Jantung Madagaskar

By , Kamis, 26 Agustus 2010 | 10:09 WIB

Namanya Roger Thunam dan banyak yang menganggap dia salah satu pengusaha kayu terbesar di Madagaskar. Pria setengah baya bertubuh kecil dan berkacamata dengan fitur khas Asia itu tampak tenang dan percaya diri seperti orang yang memegang kekuasaan besar. Populasi emigran Tionghoa yang sedikit jumlahnya di negeri itu telah berasimilasi sepenuhnya dengan masyarakat lokal. Thunam adalah buktinya: dia berteman dengan semua pihak di Antalaha, mudah mengulurkan tangan apabila petani setempat perlu bantuan untuk membiayai pemakaman, belum lagi pekerjaan bergaji besar yang bisa diperoleh melaluinya. Namun, meskipun banyak biaya yang disetor dalam rantai produksi kayu—untuk penebang, penarik, pengayuh rakit, penggalah sampan, tengkulak, sopir truk, dan polisi sepanjang jalan raya menuju pelabuhan di Iharana dan Toamasina—bagian terbesar didapatkan orang seperti dia yang, seperti pengakuannya, "tidak ingat kapan saya terakhir ke hutan."!break!

"Thunam bukan pengusaha—dia pedagang gelap," ujar seorang pejabat lokal. "Dia menebang pohon yang bukan miliknya. Dia mengambil dari taman rakyat. Dan sekarang orang lain menganggap bahwa boleh saja mengambil yang dilarang." Tidak mengherankan, Thunam membantahnya. Dia lahir dalam keluarga yang berbisnis vanili dan dia mengembangkan bisnisnya ke perkayuan 30 tahun yang lalu. Sejak saat itu, ujarnya, pemerintah mengeluarkan berbagai izin baginya.

Memang, pemerintah mencabut larangan ekspor kayu pada saat badai memorak-porandakan hutan di sepanjang pantai timur Madagaskar, memperbolehkan pohon yang dirusak badai digergaji dan diperdagangkan. Kebijakan yang berganti-ganti ini memungkinkan cukong kayu menumpuk persediaan kayu ilegal saat larangan tersebut berlaku dan kemudian menjualnya sebagai kayu yang "diselamatkan" ketika larangan tersebut dicabut untuk sementara. Celah hukum hanya mendorong penebangan pohon secara ilegal di taman nasional—tempat sebagian besar sonokeling berada.Thunam menegaskan bahwa dia hanya memotong kayu yang legal—meskipun memang, panglongnya saat ini dipenuhi balok sonokeling—dan dia punya penjelasan: "Anda tidak akan percaya betapa banyaknya orang menebang pohon. Merekalah yang melakukan tebang dan bakar di masa lalu. Mereka tidak mengenyam pendidikan. Mereka tidak peduli pada generasi berikutnya. Mereka perusak...Tapi kayu ini sudah dipotong. Jika tidak saya beli dari mereka, orang lain yang akan membelinya."

Dia mengakui bahwa orang China yang tergila-gila pada sonokeling merupakan "pembeli terpenting" (meja makan kayu sonokeling yang diproduksi di China dijual pada tingkat pengecer lebih dari 45 juta rupiah). Bahkan ketika pemerintah baru mengakhiri pencabutan larangan sementara pada musim panas 2009, orang China terus memesan sonokeling pada Thunam. Jika dia membiarkan pesaingnya menerima pesanan, mereknya akan turun, ujarnya. "Dalam enam bulan, pasar kami akan jadi sangat kecil."

Istri cukong kayu itu, seorang wanita paruh baya yang berbadan lebar, memasuki kantor dan mendengarkan percakapan kami. Ketika suaminya keluar, ia mengaku, "Saya tidak suka merusak hutan. Saya lebih suka menghentikan penebangan dan hanya mengekspor yang telah ditebang. Beberapa minggu lalu saya naik pesawat dan terbang rendah di atas hutan. Saya bisa melihat kehancuran yang terjadi. Saat itulah saya memutuskan hal ini harus dihentikan."!break!

Hanya saja, bagaimana caranya? Belakangan saya bertanya kepada wali kota Antalaha Risy Aimé. "Menghentikannya mudah," jawabnya. "Tinggal tangkap 13 orang"—mengacu pada Roger Thunam dan cukong kayu yang lain.Sesekali, pemerintah melakukan hal itu, mendakwa para cukong kayu yang dicurigai melakukan perdagangan ilegal. Akan tetapi, pedagang memiliki kekuasaan yang sangat besar dan mampu memanfaatkan kekacauan status hukum pembalakan. Menurut laporan Global Witness dan Environmental Investigation Agency, Thunam merupakan salah satu dari dua cukong (dari enam kasus yang diketahui) yang dinyatakan bersalah mengekspor sonokeling. Dia dibebaskan dari tahanan tahun 2008 setelah membayar penyelesaian di luar pengadilan. Thunam didakwa lagi tahun 2009, tetapi divonis tidak bersalah. Cukong kayu itu kembali bercokol di balik meja kayu hitamnya, menjalankan panglong yang sibuk.

