Tim menyiapkan tanda pembatas dan mulai menyapu daerah itu dengan saksama. WoldeGabriel menangani soal geologinya. Dia tahu bahwa deposit yang mengandung hominid diapit oleh dua lapisan abu vulkanik, tuf Gàala ("unta") di bagian atas dan tuf Daam Aatu ("babon") di bagian bawah. Usia kedua tuf ini terbukti tidak bisa dibedakan—4,4 juta tahun untuk keduanya. Ini berarti letusan gunung berapi telah memerangkap kurun waktu tertentu—mungkin sedikitnya dengan rentang seribu tahun. Dan di setiap tempat deposit menyeruak ke permukaan tanah di sepanjang busur sembilan kilometer itu ditemukan fosil—monyet, antelop, badak, beruang, burung, serangga, fosil kayu, dan bagian tanaman lainnya, bahkan fosil gundukan kotoran tempat kumbang bertelur. Mereka menamakan tempat itu Aramis, nama Afar untuk dasar sungai kering terdekat.
"Di tempat ini, pada waktu itu, semua kondisi terpenuhi," kata White, sambil merentangkan kedua lengannya lebar-lebar. "Semuanya sempurna."
Pada tahun berikutnya, tim mulai menjelajahi paparan Aramis sekitar satu kilometer ke arah barat. Semakin banyak fosil manusia bermunculan—sebuah gigi taring atas yang masih utuh, sebuah gigi geraham indah yang berkilau bak mutiara; beberapa gigi lainnya; kemudian, sebuah tulang lengan. Tetapi, yang bahkan lebih penting daripada tulang hominid adalah bukti kuat tentang habitat hutan yang dihuni makhluk tersebut. Selama hampir satu abad para ilmuwan beranggapan bahwa nenek moyang kita pada awalnya mulai berjalan dengan dua kaki ketika mereka keluar dari hutan, yang masih dihuni oleh kerabat kita sang kera, dan pindah ke padang rumput terbuka— mungkin agar dapat bergerak lebih efektif menempuh jarak jauh. Tetapi, sebagian besar tulang mamalia di Aramis milik monyet dan antelop penghuni hutan. !break!
Pola gigi hominid yang sudah pernah digunakan dan analisis isotop pada email geligi itu juga menyiratkan diet umum yang lebih cocok untuk lingkungan hutan. Jika memang makhluk itu berjalan dengan dua kaki—sejauh ini buktinya hanya bukti tidak langsung—maka salah satu prinsip ilmu pengetahuan tentang evolusi manusia bisa terbantahkan. Tim ini menamai hominid baru ini Ardipithecus ramidus. (Ardi berarti "tanah" atau "lantai" dalam bahasa Afar, dan ramid berarti "dasar.")
Pada tahun 1994, tim sangat ingin kembali lagi. Biasanya tenaga dan keberanian semua orang digunakan pada hari pertama di lapangan, bekerja keras mendirikan tenda. (White adalah "jenderal lapangan" yang sangat teliti dan cerewet, dan celakalah orang yang mendirikan tendanya sebelum daerah bersama beres, atau lupa membawa seperangkat peta yang penting.) Namun, menjelang senja di akhir hari pertama itu, semua orang sudah bergegas kembali ke tempat penemuan fosil.
Saat matahari terbenam, Yohannes Haile-Selassie menemukan tulang tangan hanya beberapa meter dari tempat ditemukannya gigi pada tahun sebelumnya. Keesokan harinya, tim mulai mengayak pasir halus di sekitar tempat itu—makin banyak tulang tangan dan tulang kaki bermunculan. Lalu, penyapuan daerah itu menghasilkan sebuah tulang kering. Akhirnya muncul tengkorak dan tulang panggul, keduanya dalam keadaan hancur. Semua tulang yang lebih besar dalam kondisi buruk, boleh dikatakan sudah menjadi bubuk saat semuanya terpapar dari sedimen yang keras. Ketika sebuah tulang ditemukan, mereka menyirami tulang itu berulang kali dengan cairan pengeras tulang, menggali sebongkah sedimen yang ada di sekitarnya, dan membungkus semuanya dalam plester untuk menjaga agar fosil dapat dengan aman dibawa ke museum di Addis Ababa.
Mula-mula tidak seorang pun dari para peneliti itu yang berani menduganya, tapi jelas mereka telah menemukan kerangka satu sosok tunggal selengkap Lucy, tetapi tidak seperti Lucy atau sosok lain yang pernah mereka saksikan. Sementara sebagian besar tulang lainnya di situs ini menunjukkan tanda-tanda pernah dikoyak-koyak hyena setelah mati, kerangka hominid yang satu ini secara ajaib tidak disentuh. Setelah sosok perempuan itu meninggal, sisa-sisa jenazahnya tampaknya terinjak ke dalam lumpur oleh badak yang kebetulan lewat atau herbivora lain, sehingga terlindung dari hewan pengais bangkai. Setelah terkubur selama 4,4 juta tahun, setahun atau dua tahun terpapar di permukaan bisa membuat tulang-belulang itu berubah menjadi debu.
