Ancaman di Jantung Pakistan

By , Jumat, 30 Juli 2010 | 13:58 WIB

Taliban tentu tidak akan senang. Pada suatu sore musim dingin yang cerah di Lahore, peminat-budaya setempat berbondong-bondong menghadiri acara tahunan di National College of Arts. Di halaman utama, gadis lajang berbaur dengan bebas sambil merokok dan menyesap Kratingdaeng. Tak jauh dari sana tampak patung sepasang insan berpegangan tangan di ayunan, dalam ukuran sebenarnya. Di dalamnya, sosok badan seorang pria, yang jika dilihat dari sudut tertentu, berubah menjadi payudara wanita. Namun, nuansa anak benua ini jelas terasa. Wanitanya mengenakan tunik tradisional sepanjang paha di atas celana jin, dan beberapa di antaranya berjilbab. !break!

Campuran gaya dan pengaruh—kombinasi suku dan agama—merupakan ciri khas Lahore, kota kedua terbesar di Pakistan dan ibu kota Provinsi Punjab. Punjab, yang merupakan provinsi terkaya dan terpadat dari keempat provinsi di negara itu, merupakan tempat pertemuan Timur dan Barat. Bahkan, pembagian India jajahan Inggris yang brutal dan berdarah pada pertengahan abad ke-20 tidak dapat menghancurkan vitalitas kosmopolitan Punjab.

Namun, Taliban dan sekutunya berupaya sekuat tenaga untuk menghancurkannya. Dalam beberapa tahun terakhir, mereka melakukan serangkaian teror di Punjab, tempat asal banyak tokoh politik dan militer Pakistan, bahkan mengincar tim kriket nasional Sri Lanka yang sedang berkunjung. Masuknya kekerasan dari tanah tandus yang terpencil di dekat Afghanistan mengguncang warga Punjab, yang sampai saat ini cenderung menganggap kaum ekstremis sebagai masalah orang lain. Hal ini juga menimbulkan kekhawatiran di Washington, kalau-kalau Pakistan yang bersenjata nuklir, mitra penting AS dalam perang melawan terorisme, dapat runtuh karena hal ini.

Punjab yang saya kenal pada tahun-tahun setelah 9/11 relatif tidak terganggu. Memang, daerah itu memiliki banyak masalah sosial dan menjadi salah satu tempat berkembangnya Islam militan. Namun, posisi para penjaga status quo—jenderal, tuan tanah feodal, industrialis—tetap tak terusik, demikian pula penganut tasawuf, ajaran Islam yang toleran, mistis, dan penuh musik-dan-puisi, yang dibenci banyak Muslim garis keras. Mungkinkah pranata sosial masyarakat di sini akan tercerai-berai?

Beberapa hari setelah pertunjukan seni itu, saya menemui Imran Qureshi, kepala departemen lukisan miniatur perguruan tinggi tersebut, di rumah modern berlantai dua yang ditempatinya bersama istri dan kedua anaknya yang masih kecil. Laki-laki berusia 38 tahun ini mengenakan celana korduroi dan sweter beritsleting. Dia mempersilakan saya masuk ke ruang tamu yang berhias karpet bermotif etnis dan perabot kayu gaya Skandinavia. Qureshi dan istrinya, Aisha Khalid, keduanya seniman terkenal, dapat dengan mudah bermigrasi ke London atau New York, tempat mereka sering melakukan pameran. Akan tetapi, mereka tak berniat pindah. "Menurutku, di sini semakin liberal," ujar Qureshi, suaranya antusias. "Orang bisa berbicara tentang politik, seks, dan berbagai macam hal. Sepuluh tahun yang lalu tidak seperti ini."!break!

Komitmen Qureshi bagi negara dan seninya sangat mengesankan, begitu juga keyakinannya yang tampak kokoh terhadap budaya dan ketahanan Punjab. Namun, mungkin pula dia hanya mengingkari kenyataan.

