Perjalanan Evolusi

By , Jumat, 30 Juli 2010 | 13:58 WIB

Di gurun Afar di Etiopia, terdapat banyak cara untuk mati. Ada penyakit, tentu saja. Namun, kita juga dapat binasa akibat terkaman binatang buas, patukan ular, jatuh dari tebing, atau terperangkap dalam pertempuran bersenjata di antara salah satu klan Afar dan kaum Issa di seberang Sungai Awash ke arah timur. !break!

Namun, kehidupan memang rapuh di seluruh Afrika. Hal yang istimewa di sini adalah kegigihan sisa-sisa kehidupan untuk sesekali bisa tetap bertahan. Cekungan Afar bertengger langsung di puncak sebuah robekan melebar di kerak bumi. Seiring dengan waktu, gunung berapi, gempa bumi, dan akumulasi sedimen yang berlangsung lambat bersama-sama mengubur tulang-belulang itu dan kemudian, setelah melalui tenggang waktu yang amat sangat lama, memunculkannya kembali ke permukaan sebagai fosil. "Selama jutaan tahun, banyak orang menemui ajalnya di sini," kata White, ahli paleoantropologi di University of California, Berkeley. "Sesekali kami beruntung dan menemukan sisa-sisanya," dia menambahkan.

Proyek penelitian Awash Tengah, yang diarahkan oleh White bersama rekan-rekannya dari Etiopia, Berhane Asfaw dan Giday WoldeGabriel, bulan Oktober yang lalu mengumumkan keberuntungan terbesar yang berhasil mereka raih: temuan pada tahun 1994, berupa kerangka anggota keluarga kita yang telah meninggal 4,4 juta tahun yang lalu di sebuah tempat bernama Aramis, sekitar 30 kilometer di utara Danau Yardi. Kerangka perempuan dewasa yang termasuk dalam spesies Ardipithecus ramidus itu—disingkat "Ardi"—lebih dari satu juta tahun lebih tua daripada kerangka Lucy yang terkenal dan memberikan informasi jauh lebih banyak tentang salah satu unsur masa lalu yang sangat ingin diketahui dalam proses evolusi: sifat nenek moyang kita yang juga nenek moyang simpanse.

Namun, betapapun sensasionalnya, Ar. ramidus hanyalah mewakili suatu masa dalam perjalanan evolusi kita dari salah satu spesies kera menjadi spesies yang menggenggam nasib planet ini. Tidak ada tempat lain yang lebih baik di muka Bumi untuk melihat bagaimana perubahan ini berlangsung selain di Awash Tengah. Selain Aramis, lapisan-lapisan di situ yang mewakili 14 periode waktu lainnya telah menghasilkan hominid—anggota garis keturunan kita yang eksklusif (juga disebut hominin)—dari bentuk yang bahkan lebih tua dan lebih primitif daripada Ar. ramidus menjadi fosil awal Homo sapiens.

White bercerita kepada saya bahwa banyak "jendela waktu" atau daerah yang dihuni hominid ini letaknya saling berdekatan sehingga boleh dikatakan kita bisa berjalan kaki dari satu daerah ke daerah lainnya dalam waktu beberapa hari saja. Dia mengundang saya untuk bergabung dengan tim di lapangan untuk membuktikan hal tersebut. Rencana kami adalah memulai perjalanan di masa sekarang di Danau Yardi, lalu berjalan mundur menyusuri lorong waktu, menyibakkan berbagai hal yang membuat kita menjadi sosok manusia, sifat demi sifat, spesies demi spesies. !break!

Herto: Keluarga Purba

Saya naik kendaraan menuju ke lapangan bersama dua puluhan ilmuwan dan mahasiswa serta enam orang pengawal bersenjata. Kafilah kami yang terdiri atas 11 kendaraan membawa persediaan makanan dan peralatan yang cukup untuk enam minggu. Di saat kami menyusuri dataran tinggi, tampak ladang sorgum dan jagung yang dengan rapi membentuk terasering berubah menjadi hutan yang berkabut.

Dari atas tebing yang curam, kendaraan kami berbelok-belok menuruni jalan mirip tangga raksasa yang terbentuk karena menjauhnya lempengan tanah Arab dari Afrika yang dimulai sejak kira-kira 30 hingga 25 juta tahun yang lalu. Pergerakan itu menyebabkan Cekungan Afar semakin dalam menjorok di balik bayang-bayang hujan dataran tinggi. Di bawah kami tampak perbukitan barat di latar depan yang melandai ke dataran yang tidak rata. Di cakrawala sebelah tenggara, di balik Sungai Awash yang meliuk-liuk bak pita hijau, tampak dataran tinggi yang seperti menyatu dengan kerucut gunung berapi muda Ayelu. Di bawah Ayelu tampak Danau Yardi yang gemerlap bak perhiasan perak.

