Budak Air

By , Kamis, 1 April 2010 | 15:40 WIB

Kaki Aylito Binayo sudah sangat akrab dengan gunung. Bahkan, pada pukul empat pagi pun dia sanggup berlari menuruni bebatuan menuju sungai dengan hanya diterangi cahaya bintang dan kembali mendaki gunung yang terjal ke desanya sambil memanggul 23 liter air. Dia telah melakukan perjalanan ini tiga kali sehari selama hampir 25 tahun usianya. Demikian pula semua perempuan lain di desanya, Foro, di distrik Konso di barat daya Etiopia. Binayo putus sekolah karena dia harus membantu ibunya mengambil air dari Sungai Toiro. Airnya tidak aman untuk diminum; setiap tahun, saat kekeringan terus melanda kawasan itu, sungai yang airnya pernah mengalir dengan deras itu semakin lama semakin susut. Tetapi, itulah satu-satunya air yang dimiliki Foro. !break!

Tugas mengambil air adalah tugas utama Binayo. Selain itu, dia juga harus membantu suaminya menanam singkong dan kacang-kacangan di ladang, mencari rumput untuk kambing, mengeringkan biji-bijian dan membawanya ke pabrik untuk digiling menjadi tepung, memasak, membersihkan pekarangan keluarga, dan mengurus tiga putranya yang masih kecil-kecil. Tak satu pun dari semua pekerjaan ini yang sama pentingnya atau memerlukan waktu yang sama lamanya jika dibandingkan dengan waktu sekitar delapan jam yang dihabiskannya setiap hari untuk mengambil air.

Di bagian dunia yang kaya, orang cukup membuka keran dan memancarlah air bersih yang berlimpah. Namun, hampir 900 juta orang di dunia tidak memiliki akses terhadap air bersih, dan 2,5 miliar orang tidak memiliki cara yang aman untuk membuang limbah manusia—banyak yang buang air besar di padang terbuka atau di dekat sungai yang airnya mereka gunakan untuk minum. Air kotor dan tidak tersedianya jamban dan kebersihan yang layak telah menewaskan 3,3 juta orang di seluruh dunia setiap tahun, kebanyakan dari mereka adalah anak di bawah usia lima tahun. Di sini, di selatan Etiopia, dan di utara Kenya, kurangnya hujan selama beberapa tahun terakhir bahkan telah menyebabkan ketersediaan air kotor pun sangat terbatas.

Di tempat yang air bersihnya sangat langka, mengambil air dari sumbernya hampir selalu menjadi tugas kaum perempuan. Di Konso, para lelaki bersedia mengambil air hanya selama beberapa minggu setelah istrinya melahirkan. Anak laki-laki yang masih kecil pun bertugas mengambil air, tapi hanya sampai usia tujuh atau delapan tahun. Aturan diberlakukan dengan ketat—oleh lelaki maupun perempuan. "Kalau anak laki-laki sudah lebih dari delapan tahun, orang bergunjing bahwa ibunya pemalas," kata Binayo. Reputasi seorang perempuan di Konso, katanya, ditentukan oleh kerja keras. Kalau saya berlari naik-turun untuk mengambil air, saya dijuluki perempuan cerdas dan rajin bekerja."

Di banyak negara berkembang, kekurangan air merupakan pusat lingkaran setan ketidaksetaraan. Kaum perempuan di Foro pergi ke sungai lima kali sehari—dan satu atau dua dari perjalanan itu bertujuan memeroleh air untuk membuat minuman semacam bir untuk suami mereka. Ketika pertama kali saya datang ke Foro, sekitar 60 orang lelaki sedang duduk-duduk di bawah naungan gedung beratap seng, minum-minum dan mengobrol. Saat itu menjelang siang. Kaum perempuan, kata Binayo, "tidak pernah mendapatkan lima detik saja untuk duduk dan beristirahat." !break!

Pada suatu sore yang panas, saya pergi bersamanya ke sungai, membawa jeriken kosong. Jalan setapak itu curam dan licin di beberapa tempat. Kami merangkak menuruni batu-batu besar di samping tanaman kaktus dan semak berduri. Setelah 50 menit, kami sampai di sungai. Sekarang, “sungai” itu berupa kumpulan kolam lumpur hitam, beberapa di antaranya nyaris berisi genangan air saja. Tepian sungai dikotori oleh tinja keledai dan sapi. Ada sekitar 40 orang, cukup banyak sehingga Binayo memperkirakan waktu tunggu mungkin lebih pendek di hulu. Biasanya Binayo melakukan perjalanan pertama sebelum subuh, meninggalkan putranya Kumacho, anak lelaki kecil berwajah serius yang tampak lebih muda daripada usianya yang baru empat tahun, yang bertugas mengurus adik-adiknya.

Kami berjalan sepuluh menit lagi ke hulu, dan Binayo mengambil tempat untuk berjongkok di samping sebuah kolam yang airnya cukup banyak. Anak-anak melompat dari tepi sungai, memercikkan lumpur dengan kaki mereka dan mengaduk-aduk air. "Jangan melompat-lompat," Binayo memperingatkan mereka. Seekor keledai datang mendekat dan minum dari genangan air yang mengalir ke kolam Binayo. Ketika keledai itu sudah pergi, beberapa orang perempuan di genangan air itu menyekop sedikit air untuk membersihkan genangan, sehingga air kotor mengalir ke arah Binayo, yang kemudian menegur mereka.