Punjab merupakan contoh terbaik bagaimana letak geografis memengaruhi masa depan sebuah peradaban. Wilayah di antara Asia Tengah dan anak benua ini tepat berada di jalur para penyerbu—Makedonia, Turki, Mongol, Persia, Afghan—serta kafilah perdagangan yang bolak-balik antara anak benua itu dan tempat-tempat di barat. Lahore menjadi ibu kota berbagai dinasti kekaisaran, dan titik pusat keanekaragaman yang menakjubkan. Pada akhir abad ke-16, Akbar sang kaisar Mogul membuat marah kaum Muslim ortodoks karena mencampuradukkan kepercayaan Hindu dan Kristen. Orang Sikh yang kemudian memerintah kota ini serta wilayah sekitarnya membayar biaya pemeliharaan masjid dan kuil Hindu, di samping gurdwara (kuil para Sikh) mereka. Bangsa Inggris membangun universitas dan gereja batu, sedangkan kaum Punjabi belajar mencintai kriket dan bahasa Inggris sang ratu, walaupun tidak mencintai ratunya.

Semuanya hancur akibat pembagian anak benua itu menjadi India dan Pakistan pada 1947. Punjab merupakan wilayah terkaya dan paling diperebutkan, dan bagian terbesarnya, sedikit lebih luas daripada Kalimantan Timur, diberikan kepada Pakistan di tengah riuh rendah kerusuhan massa yang menewaskan sampai satu juta orang. Lima juta kaum Hindu dan Sikh melarikan diri ke India, sementara delapan juta muslim mengungsi ke arah sebaliknya.

Punjab kini menyumbang hampir 60 persen ekonomi Pakistan dan sedikit lebih padat daripada Jerman, dihuni sekitar 90 juta dari 173 juta penduduk Pakistan. Berdasarkan pendapatan per kapita, Punjab kira-kira setara dengan Sindh, yang mencakup pusat industri dan keuangan terbesar di negara itu, Karachi.!break!

Pada 1967, Ibu kota negara dipindahkan dari Karachi ke Islamabad yang baru dibangun. Namun, Lahore, kota ramai dan usang yang dihuni delapan juta jiwa, dapat dikatakan merupakan ibu kota budaya Pakistan dan ekspresi nyata sejarah masyarakatnya.

Sama seperti mahasiswa di perguruan tinggi seni, para pemuda yang bersekolah di Aitchison College, sekolah eksklusif khusus laki-laki yang didirikan oleh Inggris pada 1886, memperlihatkan banyak kontradiksi Pakistan modern. Siswanya mengenakan blazer dengan lambang Aitchison ("Tekun Pangkal Sukses"). Setiap hari saat matahari terbenam, mereka pun berdiri dengan sikap sempurna di depan asrama saat bendera sekolah diturunkan diiringi bunyi sangkakala melengking yang melantunkan lagi "Last Post".

Siswa Aitchison, yang sangat mengenal budaya pop Amerika, membandingkan ketenaran J-Lo dan Salma Hayek dalam obrolan makan malam. Pada saat yang sama, anak-anak itu dibentuk oleh pengaruh Islam yang semakin besar dalam masyarakat Pakistan, yang dimulai pada akhir 1970-an pada masa diktator militer Jenderal Muhammad Zia-ul-Haq. Baik murid maupun gurunya memiliki rasa identitas Islam yang kuat dan, terkadang, kebencian, terutama terhadap Amerika Serikat. "Kami semua mengira Anda mata-mata," ujar salah seorang guru setelah saya mengajar di sekolah itu tahun 2009. "Kami benci orang Amerika."

Orang Lahore dari generasi yang lebih tua merindukan masa yang lebih permisif dan “duniawi” sebelum pemerintahan Zia. Namun, kehidupan budaya di Lahore terus berlanjut. Salah satu hiburan kelas rendah yang populer adalah teater yang menampilkan pelawak dan penari. Auditorium kotor itu selalu penuh penonton, beberapa jelas dalam keadaan mabuk. Sementara penjaga kekar bersenjata Kalashnikov menjaga ketertiban, para penari berpakaian satin ketat dan tunik tipis meliuk di panggung diiringi jeritan lagu yang direkam dari film India. Tarian itu kemudian diselingi sandiwara yang penuh humor jorok dan “menjurus”. Beberapa pria meneriakkan kata-kata vulgar, dan di akhir acara mereka menyawer penari favoritnya dengan lembaran rupee.!break!