Dua hari kemudian, kami berjalan di sepanjang pantainya—White, Asfaw, dan WoldeGabriel, bersama dua anggota lama proyek tersebut, geologiwan Bill Hart dan Ahamed Elema, pemimpin klan Afar Bouri-Modaitu. Selama beberapa waktu kami menyusuri tepian danau, capung (Anisoptera) yang terang beterbangan di sekitar mata kaki kami. Ini tempat yang sempurna untuk membuat fosil, baik pada saat ini maupun di masa lalu. Hewan berdatangan untuk makan dan minum, serta untuk memangsa dan dimangsa. Tulang-belulang terkubur, terhindar dari pembusukan. Selama ribuan tahun, air menetes sehingga mineral merasuk masuk, sementara zat organik terdesak keluar. White—58 tahun, sosok yang keras dan kurus seperti serigala—menyodok-nyodok benda yang belum lama mati dengan kapak es bergagang panjang. Sebuah kerangka ikan lele (Siluriformes) yang ditinggalkan elang ikan (Haliaeetus vocifer) di bawah pohon akasia. Kepala sapi, yang masih dilapisi daging kering yang mirip topeng kulit. "Jika kita ingin menjadi fosil," katanya, "inilah cara yang terbaik."

Pada hari pertama, kami berjalan kaki ke arah timur melintasi sebidang tanah sempit yang dinamakan Semenanjung Bouri, menuju Herto, sebuah desa Afar. Kami menyeruak dari keteduhan pinggiran danau dan menyeberangi bukit pasir abu-abu yang rendah. Tidak lama kemudian, seorang anak lelaki dan anak perempuan Afar datang sambil menggiring kawanan kambing untuk menyelidiki. Orang Afar adalah penggembala, dan kehidupan mereka dewasa ini tidak terlalu banyak bedanya dengan kehidupan mereka 500 tahun yang lalu. Hanya saja sekarang mereka sudah mengenal senjata api. Saat kami berjalan di bawah terik di antara kawanan hewan yang mengembik perlahan, amatlah mudah membayangkan lorong waktu sejarah yang bergegas mundur ke belakang dalam setiap langkah. !break!

Kami mendekati Herto yang menampilkan kumpulan gubuk tertutup rerumputan dan pagar semak berduri yang mengelilinginya. Di sekitar saya, potongan fosil tengkorak kuda nil tampak menyembul dari pasir berkerikil kekuningan. Di dekatnya tampak perkakas batu berbentuk liontin berlian, berukuran sekitar 12 sentimeter dari ujung ke ujung. Orang Afar tidak membuat perkakas dari batu. Ini berarti kami telah mencapai jendela waktu yang pertama untuk memasuki masa lalu. !break!

Pada November 1997, tim sedang menyigi daerah tempat kami sekarang berdiri, hanya dua ratus meter dari desa, ketika salah seorang anggotanya melihat potongan tengkorak hominid. Yang terkubur di dalam pasir di bawahnya adalah benda yang ternyata tengkorak manusia yang sangat lengkap.

Sementara anggota tim lainnya menggali temuan ini, WoldeGabriel, geologiwan dari Los Alamos National Laboratory di New Mexico, mengumpulkan sampel—potongan obsidian dan batu apung, beberapa di antaranya berukuran sebesar bola tenis. Bebatuan tersebut, yang dimuntahkan dalam bentuk cair oleh letusan gunung berapi, tak ternilai harganya bagi geologiwan karena sering kali dapat ditentukan usianya. Sampel dari Herto dianalisis oleh Paul Renne dari Berkeley Geochronology Center dan di laboratorium Bill Hart di Miami University. Hasilnya, tengkorak itu berusia 160.000 hingga 154.000 tahun.

Rentang usia ini sangat besar artinya. Dengan membandingkan DNA manusia modern dari berbagai daerah, para genetikawan sudah lama berpendapat bahwa nenek moyang dari semua manusia modern adalah populasi yang hidup di Afrika antara 200.000 dan 100.000 tahun yang lalu. Namun, tidak ada bukti berupa fosil dari kurun waktu tersebut yang mendukung model genetik itu. Sekarang ada bukti dari Herto. Ketika tengkorak lelaki yang bagian alisnya lebar dan tebal muncul dari kuburan pasir, benda ini menjadi spesimen yang sempurna untuk membuktikan teori asal-muasal nenek moyang manusia dari Afrika.

Tengkorak itu adalah Homo sapiens modern yang paling tua—Tim White berpendapat bahwa tengkorak itu adalah anggota paling tua dari spesies manusia yang pernah ditemukan. Yang paling menakjubkan tentang rongga otak yang bulat dan tinggi adalah ukurannya—dengan volume 1.450 sentimeter kubik, rongga itu lebih besar daripada rata-rata rongga otak manusia. Namun, panjang wajah fosil dan sekelumit ciri di bagian belakang tengkorak mengaitkannya juga dengan spesies Homo di Afrika yang lebih tua dan lebih primitive.!break!

"Satu hal yang kita ketahui tentang orang-orang Herto adalah bahwa mereka suka makan daging, terutama daging kuda nil," kata White, sambil menyapu pasir dari tengkorak kuda nil. Banyak tulang mamalia yang dikumpulkan dari Herto menunjukkan tanda penyembelihan oleh perkakas dari batu. Namun, mustahil diketahui apakah manusia yang memburu binatang itu atau manusia hanya mengais-ngais sisa bangkai yang dibunuh pemangsa lain.

Jika menilik ukuran otak manusia Herto yang begitu besar, dia sama seperti "manusia" masa kini. Akan tetapi, dari segi perilaku, ada bagian penting yang hilang. Perkakas batu yang ditemukan di Herto mencerminkan teknologi yang cukup canggih—tetapi, tidak jauh berbeda dengan perkakas yang usianya 100.000 tahun lebih tua atau bahkan 100.000 tahun lebih muda.

