Budak Air

By , Kamis, 1 April 2010 | 15:40 WIB

Bahkan tenaga kesehatan pun tidak terbiasa mencuci tangan setelah menangani seorang pasien dan sebelum menangani pasien berikutnya, karena keran yang airnya mengalir hanya ada di beberapa titik dalam gedung. Tsega Hagos, seorang perawat, mengatakan dia terciprat darah ketika mencabut selang IV dari tubuh pasien. "Saya hanya mengganti sarung tangan," katanya. "Saya mencuci tangan ketika sampai di rumah sepulang bekerja."

Menyediakan air bersih di dekat perumahan penduduk adalah kunci untuk memutuskan lingkaran kesengsaraan ini. Komunitas yang mudah mengakses air bersih dan memiliki air dalam jumlah banyak pasti akan mengalami perubahan. Semua waktu yang sebelumnya dihabiskan untuk mengangkut air dapat digunakan untuk menanam lebih banyak bahan pangan, memelihara lebih banyak ternak, atau bahkan memulai bisnis yang menghasilkan uang. Keluarga tidak lagi minum sup yang penuh kuman, sehingga mereka lebih jarang sakit atau merawat orang-orang terkasih yang terserang penyakit yang ditularkan melalui air. Yang terpenting, jika sudah terbebas dari keharusan menjadi budak air, anak perempuan bisa bersekolah dan memilih kehidupan yang lebih baik.

Kemudahan mendapatkan air bukan satu-satunya masalah di pedesaan. Di seluruh dunia berkembang, banyak penduduk daerah kumuh perkotaan menghabiskan sebagian besar waktunya untuk mengantre di pompa air. Namun, tantangan terberat adalah mengalirkan air ke desa-desa terpencil seperti di Konso. Desa Binayo, Foro, terletak di puncak gunung. Banyak desa di daerah tropis dibangun tinggi di perbukitan, yang udaranya lebih sejuk dan tidak rentan terhadap malaria, serta lebih mudah melihat apabila ada musuh datang. Tetapi, pedesaan Konso yang terletak di puncak gunung tidak mudah mendapatkan air. Kekeringan dan penggundulan hutan terus mendorong permukaan air semakin rendah—di beberapa bagian Konso, permukaan air lebih dari 120 meter di bawah tanah. Yang terbaik yang dapat dilakukan di beberapa desa adalah menyediakan sumur di dekat sungai. Air memang tidak lebih dekat, tetapi setidaknya dapat diandalkan, lebih mudah ditimba, dan cenderung lebih bersih.

Namun, di banyak negara miskin, sejumlah besar desa yang memungkinkan dilakukannya penggalian sumur ternyata tidak memilikinya. Mengebor lubang yang dalam memerlukan pengetahuan tentang geologi dan perangkat mesin berat yang mahal. Air di banyak negara, seperti di Etiopia, adalah tanggung jawab masing-masing kabupaten, dan pemerintah daerah ini hanya memiliki sedikit keahlian maupun uang. "Penduduk daerah kumuh dan daerah pedesaan yang tidak memiliki air minum adalah orang yang juga tidak memiliki akses ke para politisi," kata Paulus Faeth, presiden Global Water Challenge, sebuah konsorsium yang meliputi 24 kelompok nonpemerintah yang bermarkas di Washington, DC. Jadi, upaya agar air bersih tersedia pada umumnya dilakukan oleh kelompok dermawan, dengan keberhasilan yang beragam. !break!

Desa-desa Konso sudah sering melaksanakan berbagai proyek air yang gagal di masa lalu. Di tempat-tempat seperti Konso di seluruh dunia berkembang, masalah terbesar dalam penyediaan air adalah bahwa sekitar separuh dari fasilitas air itu rusak tidak lama setelah kelompok yang membangunnya pergi. Kadang-kadang teknologi yang digunakanlah yang tidak memungkinkan dilakukannya perbaikan secara lokal, atau suku cadang hanya tersedia di ibukota. Namun, alasan lain juga sebetulnya sepele sekali dan justru sangat memerihatinkan: Penduduk desa tidak sanggup mengumpulkan uang untuk membeli suku cadang seharga Rp30.000 atau tidak memercayai siapa pun untuk membelinya dengan dana yang berhasil mereka kumpulkan. Survei 2007 di Konso menunjukkan bahwa hanya sembilan dari 35 proyek yang dibangun itu yang berfungsi.

Saat ini, organisasi nirlaba internasional, WaterAid, yang bermarkas di Inggris, salah satu badan amal terbesar di dunia yang bergerak dalam bidang air dan sanitasi, menangani tugas menyediakan air di desa-desa Konso yang paling tidak dipedulikan orang. Pada saat saya berkunjung, WaterAid telah memperbaiki lima proyek dan bekerja untuk mengaktifkan kembali tiga proyek lainnya. Di pusat kesehatan di ibukota Konso, para pekerja WaterAid memasang talang pada atap miring di sejumlah bangunan untuk mengalirkan air hujan ke tangki yang berpenutup. Air sekarang diolah dan digunakan di pusat kesehatan.