Salah satu penari itu adalah Nida Chaudhry. Dia sedang menunggu di belakang panggung untuk tampil lagi pada suatu malam. Lipstik magenta dan perona mata ungu yang dikenakannya membuatnya tampak lebih tua dari umurnya yang baru 20-an tahun. Kecaman tentang tarian yang agak cabul tampaknya tak mengganggunya. "Saya harus bagaimana?" tanyanya. "Apakah harus menari memakai burka?"

Tarian paling meriah yang saya lihat di Lahore tidak terjadi di teater, tapi di tempat ibadah. Pada tengah malam Jumat, ratusan orang yang kebanyakan pemuda berkumpul di makam pemimpin spiritual sufi, atau wali, abad ke-17 yang bernama Syah Jamal. Mereka melingkar berdesakan mengelilingi tiga penabuh kendang dan sepasang darwis berambut panjang, yang berputar dengan kecepatan tinggi di halaman bertegel yang licin oleh hujan dan kelopak mawar yang hancur. Asap hasyis terlihat di atas kerumunan itu, terdengar pula zikir "Allah! Allahu!" dan nama berbagai wali. Para darwis bertabrakan, dan mulailah terjadi saling dorong. "Ini rave versi kami," jelas seorang teman Punjab saya.

Sebenarnya, tidak sesederhana itu. Tasawuf telah berkembang di anak benua itu sejak kedatangannya berabad-abad lalu, setelah serbuan pasukan Turki. Ajaran ini menekankan penghormatan kepada aulia, sering kali dengan bantuan qawwal—penyanyi lagu pujian yang iramanya konon menimbulkan ekstase spiritual. Para wali terkenal, seperti penyair abad ke-18 Bulleh Syah, pernah dikucilkan karena pandangannya yang liberal dan nyeleneh. Kini kuburan mereka menjadi tempat ziarah jutaan pengikut setia.

Pemandangan di makam Syah Jamal hanyalah salah satu ekspresi tasawuf. September lalu saya bersama fotografer Ed Kashi menuju Mithankot, sebuah kota jauh di barat daya Punjab. Di kota ini terdapat makam sufi abad ke-19 yang bernama Khwaja Ghulam Farid, dan dekat dengan tempat yang kabarnya banyak pendukung Taliban. Tetapi, para sufi di Mithankot tampaknya tidak takut sama sekali. Pada malam saat kami tiba, beberapa ribu pria, wanita, dan anak-anak berkumpul untuk memperingatinya di ruang makam sang wali yang berkubah dan diterangi lampu hijau. Massa bersenandung "Wahai Farid, sang kebenaran!" lalu mendengarkan dan terpesona oleh puisi cinta sang wali yang romantis dan ilahiah, dinyanyikan oleh qawwal yang memainkan harmonium. Seorang pria berjanggut putih menggenggam lenganku. "Kami mencintai Yesus!" ujarnya dalam bahasa Inggris. "Yesus juga seorang nabi!"!break!

Penjaga sebuah madrasah di kota Bahawalpur di selatan, di tepi wilayah gurun Punjab, tidak seramah itu. Begitu kami keluar dari kendaraan, dia mengacungkan pistol dan menyatakan dengan jelas bahwa memotret dilarang. Reaksinya tidak mengejutkan. Madrasah Taleem ul-Quran adalah pesantren yang berafiliasi dengan Jaish-e-Mohammed, kelompok ekstremis yang dikaitkan dengan al-Qaeda. Kelompok ini dan kelompok lain yang sejenis di Punjab dulu beroperasi dengan dukungan pemerintah, yang menggunakan bantuan mereka dalam perseteruan dengan India mengenai Kashmir. Setelah peristiwa 9/11, di bawah tekanan AS pemerintah melarang kelompok ini, namun gagal mengadili para pemimpinnya atau menghentikan madrasah mengajarkan ideologinya. Pakistan memiliki ribuan madrasah, banyak di antaranya memperoleh inspirasi ideologis, dan terkadang dukungan keuangan, dari Arab Saudi.