Tidak ditemukan untaian manik-manik di Herto, seperti yang ditemukan di sejumlah situs Afrika lainnya yang berusia sekitar 60.000 tahun lebih muda. Juga tidak ditemukan patung ukiran atau benda seni lainnya, sebagaimana yang terlihat dalam Paleolitik Akhir Eropa, apalagi bukti berupa busur dan anak panah, benda logam, perkakas  pertanian, dan semua keahlian teknologi dan budaya yang menyertainya. Dengan berjalan mundur hanya sejauh 160.000 tahun—waktu sekejap dalam perjalanan evolusi manusia—kami berhasil menyibakkan salah satu atribut kemanusiaan yang pasti: inovasi.

Akan tetapi, salah satu fitur aneh dari tulang-belulang itu mungkin berfungsi sebagai pertanda kerumitan perilaku di masa berikutnya—bisikan berupa lambang, membisikkan makna. Beberapa hari setelah penemuan tengkorak orang dewasa itu, Berhane Asfaw menemukan tengkorak lain: tengkorak seorang anak, yang diperkirakan berusia sekitar enam atau tujuh tahun. Tanda goresan pada tengkorak menunjukkan bahwa tengkorak itu telah dengan hati-hati dikerok dagingnya ketika tulang itu masih segar; ini menyiratkan upacara ritual, bukan sekadar kanibalisme. Permukaan tengkorak anak remaja dibiarkan utuh, dan menyiratkan polesan tanda yang jelas, dan ini merupakan pertanda bahwa tengkorak itu telah berulang kali ditangani. Mungkin tengkorak anak itu diedarkan dan dipuja sebagai benda keramat, mungkin selama beberapa generasi, sampai ada yang menguburkannya di Herto, untuk yang terakhir kalinya. !break!

Daka: Pada Sisi Kita

Setelah makan siang yang singkat, kami melanjutkan perjalanan ke sisi lain desa Herto, menukik menuruni lereng timur punggung bukit Bouri menuju ke tanah tidak rata yang sangat gersang, meliputi batu pasir abu-abu, yang berlubang-lubang karena banyaknya gua kecil dan pilar berukir yang bentuknya beragam. WoldeGabriel menjelaskan bagaimana sedimen ini dimiringkan ke barat daya oleh gesekan, kemudian terpahat menjadi aneka bentuk oleh angin kencang, air, dan gravitasi.

Kami tiba di sebuah jendela waktu baru yang dikenal sebagai Dakanihylo, atau "Daka”, anggota formasi Bouri. Sedimen Daka berusia satu juta tahun. Pada akhir Desember 1997—mahasiswa S1 Henry Gilbert melihat bagian atas sebuah tengkorak menyeruak dari sedimen Daka. Pada akhir hari itu, tim berhasil menggali 50 kilogram bongkahan batu pasir di sekitar fosil dan membungkusnya dengan perban plester. Di museum di Addis Ababa, batu yang mengelilingi tengkorak itu dilepaskan hati-hati dengan tusuk gigi dan duri landak, memperlihatkan tempurung tengkorak lengkap dari anggota spesies Homo erectus—tetapi, tanpa wajah. !break!

Homo erectus, yang pertama kali ditemukan pada 1891 di Indonesia, adalah salah satu hominid purba yang paling dikenal. Dari ukuran tubuh dan proporsi anggota badan, sosok itu mirip manusia modern. Budayanya yang sudah mengenal perkakas batu, yang dikenal sebagai Acheulean, ditandai di sebagian besar daerah oleh kapak tangan simetris berukuran besar. Elema memungut satu untuk menunjukkannya: sebongkah batu basalt hitam yang bagus, yang telah dipipihkan di semua sisinya, dan hanya kehilangan ujungnya yang runcing. Benda ini lebih kasar daripada perkakas yang baru saja kulihat di Herto. Berbekal perkakas tersebut dan kakinya yang panjang, H. erectus mampu menjelajahi berbagai jenis habitat dan mungkin merupakan hominid pertama yang meninggalkan Afrika, hampir dua juta tahun yang lalu, dan terus menyebar sampai ke Asia Tenggara.

Namun, dalam perjalanan kaki yang singkat dari Herto ke Daka, sesuatu yang nyata tentang sifat kemanusiaan kita juga jelas sekali telah hilang—terutama, beberapa ratus sentimeter kubik benda berwarna abu-abu (otak). Rongga otak spesimen Daka berukuran seribu sentimeter kubik, cukup khas untuk sosok H. erectus dan jauh lebih kecil daripada tengkorak di Herto atau bahkan tengkorak Bodo yang berusia sedang, 600.000 tahun, yang ditemukan di seberang sungai. !break!

"Spesies ini sangat sukses, karena berhasil merambah daerah yang sangat luas secara geografis. Erectus berada di pihak kita dalam perbedaan yang besar ini—dengan kranium yang lebih besar dan ceruk ekologi yang ditandai dengan penggunaan perkakas. Jika kita mundur semakin jauh ke masa lalu, tanpa menemukan berbagai benda itu, maka kita seakan-akan memasuki dunia makhluk asing."

Hata: Sebuah Kejutan Sebuah langkah tunggal membawa kami ke tempat asing itu. Setelah Daka, terdapat sedikit gangguan dalam kesinambungan geologi tatkala berbagai pergeseran batuan dan erosi telah meniadakan sepenggal besar waktu. Dengan satu langkah panjang melampaui kurun waktu ini, kami mundur lagi 1,5 juta tahun, lalu berjalan di atas dataran tandus berlekuk-lekuk dalam, yang tampak ungu kelabu di siang hari yang terik.