"Ini lebih dari sekadar keberuntungan," kata White. "Ini keajaiban." !break!
Dibutuhkan waktu dua tahun lagi untuk memulihkan kerangka itu, beberapa tahun lagi untuk membersihkan dan menyiapkan tulang-belulangnya, dan masih beberapa tahun lagi untuk menyiapkan dan mengkatalogkan 6.000 sisa-sisa vertebrata lainnya dari Aramis, melakukan kajian isotop gigi. Suwa, seorang cendekia di bidang baru antropologi virtual, melakukan pemindaian CT terhadap tulang yang terlalu rapuh untuk bisa ditangani, dan membuat versi digital yang dapat dianalisis. Selama 15 tahun, hanya dialah, White, dan beberapa orang rekan yang dapat mengakses kerangka itu.
Dalam perjalanan ke Adgantole, kami berhenti di lokasi kerangka Ardi, di dataran kering di bawah jalan yang luasnya kira-kira sama dengan lapangan tenis. Penggalian itu ditutupi oleh tumpukan besar bebatuan. Tempat itu sekarang sunyi, tetapi saya bisa membayangkan teriakan gembira ketika setiap tulang—semuanya berjumlah 125—menyeruak keluar dari bumi atau di kemudian hari muncul dari jaket plester di museum.
"Tidak ada saat-saat dramatis," kata White kemudian dengan tegas, ketika dia bisa berbicara lebih leluasa tentang kerangka itu. Lalu, dia menjelaskan setengah lusin di antaranya. Satu tulang muncul ketika dia melepaskan plester di sekitar tulang kaki kecil yang disebut medial cuneiform, yang bertengger pada pangkal jempol kaki. Pada manusia dan semua hominid lainnya, permukaan gabungan tulang ini mengarah sedemikian rupa sehingga jempol kaki sejajar dengan jari lain, menghasilkan “tekanan jari kaki" yang kuat sehingga pemiliknya dapat melangkah efektif dengan dua kaki. Pada kera, permukaan gabungan tulang itu menunjuk ke arah yang berbeda, sehingga jempol kaki dapat menjauhi dan mencengkeram jari kaki lain agar dapat berpegangan ke dahan pohon. Pada fitur penting ini, Ardi mirip kera. Namun, dalam hal-hal lain, kakinya sama sekali tidak seperti kera, menunjukkan ciri-ciri khas yang memungkinkannya berjalan tegak.
Ke mana pun para ilmuwan itu mengamati, mereka menemukan campuran sifat yang sama anehnya: beberapa sifat sangat primitif, sifat lainnya sudah maju dan hanya dimiliki hominid. Ardi bukan sekadar sosok berkaki dua, atau sosok berkaki empat. Ardi adalah sosok keduanya. !break!
Saya bertanya kepada White apakah sosok transisi Ardi mungkin bisa membenarkan penyebutan Ar. ramidus sebagai “mata rantai yang hilang." Dia menepiskan pertanyaan itu.
"Istilah itu benar-benar keliru, sulit untuk mengetahui di titik mana kita harus memulai," katanya. "Yang paling parah adalah implikasi bahwa di titik tertentu ada sosok perantara antara simpanse dan manusia. Itu salah kaprah yang terlanjur populer, yang telah meracuni pemikiran evolusi sejak awal, dan yang telah dibuktikan salah oleh Ardi.”
Jika tafsiran tim Awash Tengah ini benar, Arramidus memang sama sekali tidak seperti simpanse atau gorila modern. Tentu saja kera dan manusia berasal dari nenek moyang yang sama. Tetapi, garis keturunan keduanya telah berevolusi dengan arah yang sangat berbeda, sejak awal.
Di Luar Jangkauan: Nenek Moyang Terakhir yang SamaDi Awash Tengah masih tersisa satu juta tahun yang dapat kujelajahi sebelum makan malam. Dari Aramis, kami berjalan melintasi dataran berbatu sampai mencapai suatu tempat terbuka di ketinggian; dari situ tampak terbentang daerah penelitian yang luasnya lebih dari 250 kilometer persegi di bawah langit biru yang luas. Titik pandang ini tampaknya tempat yang tepat untuk kembali dari jalan evolusi yang berasal dari Ardi kepada kami di masa kini.!break!
