Perjalanan Evolusi

By , Jumat, 30 Juli 2010 | 13:58 WIB

Spesimen Au. afarensis yang paling dikenal adalah Lucy, yang ditemukan oleh Donald Johanson di situs Afrika timur di kawasan Hadar pada 1974. Spesimen itu kemudian dianalisis dan dipublikasikan lima tahun kemudian oleh Johanson dan Tim White—yang saat itu baru berusia 28 tahun—bersama fosil lain dari Hadar dan sebuah situs bernama Laetoli di Tanzania. Lucy berusia 3,2 juta tahun, memiliki moncong yang menonjol dan otak yang tidak lebih besar daripada otak simpanse. Tetapi, tulang panggul dan anggota tubuhnya—apalagi jejak kaki yang ditemukan terawetkan di dalam abu di Laetoli—menunjukkan bahwa spesies Lucy sudah bisa berjalan dengan dua kaki.

Namun, beberapa ilmuwan berpendapat bahwa jari-jemarinya yang panjang dan melengkung, lengan bawahnya yang panjang, dan beberapa ciri lainnya menunjukkan bahwa Lucy juga terbiasa bergerak di pepohonan seperti simpanse. Kebanyakan ilmuwan berasumsi bahwa nenek moyang Lucy pasti mirip simpanse dan berjalan seperti simpanse, berayun-ayun di pepohonan dan berjalan dengan menjejakkan buku tangan di tanah. Yang diperlukan hanyalah tulang-belulang untuk membuktikannya. Mereka akan mendapatkan sebuah kejutan besar.

"Kami mengira Lucy adalah sosok primitif," kata White, saat kami berkendara di sepanjang punggung bukit. Dia tertawa terbahak-bahak. "Kami sungguh tidak tahu apa definisi primitif." !break!

Sehari sebelumnya, kami berjalan ke arah timur menuju ke sungai; hari ini kami berjalan ke arah barat daya, melalui bentangan tanah tandus terkikis yang dinamakan Central Awash Complex (CAC). Pada pusatnya terbentang Aramis, kampung halaman Ardi.

Sejak awal 1990-an, Giday WoldeGabriel dan rekan-rekannya telah mempelajari dan memahami geologi CAC yang rumit. Sekitar 5,2 juta tahun yang lalu, banjir lava mengalir menutupi bantaran banjir yang luas. Seiring dengan berjalannya waktu, sedimen menumpuk di atas dasar basalt ini. Letusan gunung berapi yang terjadi sesekali meninggalkan lapisan tipis abu yang jalin-menjalin di antara sedimen, seperti lapisan selai di antara lapisan-lapisan kue besar.

Sementara itu, magma yang terdorong dari bawah permukaan memiringkan kue itu ke arah barat, memunculkan kembali sedimen yang sudah lama terkubur dan abu yang sering kali dapat ditentukan usianya. Kami berjalan menuju ke deposit yang menyeruak itu, memang bergerak secara horizontal di permukaan Bumi, tetapi sebenarnya sedang mundur menyusuri masa lalu. Sayangnya, dalam masa ribuan tahun, wilayah CAC terguncang-guncang oleh hiruk-pikuk kegiatan tektonik dan dilahap oleh erosi sehingga lempengan wilayah itu dan lapisan-lapisannya berserakan dalam keadaan kacau-balau.

Saat kami menuruni punggung bukit, WoldeGabriel berhenti, dan dengan menggunakan martil dia membelah batu pada sambungan batu vulkanik berwarna pucat yang disebut tuf Lubaka (lubaka berarti "singa”). Tuf Lubaka tidak mengandung mineral yang dapat ditetapkan usianya dengan cara radiometri—tetapi, tidak jauh di bawahnya terdapat bahan dari jenis lain yang dapat ditetapkan usianya. Sepanjang masa lalu, polaritas magnetik Bumi tiba-tiba berbalik dan hal ini tampak jelas dalam orientasi mineral magnetik dalam sejumlah bebatuan. Salah satu penjungkirbalikan polaritas ini, yang diketahui terjadi 4,18 juta tahun yang lalu, meninggalkan jejaknya pada sedimen di CAC. !break!

Tepat di bawah tonggak waktu ini terletak tujuan pertama kami: dataran yang ditumbuhi semak di sana-sini, tempat ditemukannya sebuah tulang rahang fosil pada 1994. Rahang tersebut terbukti cocok sekali dengan fosil yang ditemukan Meave Leakey dan timnya di dua situs Great Rift Valley di Kenya, yang dinamai Australopithecus anamensis. Bukti lainnya muncul di lokasi Awash Tengah yang disebut Asa Issie, sekitar 10 kilometer jaraknya dari tempat kami sekarang berdiri.

Semua fosil ini sedikit lebih tua dan agak lebih primitif daripada Au. afarensis, tetapi jika ditilik dari tulang kering yang ditemukan di Kenya dan tulang paha dari Asa Issie, Au. anamensis juga berjalan dengan dua kaki. Memang perbedaan utama antara kedua spesies itu hanyalah perjalanan waktu. Dengan kata lain, kedua nama itu mewakili dua titik sembarang dalam garis keturunan tunggal yang tengah berevolusi, dan tidak ada garis pembagi yang jelas di antara keduanya.

Di bawah tingkat Au. anamensis tidak terdapat spesimen tentang evolusi hominid di Awash Tengah. Tanah liat hijau kekuningan yang kami tapaki membentang antara 4,4 dan 4,3 juta tahun yang lalu, ketika bagian CAC ini merupakan danau seperti Yardi. Tidak ada yang terawetkan di dalam tanah liat, kecuali ikan. Akan tetapi, di bawah lapisan ikan ini terdapat hadiah istimewa.

Kami berjalan di atas dataran berbatu yang terjemur matahari, yang tidak menampilkan benda apa pun, kecuali batu basalt yang dibentuk setengah lingkaran. Tumpukan batu itu menandai suatu tempat; di situ, pada 17 Desember 1992, ahli paleoantropologi Gen Suwa dari University of Tokyo melihat sebuah gigi geraham yang misterius mencuat keluar dari tanah. Terdapat cukup detail pada geraham tersebut yang bisa mengungkapkan bahwa geraham itu milik hominid. Beberapa hari kemudian, di dekat tempat yang sama, pemburu fosil Alemayehu Asfaw menemukan sepotong rahang anak kecil yang masih ditempeli gigi geraham susu. !break!

"Gigi geraham susu itu tidak seperti gigi bayi hominid lain yang pernah kulihat, padahal aku sudah pernah melihat semuanya," kata White. "Aku dan Gen hanya bisa saling pandang. Kami tidak perlu mengatakan apa pun. Ini adalah sesuatu yang jauh lebih primitif."