Hamparan tanah keunguan di bawah kami bernama Hata. Pada pertengahan tahun 1990-an, serangkaian temuan yang menakjubkan di sini berhasil menyibak salah satu transisi paling revolusioner dalam perjalanan evolusi kita. Pada 1996, tim menemukan tulang-belulang antelop, kuda, dan mamalia lain yang menunjukkan tanda penyembelihan dengan perkakas batu—pada 2,5 juta tahun, salah satu tanda tertua tentang penggunaan perkakas. !break!

"Tanda pada bagian dalam sebuah rahang antelop menunjukkan bahwa mereka memotong lidahnya," kata White. "Jadi, kita bukan saja tahu bahwa mereka memang membuat perkakas, namun kita juga tahu digunakan untuk apa perkakas itu—mendapatkan nutrisi dari bangkai mamalia besar." !break!

Bersamaan dengan tulang-belulang ini muncul petunjuk pertama tentang kemungkinan siapa sebenarnya "mereka" itu: Hanya beberapa meter dari tempat ditemukannya tulang mamalia, menyeruak sebuah tulang paha, beberapa tulang lengan, dan potongan rahang bawah dari sosok tunggal hominid. Tulang pahanya cukup panjang, seperti ciri sosok mirip-Homo modern, tetapi lengan bawahnya lebih panjang, lebih seperti sosok mirip-kera.

Sejauh ini, temuan ini tampak seperti skenario impian para ahli paleoantropologi. Pada saat tersebut, yakni 2,5 juta tahun yang lalu, garis keturunan hominid telah bercabang menjadi dua. Salah satu cabang dari genus Australopithecus mengembangkan keahlian untuk menyantap umbi-umbian keras dan makanan keras lainnya—otot rahang besar dan gigi belakang besar. Cabang lainnya—hominid dengan gigi belakang yang semakin kecil, perawakan lebih langsing, tubuh berkaki panjang, dan otak yang semakin besar—menjadi sosok kita. Otak yang lebih besar tentu saja berguna, tetapi juga memerlukan banyak persyaratan agar dapat berfungsi.

Otak yang besar memerlukan makanan berkalori tinggi—seperti yang didapatkan dengan, katakanlah, mengais-ngais sisa-sisa hewan yang dimangsa singa dan menghancurkan tulangnya untuk diambil sumsumnya. Yang tidak ditemukan di Hata adalah tengkorak yang sesuai dengan persyaratan tersebut: tidak harus memiliki otak sebesar otak H. erectus, tetapi jelas menuju ke ukuran itu. Sebagaimana yang diharapkan, di musim kerja lapangan berikutnya, anggota tim Yohannes Haile-Selassie, yang sekarang menjabat sebagai kepala antropologi fisik di Cleveland Museum of Natural History, menemukan potongan pertama tengkorak hominid. Namun, sama sekali tidak seperti skenario impian yang diperkirakan.

Tengkorak itu ternyata memang memiliki beberapa ciri mirip-Homo, terutama ukuran gigi depannya. Tetapi, gigi geraham dan gigi sebelum geraham sangat besar. Dan dengan ukuran 450 sentimeter kubik, tempurung kepalanya tidak lebih besar daripada tempurung kepala khas Australopithecus. Ini bukan makhluk penguasa lingkungan seperti H. erectus. Ini sosok primata pintar berkaki dua yang berhasil mempertahankan keberadaannya secara diam-diam di antara para pemangsa yang lebih besar dan lebih gesit.!break!

Tim memilihkannya nama Australopithecus garhi; garhi berarti "kejutan" dalam bahasa Afar. Au. garhi  jelas berada di tempat yang tepat dan pada waktu yang tepat untuk menjadi nenek moyang langsung Homo. Namun, apakah memang begitu, masih harus dibuktikan.

"Misteri ini akan segera terungkap," kata Asfaw saat kami berjalan naik kembali ke mobil untuk menempuh perjalanan menuju ke kamp. "Dan misteri itu akan terungkap di Awash Tengah."

Aramis: Temuan yang Menentang Kelaziman Keesokan harinya, perjalanan kami mungkin harus memasuki batas wilayah sebuah klan Afar yang galak, bernama Alisera. Untuk menghindari masalah, pertama-tama kami akan melakukan kunjungan diplomatik ke desa Adgantole, sambil ditemani enam orang polisi Afar. Elema adalah faktor lain yang menguntungkan: Sebagai administrator distrik, kepala Bouri-Modaitu ini juga dihormati oleh semua klan Afar di Awash Tengah. Setelah obrolan yang kami harapkan merupakan obrolan yang ramah, tim survei akan berkendara kembali ke arah barat menuju ke wilayah Bouri-Modaitu, menurunkan beberapa orang di antara kami ketika sudah tidak terlihat lagi dari desa, sehingga kami bisa melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki memasuki masa lalu tanpa terganggu oleh masa kini.

Adgantole adalah desa berdebu yang bau apek, berlokasi di samping dataran banjir Sungai Awash. Orang Afar biasanya saling menyapa dengan dagu—mencium tangan sekilas dan bertukar kabar. Di desa-desa lain yang kami kunjungi, orang bisa berbondong-bondong keluar untuk melakukan “dagu”. Tetapi di sini hanya beberapa orang saja yang keluar untuk menyambut kami. Kepala klan, yang tampaknya sedang sakit, tinggal di pondoknya. Ketika Elema masuk ke dalam pondok untuk berbicara dengannya, White mencoba melakukan “dagu” dengan seorang pemuda yang tampak seperti sedang sakit perut, yang segera pergi menjauh.  !break!

