Ancaman di Jantung Pakistan

By , Jumat, 30 Juli 2010 | 13:58 WIB

Salah satu penari itu adalah Nida Chaudhry. Dia sedang menunggu di belakang panggung untuk tampil lagi pada suatu malam. Lipstik magenta dan perona mata ungu yang dikenakannya membuatnya tampak lebih tua dari umurnya yang baru 20-an tahun. Kecaman tentang tarian yang agak cabul tampaknya tak mengganggunya. "Saya harus bagaimana?" tanyanya. "Apakah harus menari memakai burka?"

Tarian paling meriah yang saya lihat di Lahore tidak terjadi di teater, tapi di tempat ibadah. Pada tengah malam Jumat, ratusan orang yang kebanyakan pemuda berkumpul di makam pemimpin spiritual sufi, atau wali, abad ke-17 yang bernama Syah Jamal. Mereka melingkar berdesakan mengelilingi tiga penabuh kendang dan sepasang darwis berambut panjang, yang berputar dengan kecepatan tinggi di halaman bertegel yang licin oleh hujan dan kelopak mawar yang hancur. Asap hasyis terlihat di atas kerumunan itu, terdengar pula zikir "Allah! Allahu!" dan nama berbagai wali. Para darwis bertabrakan, dan mulailah terjadi saling dorong. "Ini rave versi kami," jelas seorang teman Punjab saya.

Sebenarnya, tidak sesederhana itu. Tasawuf telah berkembang di anak benua itu sejak kedatangannya berabad-abad lalu, setelah serbuan pasukan Turki. Ajaran ini menekankan penghormatan kepada aulia, sering kali dengan bantuan qawwal—penyanyi lagu pujian yang iramanya konon menimbulkan ekstase spiritual. Para wali terkenal, seperti penyair abad ke-18 Bulleh Syah, pernah dikucilkan karena pandangannya yang liberal dan nyeleneh. Kini kuburan mereka menjadi tempat ziarah jutaan pengikut setia.

Pemandangan di makam Syah Jamal hanyalah salah satu ekspresi tasawuf. September lalu saya bersama fotografer Ed Kashi menuju Mithankot, sebuah kota jauh di barat daya Punjab. Di kota ini terdapat makam sufi abad ke-19 yang bernama Khwaja Ghulam Farid, dan dekat dengan tempat yang kabarnya banyak pendukung Taliban. Tetapi, para sufi di Mithankot tampaknya tidak takut sama sekali. Pada malam saat kami tiba, beberapa ribu pria, wanita, dan anak-anak berkumpul untuk memperingatinya di ruang makam sang wali yang berkubah dan diterangi lampu hijau. Massa bersenandung "Wahai Farid, sang kebenaran!" lalu mendengarkan dan terpesona oleh puisi cinta sang wali yang romantis dan ilahiah, dinyanyikan oleh qawwal yang memainkan harmonium. Seorang pria berjanggut putih menggenggam lenganku. "Kami mencintai Yesus!" ujarnya dalam bahasa Inggris. "Yesus juga seorang nabi!"!break!

Penjaga sebuah madrasah di kota Bahawalpur di selatan, di tepi wilayah gurun Punjab, tidak seramah itu. Begitu kami keluar dari kendaraan, dia mengacungkan pistol dan menyatakan dengan jelas bahwa memotret dilarang. Reaksinya tidak mengejutkan. Madrasah Taleem ul-Quran adalah pesantren yang berafiliasi dengan Jaish-e-Mohammed, kelompok ekstremis yang dikaitkan dengan al-Qaeda. Kelompok ini dan kelompok lain yang sejenis di Punjab dulu beroperasi dengan dukungan pemerintah, yang menggunakan bantuan mereka dalam perseteruan dengan India mengenai Kashmir. Setelah peristiwa 9/11, di bawah tekanan AS pemerintah melarang kelompok ini, namun gagal mengadili para pemimpinnya atau menghentikan madrasah mengajarkan ideologinya. Pakistan memiliki ribuan madrasah, banyak di antaranya memperoleh inspirasi ideologis, dan terkadang dukungan keuangan, dari Arab Saudi.

