Budak Air

By , Kamis, 1 April 2010 | 15:40 WIB

Air dan uang sudah lama merupakan kombinasi yang rawan masalah. Terkenal karena keburukannya, pada tahun 1999 Bolivia memberikan hak selama 40 tahun kepada konsorsium multinasional untuk menyediakan air dan layanan sanitasi ke kota Cochabamba. Protes yang terjadi kemudian, karena harga yang mahal, pada akhirnya menyebabkan perusahaan itu terusir dan menarik perhatian dunia terhadap masalah privatisasi air. Perusahaan multinasional yang didatangkan untuk menjalankan sistem air publik dengan memeroleh laba tidak mendapatkan cukup insentif untuk menjangkau rumah-rumah di pedesaan terpencil atau menetapkan harga air agar terjangkau oleh masyarakat miskin.

Namun, harus  ada pihak yang membayar agar air tersedia. Memang mata air berasal dari Bumi, tetapi sayangnya pipa dan pompanya tidak. Inilah sebabnya mengapa bahkan penyedia prasarana umum mengenakan biaya bagi para pengguna air. Dan air sering kali harganya paling mahal untuk mereka yang paling tidak mampu membelinya—orang yang tinggal di tempat terpencil, yang jarang penduduknya, desa yang sering dilanda angin kering di dunia.

"Pertanyaan kuncinya adalah, siapa yang memutuskan?" ujar Faeth dari Global Water Challenge. Di tingkat lokal ada hubungan yang lebih langsung antara orang-orang yang melaksanakan program dan orang-orang mendapatkan persediaan air."

Penduduk desa Konso, misalnya, memiliki dan mengontrol pompa mereka. Komite yang dipilih menetapkan biaya, untuk menutup biaya pemeliharaan. Penduduk desa bercerita kepada saya bahwa, setelah beberapa minggu, mereka sadar bahwa membayar satu sen per jeriken sebenarnya murah, jauh lebih murah daripada biaya yang harus mereka keluarkan dalam bentuk waktu berjam-jam yang dihabiskan untuk mengangkut air—dan waktu, uang, serta kehidupan yang hilang karena sakit. !break!

Bagaimana perubahan kehidupan Aylito Binayo jika dia tidak harus ke sungai lagi untuk mendapatkan air? Jauh di dalam ngarai yang lokasinya jauh dari Foro, terdapat sebuah sumur. Dalamnya 120 meter. Sewaktu saya mengunjunginya, sumur itu tidak terlalu mengesankan—di atas permukaan tanah, sumur itu hanyalah sebuah kotak beton dan di atasnya diletakkan sebuah jeriken terbalik untuk melindunginya, dikelilingi oleh tumpukan ranting. Tetapi, inilah yang terjadi pada bulan Maret 2010: Sebuah pompa bermotor dipasang, yang mendorong air ke atas gunung, menuju sebuah reservoir. Lalu, gaya gravitasi mengalirkan air itu kembali untuk mengisi keran di desa-desa setempat—termasuk Foro. Desa itu mempunyai dua keran umum dan sebuah bangunan untuk mandi. Jika semua berjalan lancar, Aylito Binayo akan memiliki keran dengan air yang aman, yang jaraknya hanya tiga menit berjalan kaki dari pintu depan rumahnya.

Ketika saya memintanya membayangkan kehidupan yang lebih mudah ini, dia memejamkan matanya dan menyebutkan satu per satu tugas yang jumlahnya amat banyak. Dia bisa ke ladang untuk membantu suaminya, mengumpulkan rumput untuk kambing, memasak untuk keluarganya, membersihkan pekarangan. Dia bisa mengurus anak-anaknya, "Saya tidak tahu apakah harus percaya bahwa proyek itu akan berhasil. Kami tinggal di puncak gunung, sementara air ada di bawah," katanya. "Tapi, kalau berhasil, saya pasti sangat senang, senang sekali."

Saya bertanya tentang harapannya untuk keluarganya, dan jawabannya yang begitu rendah hati sungguh mengenaskan: mampu mengatasi kelaparan baru yang disebabkan oleh kekeringan, mampu mengatasi penyakit yang baru datang melanda—sanggup kembali menjalani kehidupan miskin yang selama ini dikenalnya. Dia tidak pernah bermimpi. Dia tidak pernah berani berharap bahwa di suatu hari nanti kehidupan bisa berubah menjadi lebih baik—bahwa bisa ada keran logam, yang dari ujungnya menyembur martabat sebagai manusia.