Setelah Elema selesai bertemu dengan sang kepala, kami kembali ke punggung bukit antara dua sungai. Untuk mengikuti garis waktu evolusi dengan cermat, perhentian kami berikutnya dalam menyusuri lorong waktu semestinya situs berusia 3,4 juta tahun bernama Maka, yang telah menghasilkan rahang dan beberapa sisa peninggalan Australopithecus afarensis. Tetapi, Maka berada di seberang sungai. Pertempuran antara Afar dan Issa telah menjadikan tanah di sekitar sungai menjadi tanah tak bertuan yang tidak aman untuk dilintasi.

Spesimen Au. afarensis yang paling dikenal adalah Lucy, yang ditemukan oleh Donald Johanson di situs Afrika timur di kawasan Hadar pada 1974. Spesimen itu kemudian dianalisis dan dipublikasikan lima tahun kemudian oleh Johanson dan Tim White—yang saat itu baru berusia 28 tahun—bersama fosil lain dari Hadar dan sebuah situs bernama Laetoli di Tanzania. Lucy berusia 3,2 juta tahun, memiliki moncong yang menonjol dan otak yang tidak lebih besar daripada otak simpanse. Tetapi, tulang panggul dan anggota tubuhnya—apalagi jejak kaki yang ditemukan terawetkan di dalam abu di Laetoli—menunjukkan bahwa spesies Lucy sudah bisa berjalan dengan dua kaki.

Namun, beberapa ilmuwan berpendapat bahwa jari-jemarinya yang panjang dan melengkung, lengan bawahnya yang panjang, dan beberapa ciri lainnya menunjukkan bahwa Lucy juga terbiasa bergerak di pepohonan seperti simpanse. Kebanyakan ilmuwan berasumsi bahwa nenek moyang Lucy pasti mirip simpanse dan berjalan seperti simpanse, berayun-ayun di pepohonan dan berjalan dengan menjejakkan buku tangan di tanah. Yang diperlukan hanyalah tulang-belulang untuk membuktikannya. Mereka akan mendapatkan sebuah kejutan besar.

"Kami mengira Lucy adalah sosok primitif," kata White, saat kami berkendara di sepanjang punggung bukit. Dia tertawa terbahak-bahak. "Kami sungguh tidak tahu apa definisi primitif." !break!

Sehari sebelumnya, kami berjalan ke arah timur menuju ke sungai; hari ini kami berjalan ke arah barat daya, melalui bentangan tanah tandus terkikis yang dinamakan Central Awash Complex (CAC). Pada pusatnya terbentang Aramis, kampung halaman Ardi.

Sejak awal 1990-an, Giday WoldeGabriel dan rekan-rekannya telah mempelajari dan memahami geologi CAC yang rumit. Sekitar 5,2 juta tahun yang lalu, banjir lava mengalir menutupi bantaran banjir yang luas. Seiring dengan berjalannya waktu, sedimen menumpuk di atas dasar basalt ini. Letusan gunung berapi yang terjadi sesekali meninggalkan lapisan tipis abu yang jalin-menjalin di antara sedimen, seperti lapisan selai di antara lapisan-lapisan kue besar.

Sementara itu, magma yang terdorong dari bawah permukaan memiringkan kue itu ke arah barat, memunculkan kembali sedimen yang sudah lama terkubur dan abu yang sering kali dapat ditentukan usianya. Kami berjalan menuju ke deposit yang menyeruak itu, memang bergerak secara horizontal di permukaan Bumi, tetapi sebenarnya sedang mundur menyusuri masa lalu. Sayangnya, dalam masa ribuan tahun, wilayah CAC terguncang-guncang oleh hiruk-pikuk kegiatan tektonik dan dilahap oleh erosi sehingga lempengan wilayah itu dan lapisan-lapisannya berserakan dalam keadaan kacau-balau.

Saat kami menuruni punggung bukit, WoldeGabriel berhenti, dan dengan menggunakan martil dia membelah batu pada sambungan batu vulkanik berwarna pucat yang disebut tuf Lubaka (lubaka berarti "singa”). Tuf Lubaka tidak mengandung mineral yang dapat ditetapkan usianya dengan cara radiometri—tetapi, tidak jauh di bawahnya terdapat bahan dari jenis lain yang dapat ditetapkan usianya. Sepanjang masa lalu, polaritas magnetik Bumi tiba-tiba berbalik dan hal ini tampak jelas dalam orientasi mineral magnetik dalam sejumlah bebatuan. Salah satu penjungkirbalikan polaritas ini, yang diketahui terjadi 4,18 juta tahun yang lalu, meninggalkan jejaknya pada sedimen di CAC. !break!

Tepat di bawah tonggak waktu ini terletak tujuan pertama kami: dataran yang ditumbuhi semak di sana-sini, tempat ditemukannya sebuah tulang rahang fosil pada 1994. Rahang tersebut terbukti cocok sekali dengan fosil yang ditemukan Meave Leakey dan timnya di dua situs Great Rift Valley di Kenya, yang dinamai Australopithecus anamensis. Bukti lainnya muncul di lokasi Awash Tengah yang disebut Asa Issie, sekitar 10 kilometer jaraknya dari tempat kami sekarang berdiri.

