya?” jelas Junus.
Soal hipotesis Nieuwenkemp tentang keberadaan danau yang ditandainya dengan banyaknya kampung yang memiliki kata “tanjung” dan “segara”--kajian toponimi—di antaranya Tanjungsari, Bumisegoro, Sabrangrowo, Segaran dan Wanurejo mungkin berasal dari Banyurejo. Junus melihatnya malah menebalkan keyakinan bahwa danau telah mengering dan bersalin rawa. “Lahan seperti ini jelas subur dan tak menutup kemungkinan danau kering ini yang disulap jadi sawah,” kata Junus.!break!
Pendekatan toponimi--ilmu kebumian yang mengkaji dan mempelajari permasalahan penamaan unsur geografi, baik buatan alam maupun manusia--yang dilempar Nieuwenkemp ternyata dapat juga dipakai buat menjelaskan bagaimana lingkungan budaya Kedu saat Borobudur dibangun.
Adalah Sumardjoko mantan camat Borobudur yang bertahun-tahun tertarik dengan penamaan kampung “unik” di sekitar Candi Borobudur. Menurut Sumardjoko berdasarkan Prasasti Kayumwungan 824 M, sistem administrasi desa di sekitar candi memiliki otonomi yang luas. Kata Crimadwenuwana pada prasasti dapat diartikan wenua, desa yang berdiri sendiri yang berkewajiban mengurusi bangunan suci. “Desa pada masa itu mungkin kota pada masa sekarang,” tambahnya.
Proses pembangunan candi Borobudur juga meninggalkan jejak pada penamaan kampung. Sebut saja misalnya, Desa Pare, 4 kilo dari Candi Borobudur berasal dari kata paren--bahasa jawa kuna-- yang artinya padi. “Desa ini mungkin dulunya dijadikan sawah,” jelasnya. Atau desa Bogowanti, Bogo artinya pangan dan wanti atau wandi berarti warung atau depo. “Setalah panen, padi dikumpulkan di sini,” kata Sumardjoko.
Soal pembagian kerja dalam pembangunan candi juga bisa ditelusuri lewat toponimi. Ada Bukit Dagi-berlokasi 1 kilometer di barat laut Borobudur- yang dalam bahasan Jawa Kuna, dagi berarti pemahat. Atau dusun Jagalan, yang berasal dari kata jelagra, artinya pemecah batu.
Di depan pintu masuk candi Borobudur, ada desa Kenayan. Dalam bahasa Jawa Kuna berasal dari kata kenoyo, artinya abdi, kuli atau tenaga kasar. “Mungkin di sinilah dulu asrama para pekerja pembangun Borobudur,” jelas Sumardjoko. Atau desa Janan, kini berlokasi di belakang pasar Borobudur, kemungkinan berasal dari kata saujanan yang artinya sarjana. “Bisa jadi di sinilah asrama para arsitek pembangun candi,” tegasnya.!break!
Sementara itu, terdapat desa bernama Kerekan yang terletak 8 kilometer di timur candi. “Setelah saya pelajari kerekan artinya alat buat mengangkat benda, semacam timba,” jelas Sumardjoko. Desa ini terletak di tubir sungai Progo. Hanya berjarak 5 meter dari bibir sungai dengan ketinggian 2 meter. “Melihat posisinya, inilah salah satu titik paling mudah buat mengangkat batu-batu bahan candi dari sungai Progo,” kata Sumardjoko, “Desa ini pun dinamakan kerekan.”
Sumardjoko menduga, batu-batu itu lalu disuplai ke desa Ngaran Duwur(atas) dan Ngaran Ngisor (bawah). Desa Ngaran Duwur telah direlokasi saat pemugaran candi Borbudur lantaran lokasinya tepat di kaki candi. Sedang Ngaran Ngisor terletak di dekat bekas Sungai Sileng purba di selatan candi. Kata Ngaran menurut Sumardjoko meretas dari kata ngoro, oro-oro yang artinya lapangan. “Dugaan saya pembuatan relief, arca, dan ornamen detail lainnya dikerjakan di Ngaran Duwur sebelum ditempel di bangunan candi,” katanya.
Dugaan ini mungkin harus diteliti lebih lanjut. Namun satu yang pasti, saat melakukan pemugaran candi Borbudur, para arkeolog banyak menemukan tatal (serpihan) batu andesit di halaman candi Borobudur. “Ini memang perlu penelitian lanjutan,” tambah Junus.