Setengah jam kemudian, tiba gilirannya. Dia mengambil jeriken pertama dan gayung plastik kuning. Baru saja dia memasukkan gayungnya ke dalam air, dia menengadah dan melihat seekor keledai lain memasukkan kaki ke dalam kolam yang airnya mengalir ke kolamnya. Dia menyeringai. Tetapi, dia tidak bisa menunggu lebih lama lagi.

Satu jam setelah kami tiba di sungai, dia berhasil mengisi dua jeriken—satu untuk dibawanya kembali ke atas, satu lagi untuk saya yang akan membantunya membawakan jeriken itu. Dia mengikatkan tali kulit mengelilingi jerikenku dan menaikkannya ke punggungku. Saya bersyukur karena tali kulit pengikat jeriken saya halus—Binayo sendiri menggunakan tali kasar. Tapi, tetap saja tali itu membuat bahu saya lecet. Jeriken plastik itu dipenuhi air sampai ke atas, dan beban seberat 23 kilogram itu memantul-mantul dari punggung saya ketika berjalan. Ketika lintasan semakin curam, saya tak sanggup berjalan lebih jauh lagi. Dengan perasaan malu, saya menukar jerikenku dengan jeriken seorang anak perempuan yang tampaknya berusia sekitar delapan tahun, yang membawa jeriken berukuran setengah jeriken saya. Sekitar sepuluh menit lagi menjelang puncak, dia pun menyerah. Binayo mengambil jeriken berat dari si anak perempuan itu dan meletakkannya di punggungnya sendiri, di atas jeriken yang dibawanya. Dia memandang kami berdua dengan geram dan terus berjalan mendaki gunung, sekarang memanggul hampir 45 liter air di punggungnya. !break!

"Sejak dilahirkan, kami tahu bahwa kami akan memiliki kehidupan yang berat," kata Binayo, sambil duduk di luar sebuah gubuk di kampungnya, memangku Kumacho yang tidak bercelana. "Ini budaya Konso yang sudah ada, jauh sebelum kami ada." Dia tidak pernah mempertanyakan hidup ini, tidak pernah mengharapkan sesuatu yang berbeda. Tetapi, tidak lama lagi, banyak hal akan berubah.

Jika kita harus menghabiskan waktu berjam-jam untuk mengangkut air dari tempat yang jauh, kita pasti menghargai setiap tetesnya. Orang Indonesia rata-rata menggunakan 144 liter air hanya untuk keperluan di rumah setiap hari; Aylito Binayo harus puas dengan sembilan liter saja. Membujuk orang menggunakan air untuk mencuci jauh lebih sulit ketika air itu diangkut dengan berjalan mendaki gunung. Namun, masalah sanitasi dan kebersihan amatlah penting bagi kesehatan—mencuci tangan dengan benar saja dapat mengurangi penyakit diare sekitar 45 persen. Binayo mencuci tangan dengan air "mungkin sekali sehari," katanya. Dia mencuci pakaian sekali setahun. "Kami bahkan tidak punya cukup air untuk minum—bagaimana kami dapat mencuci pakaian?" katanya. Dia menyeka tubuhnya hanya sesekali. Survei 2007 menunjukkan bahwa tidak ada satu pun rumah di Konso yang punya air dengan sabun atau abu (pembersih yang layak) di dekat jamban untuk mencuci tangan. Belum lama ini keluarga Binayo menggali jamban, tetapi tidak mampu membeli sabun.

Sebagian besar uang mereka digunakan untuk berobat ke klinik kesehatan desa dengan biaya setara Rp40.000-80.000 untuk menyembuhkan anak-anak penderita diare yang disebabkan oleh bakteri dan parasit yang sering mereka dapatkan karena kurangnya kebersihan dan sanitasi yang layak dan karena meminum air sungai yang tidak dimasak dulu. Di klinik, perawat Israel Estiphanos berkata bahwa dalam keadaan normal, 70 persen pasien menderita penyakit yang ditularkan melalui air.

Dua puluh enam kilometer dari tempat itu, di pusat kesehatan kabupaten di ibukota Konso, hampir separuh dari 500 pasien yang dirawat setiap hari menderita penyakit yang ditularkan melalui air. Namun, pusat kesehatan itu sendiri tidak memiliki air bersih. Di dinding kamar staf terpasang poster yang mencantumkan prinsip-prinsip pengendalian infeksi. Tetapi, selama empat bulan dalam setahun, air yang memasok keran air mereka akan habis, kata Birhane Borale, kepala perawat, sehingga pemerintah mendatangkan air sungai dengan truk. "Kami menggunakan air hanya untuk diberikan kepada pasien untuk minum obat," katanya. "Di sini ada pasien HIV dan pasien hepatitis B. Mereka mengalami perdarahan, dan penyakit ini mudah sekali menular—kami memerlukan air untuk membasmi hama. Tetapi, kami hanya dapat membersihkan kamar sekali sebulan. " !break!