Semua fosil ini sedikit lebih tua dan agak lebih primitif daripada Au. afarensis, tetapi jika ditilik dari tulang kering yang ditemukan di Kenya dan tulang paha dari Asa Issie, Au. anamensis juga berjalan dengan dua kaki. Memang perbedaan utama antara kedua spesies itu hanyalah perjalanan waktu. Dengan kata lain, kedua nama itu mewakili dua titik sembarang dalam garis keturunan tunggal yang tengah berevolusi, dan tidak ada garis pembagi yang jelas di antara keduanya.

Di bawah tingkat Au. anamensis tidak terdapat spesimen tentang evolusi hominid di Awash Tengah. Tanah liat hijau kekuningan yang kami tapaki membentang antara 4,4 dan 4,3 juta tahun yang lalu, ketika bagian CAC ini merupakan danau seperti Yardi. Tidak ada yang terawetkan di dalam tanah liat, kecuali ikan. Akan tetapi, di bawah lapisan ikan ini terdapat hadiah istimewa.

Kami berjalan di atas dataran berbatu yang terjemur matahari, yang tidak menampilkan benda apa pun, kecuali batu basalt yang dibentuk setengah lingkaran. Tumpukan batu itu menandai suatu tempat; di situ, pada 17 Desember 1992, ahli paleoantropologi Gen Suwa dari University of Tokyo melihat sebuah gigi geraham yang misterius mencuat keluar dari tanah. Terdapat cukup detail pada geraham tersebut yang bisa mengungkapkan bahwa geraham itu milik hominid. Beberapa hari kemudian, di dekat tempat yang sama, pemburu fosil Alemayehu Asfaw menemukan sepotong rahang anak kecil yang masih ditempeli gigi geraham susu. !break!

"Gigi geraham susu itu tidak seperti gigi bayi hominid lain yang pernah kulihat, padahal aku sudah pernah melihat semuanya," kata White. "Aku dan Gen hanya bisa saling pandang. Kami tidak perlu mengatakan apa pun. Ini adalah sesuatu yang jauh lebih primitif."

Tim menyiapkan tanda pembatas dan mulai menyapu daerah itu dengan saksama. WoldeGabriel menangani soal geologinya. Dia tahu bahwa deposit yang mengandung hominid diapit oleh dua lapisan abu vulkanik, tuf Gàala ("unta") di bagian atas dan tuf Daam Aatu ("babon") di bagian bawah. Usia kedua tuf ini terbukti tidak bisa dibedakan—4,4 juta tahun untuk keduanya. Ini berarti letusan gunung berapi telah memerangkap kurun waktu tertentu—mungkin sedikitnya dengan rentang seribu tahun. Dan di setiap tempat deposit menyeruak ke permukaan tanah di sepanjang busur sembilan kilometer itu ditemukan fosil—monyet, antelop, badak, beruang, burung, serangga, fosil kayu, dan bagian tanaman lainnya, bahkan fosil gundukan kotoran tempat kumbang bertelur. Mereka menamakan tempat itu Aramis, nama Afar untuk dasar sungai kering terdekat.

"Di tempat ini, pada waktu itu, semua kondisi terpenuhi," kata White, sambil merentangkan kedua lengannya lebar-lebar. "Semuanya sempurna."

Pada tahun berikutnya, tim mulai menjelajahi paparan Aramis sekitar satu kilometer ke arah barat. Semakin banyak fosil manusia bermunculan—sebuah gigi taring atas yang masih utuh, sebuah gigi geraham indah yang berkilau bak mutiara; beberapa gigi lainnya; kemudian, sebuah tulang lengan. Tetapi, yang bahkan lebih penting daripada tulang hominid adalah bukti kuat tentang habitat hutan yang dihuni makhluk tersebut. Selama hampir satu abad para ilmuwan beranggapan bahwa nenek moyang kita pada awalnya mulai berjalan dengan dua kaki ketika mereka keluar dari hutan, yang masih dihuni oleh kerabat kita sang kera, dan pindah ke padang rumput terbuka— mungkin agar dapat bergerak lebih efektif menempuh jarak jauh. Tetapi, sebagian besar tulang mamalia di Aramis milik monyet dan antelop penghuni hutan. !break!

Pola gigi hominid yang sudah pernah digunakan dan analisis isotop pada email geligi itu juga menyiratkan diet umum yang lebih cocok untuk lingkungan hutan. Jika memang makhluk itu berjalan dengan dua kaki—sejauh ini buktinya hanya bukti tidak langsung—maka salah satu prinsip ilmu pengetahuan tentang evolusi manusia bisa terbantahkan. Tim ini menamai hominid baru ini Ardipithecus ramidus. (Ardi berarti "tanah" atau "lantai" dalam bahasa Afar, dan ramid berarti "dasar.")

Pada tahun 1994, tim sangat ingin kembali lagi. Biasanya tenaga dan keberanian semua orang digunakan pada hari pertama di lapangan, bekerja keras mendirikan tenda.  (White adalah "jenderal lapangan" yang sangat teliti dan cerewet, dan celakalah orang yang mendirikan tendanya sebelum daerah bersama beres, atau lupa membawa seperangkat peta yang penting.) Namun, menjelang senja di akhir hari pertama itu, semua orang sudah bergegas kembali ke tempat penemuan fosil.

