Jantung Madagaskar

By , Kamis, 26 Agustus 2010 | 10:09 WIB

Beberapa pembuat gitar terbaik Amerika telah lama menggunakan kayu hitam Madagaskar yang langka untuk leher gitar mereka. Dalam beberapa tahun terakhir, pemerintah federal pulau itu berusaha menyewakan tanah suburnya ke Korea Selatan dan menjual airnya ke Arab Saudi. Dalam suasana pasar bebas ini, banyak yang terjual tapi hanya sedikit yang diperoleh oleh kebanyakan warga Malagasi. Maka, tak mengherankan jika para penambang lokal menjarah batu berharga di pedesaan untuk dijual di pasar Asia. Atau binatang seperti seseke—tokek ekor daun—dan kura-kura lanjam yang genting diselundupkan pedagang kecil dari pulau itu untuk para kolektor. Atau, pemuda kurus dari Antalaha memutuskan lebih baik mati besok sambil menerima uang hari ini dari pembeli kayu sonokeling asal China.!break!

"Baik untuk perekonomian, buruk bagi ekologi," ujar seorang pelaku bisnis kayu gelap sambil tersenyum dan mengangkat bahu, seraya melompat ke sepeda motornya dan hengkang. Namun, berkibarnya perekonomian di Antalaha terbukti tak bertahan lama. Tanpa memperhitungkan konsekuensi kerusakan jangka panjang akibat penjarahan hutan pun—hilangnya hutan berharga seluas 10.110 hektare dari 4,5 juta hektare hutan lindung negara itu, kepunahan lemur dan spesies endemik lainnya, wabah erosi tanah yang mendangkalkan sungai dan menyapu lahan pertanian di dekatnya, hilangnya pendapatan pariwisata—dampak buruk perampokan sonokeling dirasakan lebih cepat. Penduduk Antalaha yang  tiba-tiba harus menghindari sepeda motor yang lalu lalang juga mulai menghadapi naiknya harga ikan, beras, dan kebutuhan sehari-hari lainnya. Penyebabnya  sederhana: lebih sedikit orang yang melaut atau bekerja di ladang.

"Mereka di hutan," kata Michel Lomone, seorang eksportir vanili. "Semua orang masuk ke hutan."Untuk pergi dari Antalaha ke hutan—maksudnya Taman Nasional Masoala, terbesar di Madagaskar—kita harus menempuh perjalanan yang tak akan dilalui orang dengan sukarela. Dimulai dengan bermobil tiga jam dari Antalaha ke barat daya, menyusuri jalan tanah yang sangat hancur akibat berat truk kayu sehingga kendaraan sering terjebak lubang berlumpur dan harus mengerahkan penduduk setempat untuk membantu mendorong mobil hingga keluar. Kemudian, dibutuhkan empat jam bersampan menyusuri Sungai Onive, diikuti empat jam jalan kaki melalui sawah, dan dua jam lagi mengikuti jalan licin berlumpur naik turun bukit granit di tengah hutan perawan yang lebat—dalam curah hujan yang turun tak tentu. Demikianlah cara orang mencapai pinggir hutan Masoala. Namun, untuk menemukan sonokeling yang belum ditebang, kita harus masuk lebih jauh selama berjam-jam.

Di sebelah barat daya, taman tersebut berbatasan dengan Teluk Antongila, tempat paus bungkuk melahirkan dengan riuh antara Juli dan September. Di dalam kehijauan hutan hujan tropis liar seluas 235.000 hektare itu, kegigihan pengunjung mendapat imbalan penampilan sekilas flora fauna terkenal: anggrek, tumbuhan karnivora, elang-ular bido, bunglon Parson yang memukau, dan lemur kerah merah. Masoala menyediakan tumbuhan obat, buah liar, dan kayu bakar dalam jumlah tak terhingga bagi penduduk desa yang berjalan telanjang kaki masuk-keluar hutan setiap hari sambil bernyanyi dan mengobrol. Sebaliknya, para pemuda kota yang datang untuk mencari uang tampak tersasar di hutan yang lembap dan misterius tersebut.

Selama berminggu-minggu mereka berkemah dalam kelompok kecil di samping pepohonan yang mereka pilih untuk ditebang, hanya makan nasi dan minum kopi, sampai si bos tiba. Dia memeriksa pohon sonokeling itu, lalu menyuruh menebang. Ditebanglah pohon itu dengan kapak. Dalam beberapa jam, pohon yang mungkin mulai tumbuh 500 tahun lalu tersebut roboh. Pemotong membuang gubalnya yang putih hingga tersisa teras kayu ungu yang menjadi khas sonokeling. Kayu itu kemudian dipotong-potong dengan panjang sekitar dua meter. Tim lain yang terdiri atas dua orang mengikatkan tali ke tiap balok lalu menyeretnya keluar hutan ke tepi sungai, pekerjaan sukar yang memakan waktu dua hari dan dibayar 100-200 ribu rupiah per batang, tergantung jarak. !break!

Saat terseok-seok berjalan menembus hutan, sesekali saya menyaksikan dua sosok yang dengan tabah menarik batang seberat 180 kilogram menaiki tebing terjal, menuruni air terjun, atau melintasi rawa yang seperti pasir apung—kerja keras seperti cerita dalam kitab suci, hanya saja orang-orang ini melakukannya demi uang. Demikian pula orang yang ditemui pasangan ini di sungai, menunggu mengikat balok itu ke radeau atau rakit buatan tangan agar mengapung saat menghiliri jeram (upahnya 250 ribu rupiah per balok). Demikian pula pengayuh sampan yang menunggu radeau di hilir jeram (120 ribu rupiah per balok). Demikian pula jagawana taman yang disuap para cukong kayu agar menjauh (2 juta rupiah untuk dua minggu). Demikian pula polisi di pos pemeriksaan di sepanjang jalan menuju Antalaha (200 ribu rupiah per petugas). Kerusakan hutan jauh lebih besar daripada sekadar hilangnya kayu keras yang berharga: bagi setiap batang sonokeling, ada empat atau lima pohon lebih ringan yang ditebang untuk membuat rakit pengangkut untuk menghiliri sungai.