WaterAid juga berkiprah di desa-desa seperti Foro, dan belum ada seorang pun yang pernah berhasil menyediakan air sebelumnya. Pendekatan mereka yang menggabungkan teknologi terbukti berhasil—seperti membangun bendungan pasir untuk menangkap dan menyaring air hujan yang kalau tidak dilakukan dapat terbuang sia-sia—dengan berbagai gagasan baru seperti membangun jamban yang juga menghasilkan gas metana untuk dapur umum yang baru. Namun, inovasi yang sebenarnya adalah bahwa WaterAid memperlakukan teknologi hanya sebagai bagian dari solusi. Yang sama pentingnya adalah kegiatan mengikutsertakan masyarakat setempat dalam merancang, membangun, dan memelihara proyek air baru. Sebelum memulai proyek apa pun, WaterAid meminta masyarakat untuk membentuk komite WASH (air, sanitasi, kebersihan) yang beranggotakan tujuh orang—empat di antaranya harus perempuan. Komite bekerja sama dengan WaterAid untuk merencanakan berbagai proyek dan melibatkan warga desa dalam pembangunan. Kemudian, komite WASH memelihara dan menjalankan proyek itu.

Warga Konso, yang menanam tanaman mereka di tanah terasering yang dengan susah payah mereka gali sampai ke lereng gunung, dikenal suka bekerja keras, dan mereka adalah aset—salah satu dari beberapa aset Konso yang hanya sedikit—dalam upaya pencarian air. Di desa Orbesho, warga bahkan membangun jalan sendiri sehingga mesin pengeboran bisa masuk. Pada musim panas yang lalu, pompa mereka, yang dipasang di dekat sungai, dipasangi motor untuk mendorong airnya ke reservoir yang baru dibangun di puncak gunung di dekatnya. Dari situ, gravitasi akan mengalirkan air melalui pipa ke desa-desa di balik gunung. Warga berbagai desa itu telah memberikan sumbangan masing-masing beberapa sen untuk membantu mendanai proyek, membuat beton, dan mengumpulkan batu untuk bangunannya, dan sekarang mereka menggali parit untuk meletakkan pipa. !break!

Dari kejauhan, mereka tampak seperti ular berwarna-warni cerah: 200 orang, kebanyakan perempuan, membentuk sebuah garis bergelombang ke atas lereng gunung, dari pompa ke reservoir. Beberapa orang lelaki membantu meletakkan pipa besar di dalam parit. Pemandangan itu tampak seakan menggebu-gebu oleh napas kemajuan. Ratusan orang berdatangan setiap hari selama empat hari untuk menggali di pagi hari. Parit hampir setengah selesai, dan setiap hari kelompok pekerja itu bergerak semakin jauh ke atas gunung.

Jika memasang pompa air secara teknis merupakan pekerjaan yang menantang, menggalakkan kebersihan adalah tantangan yang berbeda. Wako Lemeta adalah salah seorang dari dua petugas kebersihan yang dilatih WaterAid di Foro. Lemeta, yang agak pemalu dan berwajah tanpa ekspresi, mampir ke rumah Binayo dan bertanya kepada suaminya, Guyo Jalto, apakah dia boleh memeriksa jeriken mereka. Jalto mengajaknya ke pondok tempat menyimpan jeriken, dan Lemeta membuka satu jeriken, lalu mengendusnya. Dia mengangguk tanda puas, keluarga itu menggunakan WaterGuard (penjernih air), yang dalam jumlah sedikit saja dapat memurnikan air minum sejeriken. Pemerintah mulai membagikan WaterGuard pada awal merebaknya penyakit baru-baru ini. Lemeta juga memeriksa apakah keluarga memiliki jamban dan berbicara kepada warga desa tentang manfaat merebus air minum, mencuci tangan, dan mandi dua kali seminggu.

Banyak orang telah menerapkan berbagai kebiasaan baru itu. Survei menunjukkan bahwa penggunaan jamban meningkat 6-25 persen di wilayah tersebut sejak WaterAid mulai bekerja pada Desember 2007. Tetapi, hal itu merupakan perjuangan. "Ketika saya menganjurkan mereka untuk menggunakan sabun," Lemeta menjelaskan, "mereka biasanya berkata, 'Beri saya uang untuk membelinya.’"

Hambatan yang serupa harus diatasi agar program tetap berjalan setelah kelompok pemberi bantuan pergi. WaterAid dan kelompok sukses lainnya, seperti Water.org, CARE, dan A Glimmer of Hope, yakin bahwa mengharuskan pengguna membayar—biasanya satu sen atau lebih sedikit per jeriken—adalah kunci untuk mempertahankan proyek. Komite WASH desa menyimpan uang yang terkumpul itu untuk membayar biaya pembelian suku cadang dan perbaikan. !break!