Saat matahari terbenam, Yohannes Haile-Selassie menemukan tulang tangan hanya beberapa meter dari tempat ditemukannya gigi pada tahun sebelumnya. Keesokan harinya, tim mulai mengayak pasir halus di sekitar tempat itu—makin banyak tulang tangan dan tulang kaki bermunculan. Lalu, penyapuan daerah itu menghasilkan sebuah tulang kering. Akhirnya muncul tengkorak dan tulang panggul, keduanya dalam keadaan hancur. Semua tulang yang lebih besar dalam kondisi buruk, boleh dikatakan sudah menjadi bubuk saat semuanya terpapar dari sedimen yang keras. Ketika sebuah tulang ditemukan, mereka menyirami tulang itu berulang kali dengan cairan pengeras tulang, menggali sebongkah sedimen yang ada di sekitarnya, dan membungkus semuanya dalam plester untuk menjaga agar fosil dapat dengan aman dibawa ke museum di Addis Ababa.

Mula-mula tidak seorang pun dari para peneliti itu yang berani menduganya, tapi jelas mereka telah menemukan kerangka satu sosok tunggal selengkap Lucy, tetapi tidak seperti Lucy atau sosok lain yang pernah mereka saksikan. Sementara sebagian besar tulang lainnya di situs ini menunjukkan tanda-tanda pernah dikoyak-koyak hyena setelah mati, kerangka hominid yang satu ini secara ajaib tidak disentuh. Setelah sosok perempuan itu meninggal, sisa-sisa jenazahnya tampaknya terinjak ke dalam lumpur oleh badak yang kebetulan lewat atau herbivora lain, sehingga terlindung dari hewan pengais bangkai. Setelah terkubur selama 4,4 juta tahun, setahun atau dua tahun terpapar di permukaan bisa membuat tulang-belulang itu berubah menjadi debu.

"Ini lebih dari sekadar keberuntungan," kata White. "Ini keajaiban." !break!

Dibutuhkan waktu dua tahun lagi untuk memulihkan kerangka itu, beberapa tahun lagi untuk membersihkan dan menyiapkan tulang-belulangnya, dan masih beberapa tahun lagi untuk menyiapkan dan mengkatalogkan 6.000 sisa-sisa vertebrata lainnya dari Aramis, melakukan kajian isotop gigi. Suwa, seorang cendekia di bidang baru antropologi virtual, melakukan pemindaian CT terhadap tulang yang terlalu rapuh untuk bisa ditangani, dan membuat versi digital yang dapat dianalisis. Selama 15 tahun, hanya dialah, White, dan beberapa orang rekan yang dapat mengakses kerangka itu.

Dalam perjalanan ke Adgantole, kami berhenti di lokasi kerangka Ardi, di dataran kering di bawah jalan yang luasnya kira-kira sama dengan lapangan tenis. Penggalian itu ditutupi oleh tumpukan besar bebatuan. Tempat itu sekarang sunyi, tetapi saya bisa membayangkan teriakan gembira ketika setiap tulang—semuanya berjumlah 125—menyeruak keluar dari bumi atau di kemudian hari muncul dari jaket plester di museum.

"Tidak ada saat-saat dramatis," kata White kemudian dengan tegas, ketika dia bisa berbicara lebih leluasa tentang kerangka itu. Lalu, dia menjelaskan setengah lusin di antaranya. Satu tulang muncul ketika dia melepaskan plester di sekitar tulang kaki kecil yang disebut medial cuneiform, yang bertengger pada pangkal jempol kaki. Pada manusia dan semua hominid lainnya, permukaan gabungan tulang ini mengarah sedemikian rupa sehingga jempol kaki sejajar dengan jari lain, menghasilkan “tekanan jari kaki" yang kuat sehingga pemiliknya dapat melangkah efektif dengan dua kaki. Pada kera, permukaan gabungan tulang itu menunjuk ke arah yang berbeda, sehingga jempol kaki dapat menjauhi dan mencengkeram jari kaki lain agar dapat berpegangan ke dahan pohon. Pada fitur penting ini, Ardi mirip kera. Namun, dalam hal-hal lain, kakinya sama sekali tidak seperti kera, menunjukkan ciri-ciri khas yang memungkinkannya berjalan tegak.

Ke mana pun para ilmuwan itu mengamati, mereka menemukan campuran sifat yang sama anehnya: beberapa sifat sangat primitif, sifat lainnya sudah maju dan hanya dimiliki hominid. Ardi bukan sekadar sosok berkaki dua, atau sosok berkaki empat. Ardi adalah sosok keduanya. !break!

Saya bertanya kepada White apakah sosok transisi Ardi mungkin bisa membenarkan penyebutan Ar. ramidus sebagai “mata rantai yang hilang." Dia menepiskan pertanyaan itu.

"Istilah itu benar-benar keliru, sulit untuk mengetahui di titik mana kita harus memulai," katanya. "Yang paling parah adalah implikasi bahwa di titik tertentu ada sosok perantara antara simpanse dan manusia. Itu salah kaprah yang terlanjur populer, yang telah meracuni pemikiran evolusi sejak awal, dan yang telah dibuktikan salah oleh Ardi.”

Jika tafsiran tim Awash Tengah ini benar, Arramidus memang sama sekali tidak seperti simpanse atau gorila modern. Tentu saja kera dan manusia berasal dari nenek moyang yang sama. Tetapi, garis keturunan keduanya telah berevolusi dengan arah yang sangat berbeda, sejak awal.