"Penemuan Ardi menyebabkan kami berasumsi bahwa evolusi manusia berlangsung seperti perakitan tiga tahap," kata White. "Tetapi, batas antara tahapan-tahapan ini pun sebetulnya merupakan rekaan saja, untuk memudahkan." Tahap pertama diwakili dengan baik oleh Ardipithecus—"titik tolak"—sosok primitif berkaki dua yang salah satu bagian kakinya berada di masa lalu dan satu lagi di masa depan, yang gigi taring jantannya sudah menyusut dan bentuknya mengalami "feminisasi”, yang habitatnya terbatas di hutan.
Lalu, selama lebih dari dua juta tahun, muncul Australopithecus—masih berotak kecil, tetapi sudah sepenuhnya berkaki dua, tidak lagi terbatas tinggal di hutan, dan dengan rentang geografis yang terbentang 2.500 kilometer ke arah barat retakan hingga Chad dan selatan hingga Transvaal, Afrika Selatan. Panggung hominid yang sangat sukses, dari segi waktu dan ruang. Apakah Australopithecus berevolusi dari Ardipithecus? Tidak ada yang tahu dengan pasti. Di Awash Tengah ada kurun waktu yang tidak memunculkan hominid, seakan ada tirai pemisah di antara keduanya. Sampai lebih banyak bukti ditemukan, di tempat itu atau di tempat lain, tidak jelas apakah Ardi adalah "ibu” Lucy atau yang garis keturunannya pupus tanpa penerus.
Namun, White berkata ada pertanyaan yang lebih baik untuk diajukan: Apakah mungkin Australopithecus adalah hasil evolusi bagian-bagian Ardipithecus? Sejumlah ilmuwan berpendapat bahwa hal tersebut nyaris mustahil. White tidak sependapat. Kita sekarang tahu dari kajian genetika bahwa perubahan kecil-kecil dalam susunan gen dapat memiliki konsekuensi anatomi besar dalam waktu singkat. Jika terbukti sangat menguntungkan untuk berjalan tegak dengan lebih efektif, begitu kata White, tidak akan dibutuhkan waktu sampai ribuan tahun bagi seleksi alam untuk mengembangkan sebuah jari kaki besar yang sejajar dengan jemari lain dan mengubah desain kerangka.
Peraturan yang sama berlaku untuk transisi dari Australopithecus ke tahap ketiga perakitan itu. Mulai mencicipi makanan berkalori tinggi, memelihara pertumbuhan otak yang membantu mengetahui cara mendapatkan makanan itu, dan simsalabim—Daka, Bodo, Herto, kita. "Urut-urutan perakitan mobil merupakan analogi yang tepat," kata White. "Berkaki dua ibarat kerangkanya. Teknologi ibarat badannya. Bahasa ibarat mesinnya, yang dimasukkan menjelang akhir perakitan; iPhone ibarat pelengkap di kap mobilnya."!break!
Dari tempat tinggi di Awash itu kami juga bisa melihat ke barat, jauh ke masa lalu ke kaki tebing curam yang membentuk margin barat daerah penelitian. Pecahan tulang-belulang hominid ditemukan juga di situ, yang umurnya hingga 5,8 juta tahun. Dikumpulkan selama empat tahun oleh Yohannes Haile-Selassie, tulang-belulang itu diberi nama Ardipithecus kadabba.
Kebanyakan ilmuwan yakin bahwa Ar. kadabba berasal dari "garis keturunan yang sama" dengan Ar. ramidus, versi awal dari rancangan dasar yang sama. White dan rekan-rekannya juga memasukkan dua temuan yang bahkan lebih tua ke dalam kontinuum ini—pecahan tulang paha yang menarik berusia enam juta tahun dari Kenya, dinamai Orrorin tugenensis, serta sebuah tengkorak menakjubkan dan misterius dari Chad yang dinamai Sahelanthropus tchadensis, yang usianya diperkirakan sekitar tujuh juta tahun.
Seberapa tua pun usia spesimen yang terisolasi ini, sosok Ar. Ramidus-lah yang, setidaknya sampai saat ini, memberikan informasi terbaik tentang awal garis keturunan manusia: sosok nenek moyang terakhir yang merupakan nenek moyang-bersama kita dan simpanse. Beberapa bulan setelah kembali dari Awash, aku menanyakan pendapat White tentang seperti apa sosok nenek moyang-bersama yang terakhir itu. Dugaan terbaiknya adalah mungkin sosok itu menyerupai Ardi, meskipun tanpa perangkat sifat yang memungkinkannya berjalan dengan dua kaki, betapa pun canggungnya. Namun, ini hanya dugaan.
"Jika Anda benar-benar ingin tahu seperti apa sosoknya, hanya ada satu cara," kata White. "Galilah dan temukan dia."