Madrasah Jaish menghadap ke arah jalan yang sepi. Karena saat itu bulan suci Ramadan, tidak ada kegiatan di sekolah itu saat kami tiba, namun pembangunan lantai empat yang baru memperlihatkan bahwa sekolah ini tidak kekurangan dana. Sebuah toko eceran menjual parfum bebas alkohol bersama buku-buku yang memuliakan syuhada yang memberontak di Irak dan Afghanistan.

Saya mengira tidak akan diizinkan masuk. Jadi, saya terkejut ketika, setelah satu atau dua kali telepon, kami diundang datang lagi pada hari itu juga untuk bertemu dengan sang nazim, atau kepala administrator. "Bersikap ramah kepada tamu itu sunah Nabi," ujar Maulana Imdad Ullah, sementara kami menikmati teh dan biskuit lemon di ruang tamunya yang kecil.

Sang nazim, lelaki percaya diri dengan senyum hangat yang tak terduga, menegaskan bahwa madrasah itu murni lembaga keagamaan. Tetapi, dia tidak menyembunyikan simpatinya pada Jaish atau pemimpinnya, Massood Azhar, anak pendiri dan pengelola sekolah ini. "Sudah sepatutnya jika setiap Muslim ingin mengikuti jejaknya," ucapnya. Saya bertanya apakah siswa didorong untuk mengangkat senjata melawan pasukan gabungan pimpinan Amerika di Afghanistan. "Setelah mereka lulus, terserah mereka hendak berjihad atau tidak," katanya. Apa pula yang dia maksud dengan "jihad", yang dapat diartikan bermacam-macam? "Jihad adalah berperang dan membunuh."!break!

Keterusterangan sang nazim begitu mengejutkan, demikian pula pemerintah yang membiarkannya beroperasi tanpa gangguan. Maka, keesokan paginya saya mengunjungi Mushtaq Sukhera, petugas polisi senior di wilayah itu, di rumah dinasnya. Ternyata dia seorang pria ramah dan terdidik, dengan lapangan latih golf di halaman depannya, sementara putranya kuliah di New York University. Sukhera bukan pendukung ekstremisme dan mengatakan bahwa anak buahnya terus mengawasi madrasah yang kami kunjungi. Namun, dia menambahkan, "mereka mengajarkan kurikulum yang biasa diajarkan di madrasah lainnya, jadi apa yang bisa kami lakukan?"

Walaupun berbahaya, militan Punjab belum lama muncul di provinsi ini. Untuk melihat sekilas pilar masyarakat yang lebih mapan, kami pergi ke Multan, kota terbesar di selatan Punjab dan daerah kesukaan bangsawan tuan tanah kaya yang dikenal sebagai kaum feodal. Faizal Abbas, 39 tahun, dengan rambut pendek beruban dan dagu yang mulai berlipat, menyambut kami di luar balairungnya yang ber-AC, di taman bertembok yang penuh burung merak dan kuda poni kecil. Seekor singa besar mondar-mandir dalam sangkar.

Ini sesuai dengan reputasi kaum feodal. Mereka membeli tanah pada masa kolonial atau bahkan sebelumnya, dan banyak yang menggunakan kekayaan untuk menopang karier politiknya. Sementara kota tumbuh di sekitar mereka, Abbas dan saudara-saudaranya menjual sebagian tanah mereka untuk pembangunan perumahan, dan kini sebagian penghasilan mereka berasal dari pompa bensin.    Keluarga itu masih memiliki ribuan hektare lahan pertanian bagus—sebagian besar ditanami mangga—dan membanggakan akar feodalnya. Di belakang kebun Abbas, terdapat reproduksi desa leluhurnya, dengan tungku tanah liat di luar dan dipan tali yang serupa dengan tempat tidurnya saat masih kecil.

Tidak semua orang di Punjab mencintai kaum feodal. Reformasi tanah yang setengah hati gagal menghapus kantong-kantong kemiskinan, terutama di selatan yang kurang air. Kemiskinan, pada gilirannya, sering dituding sebagai penyebab ekstremisme, mendorong orang tua yang tak bertanah mengirimkan anaknya ke madrasah, tempat mereka setidaknya diberi pangan dan papan.!break!

