Candi Borobudur yang menyerupai bunga padma--sesuai dengan kosmologi agama Buddha, diyakini sebagai tempat kelahiran sang Buddha--di tengah danau adalah keniscayaan menurut Nieuwenkamp. Lantaran agama Buddha dan Hindu menempatkan bunga lotus dan air dalam posisi suci.
Apalagi dalam sejumlah kitab suci, air dan padma menjadi bakal dunia. Sebut saja misalnya kitab Veda Samhita--kitab suci agama Hindu--air adalah bentuk pertama yang dicipta dewa sebelum dunia.!break!
Selanjutnya pada zaman Upanisad, dunia dianggap berasal dari Brahman. Menurut Taittriya Upanisad yang pertama meretas dari diri Brahma adalah angkasa, lalu mengalir hawa, membentuk api dan muncullah air. Dari air mengalir bumi, tumbuhan, binatang, dan manusia. “Air punya makna religius buat agama Buddha dan Hindu,” kata Hariani Santiko, arkeolog senior ui (ini siapa).
Bunga padma dalam sejumlah karya sastra besar negeri ini juga menempatkan posisi tinggi. Sebut saja kitab Lubdhaka dan Hariwijaya, karya Mpu Tanakung yang terbit pada 1128 Masehi. Padma diidentikkan dengan kesucian diri manusia.
Jika mempertimbangkan kondisi geografi dan kosmologi, jelas pendapat Nieuwenkamp bukan tanpa alasan. “Tapi ini belum cukup,” kata Mundardjito. Ia menambahkan sebuah candi didirikan pada sebuah lokasi bukan hanya atas pertimbangan keagamaan, tapi juga melibatkan pertimbangan ekologis. “Sebuah candi tidak dibangun untuk kemudian ditinggalkan tetapi untuk digunakan,” kata Guru Besar Universitas Indonesia ini.
Karenanya, orang yang menggunakan candi haruslah bisa hidup di sekitarnya, sehingga dibutuhkan syarat khusus di luar alasan agama dan kosmologi, seperti kemiringan tanah yang tidak terlalu terjal, dekat dengan sumber air, dan bisa bercocok tanam. “Sulit menerima jika candi ini dikepung telaga,” kata Mundardjito.
Soal pendekatan ekologis yang kerap digunakan buat membangun candi sebenarnya dapat ditemukan di kitab Mansara-Silpasastra--buku pintar pegangan kaum Hindu, India. Sebelum candi dibangun, arsitek pendeta (sthapaka) dan arsitek perencana (sthapati) meninjau lokasi. Mereka mengamati kondisi lahan: kelerengannya, tekstur, bau, dan keadaan tumbuhan liar di sekelilingnya. !break!
"Para pendeta itu mula-mula melubangi tanah setinggi dengkul, lalu diisi air. Bila dalam 24 jam air surut, berarti daya serapnya tinggi. Itu tidak baik untuk pembuatan candi karena nanti candi bisa merosot," tuturnya fasih, "Bila air tetap banyak, berarti kecepatan peresapan air lambat. Itu juga jelek karena candi bisa banjir."Tanah yang masih sedikit genangan airnyalah yang dianggap terbaik.
Tanah demikian, menurut arkeolog yang dikenal memiliki "jam terbang" tinggi di lapangan ini, adalah tanah geluh--campuran lempung, pasir, dan debu--tanah yang permeabilitasnya sedang. Kualitas tanah itu kemudian oleh para empu dibagi menjadi brahmana dan ksatria. "Saya kira lokasi Borobudur berkualitas brahmana," katanya.
Bagaimanapun sebuah candi yang dikeliling telaga adalah menakjubkan. Mungkin ini pula yang dirasakan oleh Nieuwenkamp 76 tahun silam. Dengan gentar ia melukiskan riak danau mengepung Borobudur. Sejak itu, perbincangan soal telaga Borobudur memercik perdebatan.
Temuan-temuan ilmiah tentang Borobudur yang belum terangkai menjadi sebuah alur cerita yang saling menguatkan dengan mulus tersebut menunjukkan masih banyak mozaik yang harus disusun buat merekonstruksi masa lalu Borobudur. Oleh karena itu, Mundardjito berpendapat, penelitian lintas disiplin ilmu patut digelar. “Agar penelitian soal danau Borobudur tak saling gugat,” katanya.
Borbudur bukanlah keheningan. Bukan sekumpulan patung Buddha membisu. Sesungguhnya ia sebuah daya, vitalitas, sebuah rangsangan. Mungkin, inilah yang merasuki Nieuwenkamp, saat pertama menjejak dataran tinggi Kedu dan itu pula yang hingga kini terus ditawarkan Borobudur bagi mereka yang haus akan pengetahuan.