Di satu kelokan sungai, sampan berhenti di tepian. Seorang pria berkumis berjongkok di tenda, sambil mengisap rokok lintingan. Namanya Dieudonne. Dia bekerja pada tengkulak, bos di lapangan, yang dipercayai para cukong kayu untuk memilih pohon yang akan ditebang dan mengawasi balok kayu dari tepi sungai ke truk pengangkut. Ada 18 truk pagi itu. Ada sekitar 30 balok kayu sonokeling tersebar di sekitar tenda Dieudonne. Bagian Dieudonne adalah 120 ribu rupiah per balok. Saya bertanya uangnya akan digunakan untuk apa. Dia merenung sejenak."Aku ingin membeli sepeda motor," jawabnya.

Marc Ravalomanana memukau Barat dengan janji mengantarkan era "Madagaskar alami" yang sadar lingkungan. Dia mantan penjual yoghurt yang naik menjadi wali kota Antananarivo, ibu kota negara itu, menggulingkan Presiden Ratsiraka yang sosialis dan membentuk partai politik Tiako I Madagasikara (Aku Cinta Madagaskar) pada 2002. Sang Presiden membangun jalan dan rumah sakit, membagikan seragam sekolah, dan secara simbolis memotong ikatan dari mantan penjajahnya Prancis dengan mengubah mata uang franc ke ariary Malagasi. Dia juga memperkuat larangan ladang berpindah (sayangnya tidak berpengaruh nyata), mengumumkan Program Kerja Madagaskar untuk mempromosikan keanekaragaman hayati negara itu, dan membuat komitmen untuk melipattigakan hutan lindung Madagaskar. Ucapan seperti "aset kita yang terpenting adalah lingkungan" terdengar indah bagi komunitas lingkungan dan, seperti kata salah seorang pencinta lingkungan, "Saya merasa kami diikutsertakan."

Sayang, "program kerja" yang berbeda terjadi di bawah meja presiden: dia diberitakan menyita sonokeling dari cukong kayu dan menjualnya untuk keuntungan pribadi. Dia menuntut, di hadapan wartawan, bagian 10 persen dari biaya eksplorasi sebuah perusahaan minyak. Sementara dompet presiden kian tebal, daya beli saudara sebangsanya menurun drastis. Ribuan pengunjuk rasa menyerbu istana presiden pada 7 Februari 2009 dan disambut tembakan yang menyebabkan setidaknya 30 demonstran tewas. Namun, sebulan kemudian militer berbalik menentang Ravalomanana yang melarikan diri ke Swaziland. Begitu diasingkan, dia divonis bersalah karena menyita tanah kota untuk bisnis keluarganya dan menggunakan uang negara untuk membeli pesawat senilai 542 miliar rupiah dari keponakan Walt Disney.!break!

Setelah itu, masyarakat dunia tidak mau mengakui pemerintahan baru yang dipimpin mantan wali kota Antananarivo yang berusia 34 tahun Andry Rajoelina. Bank Dunia, PBB, USAID, dan donor lainnya menarik bantuan mereka. Dulu Madagaskar menjadi negara pertama yang menerima hibah Millennium Challenge Account AS senilai 994 miliar rupiah, tetapi empat tahun setelahnya dikeluarkan dari program itu. Negara-negara Barat mengeluarkan peringatan berkunjung (travel advisory) ke Madagaskar. Tangan hijau Ravalomanana telah disingkirkan. Namun, pemerintah baru tidak punya uang untuk menegakkan peraturan di taman nasional.

Satu kelompok jelas senang melihat peristiwa tersebut. Pada 17 Maret 2009, di hari Marc Ravalomanana menandatangani surat pengunduran dirinya, sebanyak 20.000 orang berjejalan di stadion sepak bola Antalaha. Dua belas ekor sapi zebu dipanggang, bir tersedia dalam jumlah melimpah, dan penduduk desa menari diiringi musik sepanjang malam. Biaya perhelatan ditanggung 13 cukong kayu di daerah itu. Hutan tak lagi terlindungi.Jadi milik mereka.

Seorang cukong kayu duduk di atas kursi kayu cocobolo (Dalbergia retusa) tak berlengan di balik meja kayu hitam, dikelilingi dinding dan langit-langit serta lantai dari cocobolo. Meskipun orang tuanya datang dari China pada 1930-an dan menurut pengamatannya, "orang China tergila-gila pada sonokeling," ia sendiri lahir di dekat Antalaha dan lebih suka pada warna cokelat kemerahan cocobolo, spesies yang berhubungan erat dengan sonokeling yang berwarna lebih merah. Kantornya beraroma vanili yang berasal dari gudang di sebelah, berisi bundel-bundel vanili yang akan diekspor. Raungan gergaji kayu berasal dari panglongnya, tempat timbunan kayu sonokeling tersembunyi. Para pemuda ramping dan berotot duduk di bangku di luar pintu kantor yang menempelkan pengumuman,  "Untuk mengambil gaji harus menunjukkan tanda pengenal."