Ancaman di Jantung Pakistan

By , Jumat, 30 Juli 2010 | 13:58 WIB

Setelah meninggalkan jalan-jalan Multan yang tak terawat, saya berkendara ke utara melalui kebun tebu dan sawah yang subur, melintasi pabrik dan tempat peristirahatan dengan minimarket dan musala. Di dekat Islamabad, saya melintasi kawasan luas perumahan yang belum selesai, dengan jajaran menara air. Jalan yang melengkung diapit villa gaya Mediterania yang mirip dengan gaya di California selatan atau Abu Dhabi. Sebuah baliho mengiklankan klub renang dan tenis yang baru.

Proyek perumahan itu milik pengembang real estat terbesar dan lembaga paling kuat di Pakistan—tentara. Para perwira membeli tanah di bawah harga pasar, kemudian meraup untung dengan membangun atau menjualnya kembali kepada pihak swasta. Kemudahan ini merupakan hasil jaringan luas bisnis dan program kesejahteraan yang dijalankan tentara, termasuk pabrik semen, pupuk, dan perusahaan truk terbesar di Pakistan. Di Punjablah sistem ini berakar paling dalam, tempat pusat perekrutan British Indian Army, yang dilanjutkan oleh angkatan bersenjata Pakistan.

Hashim Khan merupakan salah satu penerima manfaat sistem ini. Pensiunan brigadir jenderal ini bekerja untuk kontraktor militer dan tinggal di perumahan yang dikelola tentara. Dia menemui saya di dekat pintu masuk dengan SUV Lexus hitam, dan membawa saya ke rumahnya yang seluas 900 meter persegi. Di ruang tamunya yang berlapis pualam, tergantung potret berbingkai emas ayahnya yang perwira militer. Khan yang berkumis dan berambut cokelat lurus dan mudah akrab ini membawa saya ke ruang kerja yang disebutnya Ruang Mencintai Diri Sendiri, yang dilengkapi AC dan kulkas penuh bir Heineken. Nyanyian Pavarotti terdengar mengiringi.

Rasa puas diri berbahaya di Pakistan. Selama beberapa minggu saya dan Ed Kashi berada di luar Lahore, Taliban meluncurkan serangkaian serangan yang menghancurkan di Punjab—di antaranya pengepungan markas tentara di Rawalpindi selama 22 jam yang menyebabkan 23 tewas, termasuk penyerang. Saat kembali ke Lahore dari Sialkot, mobil kami dihentikan dan diperiksa di salah satu pos pemeriksaan baru yang bermunculan dalam semalam di sekitar kota itu. Provinsi ini tampak mendekati kekacauan.!break!

Bulleh Syah-lah yang membangkitkan harapan. Sebagai penganjur pemikiran bebas, wali ini tidak membedakan kasta atau aliran. Dia juga amat menyinggung ulama ortodoks. Akibatnya, mereka menolak untuk memakamkan sang penyair di pemakaman umum. Namun, pesannya tentang toleransi tampaknya justru lebih relevan saat ini daripada ketika dia meninggal pada 1758. Pada siang hari sebelum penerbangan pulang, saya memutuskan untuk mengunjungi makamnya, yang terletak di pinggir kota Kasur, sekitar satu jam dari Lahore.

Tempat suci ini tidak begitu indah atau besar, tetapi kekuatan spiritual murid-murid Bulleh Syah sangat layak disaksikan. Saat para qawwal melakukan pemanasan dengan alat musik untuk persiapan keramaian malam, beberapa pengunjung—sebagian besar perempuan—mendekati ruang makam sang wali dengan khusyuk. Beberapa meminta berkahnya dengan mengikat benang berwarna ke batu berukir di ruang itu. Beberapa menangis tersedu.

Saya belum lama di sana saat seorang wanita tua berjalan menghampiri dan mengulurkan kotak kardus. "Anda harus mengambil permen," desaknya. "Ini diberikan atas nama sang wali." Saya tersentuh oleh sikapnya terhadap orang asing, yang meyakinkan saya bahwa entah bagaimana ajaran Bulleh Syah tidak dilupakan—dan mungkin terbukti lebih kekal daripada ajaran Taliban. Rasa pemberian wanita itu bertahan lama sekali.