Setelah meninggalkan jalan-jalan Multan yang tak terawat, saya berkendara ke utara melalui kebun tebu dan sawah yang subur, melintasi pabrik dan tempat peristirahatan dengan minimarket dan musala. Di dekat Islamabad, saya melintasi kawasan luas perumahan yang belum selesai, dengan jajaran menara air. Jalan yang melengkung diapit villa gaya Mediterania yang mirip dengan gaya di California selatan atau Abu Dhabi. Sebuah baliho mengiklankan klub renang dan tenis yang baru.

Proyek perumahan itu milik pengembang real estat terbesar dan lembaga paling kuat di Pakistan—tentara. Para perwira membeli tanah di bawah harga pasar, kemudian meraup untung dengan membangun atau menjualnya kembali kepada pihak swasta. Kemudahan ini merupakan hasil jaringan luas bisnis dan program kesejahteraan yang dijalankan tentara, termasuk pabrik semen, pupuk, dan perusahaan truk terbesar di Pakistan. Di Punjablah sistem ini berakar paling dalam, tempat pusat perekrutan British Indian Army, yang dilanjutkan oleh angkatan bersenjata Pakistan.

Hashim Khan merupakan salah satu penerima manfaat sistem ini. Pensiunan brigadir jenderal ini bekerja untuk kontraktor militer dan tinggal di perumahan yang dikelola tentara. Dia menemui saya di dekat pintu masuk dengan SUV Lexus hitam, dan membawa saya ke rumahnya yang seluas 900 meter persegi. Di ruang tamunya yang berlapis pualam, tergantung potret berbingkai emas ayahnya yang perwira militer. Khan yang berkumis dan berambut cokelat lurus dan mudah akrab ini membawa saya ke ruang kerja yang disebutnya Ruang Mencintai Diri Sendiri, yang dilengkapi AC dan kulkas penuh bir Heineken. Nyanyian Pavarotti terdengar mengiringi.

Rasa puas diri berbahaya di Pakistan. Selama beberapa minggu saya dan Ed Kashi berada di luar Lahore, Taliban meluncurkan serangkaian serangan yang menghancurkan di Punjab—di antaranya pengepungan markas tentara di Rawalpindi selama 22 jam yang menyebabkan 23 tewas, termasuk penyerang. Saat kembali ke Lahore dari Sialkot, mobil kami dihentikan dan diperiksa di salah satu pos pemeriksaan baru yang bermunculan dalam semalam di sekitar kota itu. Provinsi ini tampak mendekati kekacauan.!break!

Bulleh Syah-lah yang membangkitkan harapan. Sebagai penganjur pemikiran bebas, wali ini tidak membedakan kasta atau aliran. Dia juga amat menyinggung ulama ortodoks. Akibatnya, mereka menolak untuk memakamkan sang penyair di pemakaman umum. Namun, pesannya tentang toleransi tampaknya justru lebih relevan saat ini daripada ketika dia meninggal pada 1758. Pada siang hari sebelum penerbangan pulang, saya memutuskan untuk mengunjungi makamnya, yang terletak di pinggir kota Kasur, sekitar satu jam dari Lahore.

Tempat suci ini tidak begitu indah atau besar, tetapi kekuatan spiritual murid-murid Bulleh Syah sangat layak disaksikan. Saat para qawwal melakukan pemanasan dengan alat musik untuk persiapan keramaian malam, beberapa pengunjung—sebagian besar perempuan—mendekati ruang makam sang wali dengan khusyuk. Beberapa meminta berkahnya dengan mengikat benang berwarna ke batu berukir di ruang itu. Beberapa menangis tersedu.

Saya belum lama di sana saat seorang wanita tua berjalan menghampiri dan mengulurkan kotak kardus. "Anda harus mengambil permen," desaknya. "Ini diberikan atas nama sang wali." Saya tersentuh oleh sikapnya terhadap orang asing, yang meyakinkan saya bahwa entah bagaimana ajaran Bulleh Syah tidak dilupakan—dan mungkin terbukti lebih kekal daripada ajaran Taliban. Rasa pemberian wanita itu bertahan lama sekali.