Madrasah Jaish menghadap ke arah jalan yang sepi. Karena saat itu bulan suci Ramadan, tidak ada kegiatan di sekolah itu saat kami tiba, namun pembangunan lantai empat yang baru memperlihatkan bahwa sekolah ini tidak kekurangan dana. Sebuah toko eceran menjual parfum bebas alkohol bersama buku-buku yang memuliakan syuhada yang memberontak di Irak dan Afghanistan.

Saya mengira tidak akan diizinkan masuk. Jadi, saya terkejut ketika, setelah satu atau dua kali telepon, kami diundang datang lagi pada hari itu juga untuk bertemu dengan sang nazim, atau kepala administrator. "Bersikap ramah kepada tamu itu sunah Nabi," ujar Maulana Imdad Ullah, sementara kami menikmati teh dan biskuit lemon di ruang tamunya yang kecil.

Sang nazim, lelaki percaya diri dengan senyum hangat yang tak terduga, menegaskan bahwa madrasah itu murni lembaga keagamaan. Tetapi, dia tidak menyembunyikan simpatinya pada Jaish atau pemimpinnya, Massood Azhar, anak pendiri dan pengelola sekolah ini. "Sudah sepatutnya jika setiap Muslim ingin mengikuti jejaknya," ucapnya. Saya bertanya apakah siswa didorong untuk mengangkat senjata melawan pasukan gabungan pimpinan Amerika di Afghanistan. "Setelah mereka lulus, terserah mereka hendak berjihad atau tidak," katanya. Apa pula yang dia maksud dengan "jihad", yang dapat diartikan bermacam-macam? "Jihad adalah berperang dan membunuh."!break!

Keterusterangan sang nazim begitu mengejutkan, demikian pula pemerintah yang membiarkannya beroperasi tanpa gangguan. Maka, keesokan paginya saya mengunjungi Mushtaq Sukhera, petugas polisi senior di wilayah itu, di rumah dinasnya. Ternyata dia seorang pria ramah dan terdidik, dengan lapangan latih golf di halaman depannya, sementara putranya kuliah di New York University. Sukhera bukan pendukung ekstremisme dan mengatakan bahwa anak buahnya terus mengawasi madrasah yang kami kunjungi. Namun, dia menambahkan, "mereka mengajarkan kurikulum yang biasa diajarkan di madrasah lainnya, jadi apa yang bisa kami lakukan?"

Walaupun berbahaya, militan Punjab belum lama muncul di provinsi ini. Untuk melihat sekilas pilar masyarakat yang lebih mapan, kami pergi ke Multan, kota terbesar di selatan Punjab dan daerah kesukaan bangsawan tuan tanah kaya yang dikenal sebagai kaum feodal. Faizal Abbas, 39 tahun, dengan rambut pendek beruban dan dagu yang mulai berlipat, menyambut kami di luar balairungnya yang ber-AC, di taman bertembok yang penuh burung merak dan kuda poni kecil. Seekor singa besar mondar-mandir dalam sangkar.

Ini sesuai dengan reputasi kaum feodal. Mereka membeli tanah pada masa kolonial atau bahkan sebelumnya, dan banyak yang menggunakan kekayaan untuk menopang karier politiknya. Sementara kota tumbuh di sekitar mereka, Abbas dan saudara-saudaranya menjual sebagian tanah mereka untuk pembangunan perumahan, dan kini sebagian penghasilan mereka berasal dari pompa bensin.    Keluarga itu masih memiliki ribuan hektare lahan pertanian bagus—sebagian besar ditanami mangga—dan membanggakan akar feodalnya. Di belakang kebun Abbas, terdapat reproduksi desa leluhurnya, dengan tungku tanah liat di luar dan dipan tali yang serupa dengan tempat tidurnya saat masih kecil.

Tidak semua orang di Punjab mencintai kaum feodal. Reformasi tanah yang setengah hati gagal menghapus kantong-kantong kemiskinan, terutama di selatan yang kurang air. Kemiskinan, pada gilirannya, sering dituding sebagai penyebab ekstremisme, mendorong orang tua yang tak bertanah mengirimkan anaknya ke madrasah, tempat mereka setidaknya diberi pangan dan papan.!break!