Di Luar Jangkauan: Nenek Moyang Terakhir yang SamaDi Awash Tengah masih tersisa satu juta tahun yang dapat kujelajahi sebelum makan malam. Dari Aramis, kami berjalan melintasi dataran berbatu sampai mencapai suatu tempat terbuka di ketinggian; dari situ tampak terbentang daerah penelitian yang luasnya lebih dari 250 kilometer persegi di bawah langit biru yang luas. Titik pandang ini tampaknya tempat yang tepat untuk kembali dari jalan evolusi yang berasal dari Ardi kepada kami di masa kini.!break!

"Penemuan Ardi menyebabkan kami berasumsi bahwa evolusi manusia berlangsung seperti perakitan tiga tahap," kata White. "Tetapi, batas antara tahapan-tahapan ini pun sebetulnya merupakan rekaan saja, untuk memudahkan." Tahap pertama diwakili dengan baik oleh Ardipithecus—"titik tolak"—sosok primitif berkaki dua yang salah satu bagian kakinya berada di masa lalu dan satu lagi di masa depan, yang gigi taring jantannya sudah menyusut dan bentuknya mengalami "feminisasi”, yang habitatnya terbatas di hutan.

Lalu, selama lebih dari dua juta tahun, muncul Australopithecus—masih berotak kecil, tetapi sudah sepenuhnya berkaki dua, tidak lagi terbatas tinggal di hutan, dan dengan rentang geografis yang terbentang 2.500 kilometer ke arah barat retakan hingga Chad dan selatan hingga Transvaal, Afrika Selatan. Panggung hominid yang sangat sukses, dari segi waktu dan ruang. Apakah Australopithecus berevolusi dari Ardipithecus? Tidak ada yang tahu dengan pasti. Di Awash Tengah ada kurun waktu yang tidak memunculkan hominid, seakan ada tirai pemisah di antara keduanya. Sampai lebih banyak bukti ditemukan, di tempat itu atau di tempat lain, tidak jelas apakah Ardi adalah "ibu” Lucy atau yang garis keturunannya pupus tanpa penerus.

Namun, White berkata ada pertanyaan yang lebih baik untuk diajukan: Apakah mungkin Australopithecus adalah hasil evolusi bagian-bagian Ardipithecus? Sejumlah ilmuwan berpendapat bahwa hal tersebut nyaris mustahil. White tidak sependapat. Kita sekarang tahu dari kajian genetika bahwa perubahan kecil-kecil dalam susunan gen dapat memiliki konsekuensi anatomi besar dalam waktu singkat. Jika terbukti sangat menguntungkan untuk berjalan tegak dengan lebih efektif, begitu kata White, tidak akan dibutuhkan waktu sampai ribuan tahun bagi seleksi alam untuk mengembangkan sebuah jari kaki besar yang sejajar dengan jemari lain dan mengubah desain kerangka.

Peraturan yang sama berlaku untuk transisi dari Australopithecus ke tahap ketiga perakitan itu. Mulai mencicipi makanan berkalori tinggi, memelihara pertumbuhan otak yang membantu mengetahui cara mendapatkan makanan itu, dan simsalabim—Daka, Bodo, Herto, kita. "Urut-urutan perakitan mobil merupakan analogi yang tepat," kata White. "Berkaki dua ibarat kerangkanya. Teknologi ibarat badannya. Bahasa ibarat mesinnya, yang dimasukkan menjelang akhir perakitan; iPhone ibarat pelengkap di kap mobilnya."!break!

Dari tempat tinggi di Awash itu kami juga bisa melihat ke barat, jauh ke masa lalu ke kaki tebing curam yang membentuk margin barat daerah penelitian. Pecahan tulang-belulang hominid ditemukan juga di situ, yang umurnya hingga 5,8 juta tahun. Dikumpulkan selama empat tahun oleh Yohannes Haile-Selassie, tulang-belulang itu diberi nama Ardipithecus kadabba.

Kebanyakan ilmuwan yakin bahwa Ar. kadabba berasal dari "garis keturunan yang sama" dengan Ar. ramidus, versi awal dari rancangan dasar yang sama. White dan rekan-rekannya juga memasukkan dua temuan yang bahkan lebih tua ke dalam kontinuum ini—pecahan tulang paha yang menarik berusia enam juta tahun dari Kenya, dinamai Orrorin tugenensis, serta sebuah tengkorak menakjubkan dan misterius dari Chad yang dinamai Sahelanthropus tchadensis, yang usianya diperkirakan sekitar tujuh juta tahun.

Seberapa tua pun usia spesimen yang terisolasi ini, sosok Ar. Ramidus-lah yang, setidaknya sampai saat ini, memberikan informasi terbaik tentang awal garis keturunan manusia: sosok nenek moyang terakhir yang merupakan nenek moyang-bersama kita dan simpanse. Beberapa bulan setelah kembali dari Awash, aku menanyakan pendapat White tentang seperti apa sosok nenek moyang-bersama yang terakhir itu. Dugaan terbaiknya adalah mungkin sosok itu menyerupai Ardi, meskipun tanpa perangkat sifat yang memungkinkannya berjalan dengan dua kaki, betapa pun canggungnya. Namun, ini hanya dugaan.

"Jika Anda benar-benar ingin tahu seperti apa sosoknya, hanya ada satu cara," kata White. "Galilah dan temukan dia."