Pemandu saya di Masoala, mantan karyawan taman nasional yang bernama Rabe, pernah masuk hutan tersebut lebih dari 100 kali dalam satu dasawarsa terakhir. Dia berjalan cepat tanpa alas kaki menembus hutan belantara yang lebat dan mencekam. Dia sangat mengenal tempat itu. Namun, dia terkejut melihat perubahan yang terjadi sejak kunjungan terakhirnya beberapa bulan sebelumnya.

"Tidak ada lemur," ucapnya. "Satwa itu menghilang."

Para pencuri sonokeling yang menjadi penyebabnya. Bosan hanya makan nasi saja, mereka mulai memasang perangkap. Kita menemukan satu tim yang menangkap 16 lemur dalam satu hari. Tidak semuanya dimakan di tempat. Di kota Sambava, tak jauh di utara Antalaha, tiga restoran menyajikan lemur dalam menu mereka, walau hal itu dilarang oleh hukum federal. Dengan cara seperti itu, hutan hujan di timur laut Madagaskar dengan cepat kehilangan lemur kerah merah, lemur garpu (Phaner furcifer), lemur kerdil besar (Cheirogaleus major), dan aye-aye. Lemur tidak ditemukan di negara lain di Bumi, selain Kepulauan Komoro yang tak jauh dari Madagaskar.

"Kami tidak ingin melestarikan hutan kosong yang isinya hanya pohon," kata ahli primatologi Jonah Ratsimbazafy dari Durrell Wildlife Conservation Trust. Walaupun ekologi Madagaskar sangat kaya, satwa maskot tersebut sangat penting bagi pariwisata yang bernilai miliaran rupiah, sebagaimana dibuktikan ribuan orang yang mengunjungi Suaka Khusus Analamazaotra. Primata yang bermata besar seperti serangga dan tinggal di pohon itu memikat bukan hanya karena hanya terdapat di Madagaskar, tetapi juga karena binatang tersebut sangat banyak jenisnya. Meskipun hampir semua dari 50 spesies lemur berpoligami, memiliki ekor indah, dan banyak yang mendengus mirip babi, ada juga lemur indri hitam-putih yang monogami, tidak berekor, dan raungannya terdengar bagai bunyi dedemit di hutan. Yang luar biasa, para ilmuwan terus menemukan spesies lemur baru di pulau itu. Namun, setiap spesies berjumlah sedikit dan saat ini, lima lemur termasuk dalam daftar 25 primata di dunia yang paling terancam punah.!break!

Sejauh ini belum ada limpahan simpati dari masyarakat negara itu untuk masalah lemur. Orang Malagasi "harus bangga terhadap lemur karena hanya ada di Madagaskar," kata Ratsimbazafy. "Namun, sebagian orang di sini tidak tahu atau peduli. Orang Malagasi yang tidak tinggal di dekat daerah wisata menganggap bahwa lemur hanya untuk vazaha [kulit putih] —mereka tidak melihat manfaatnya." Bahkan, meskipun beberapa suku mengeramatkan spesies lemur tertentu, aye-aye yang bentuknya agak menakutkan dengan mata dan telinga yang sangat besar, suku-suku di utara yakin binatang itu adalah pertanda buruk dan karena itu langsung dibunuh.

Pantangan itu menjadi pegangan orang Malagasi selama berabad-abad. Pantangan merupakan peringatan dari arwah nenek moyang yang diyakini berada di bumi sebagai perantara bagi alam baka dan karenanya harus diperhatikan dan ditenangkan—kadang, pernah saya saksikan, melalui famadihana, upacara penggalian tulang nenek moyang. Tulang itu kemudian dibungkus kain kafan yang baru dan dibawa menari mengelilingi makam sebelum dikubur kembali. Di beberapa suku, ada pantangan menyentuh bunglon atau berbicara tentang buaya atau makan daging babi atau bekerja pada hari Kamis. Ada pantangan melanggar gunung, batu besar, pohon, atau bahkan seluruh hutan—semuanya bukti hubungan baik dan mendalam, walaupun rumit, antara tanah dan dunia spiritual. Meski demikian, pantangan yang paling dituruti adalah yang tidak bertentangan dengan keyakinan Malagasi bahwa lebih baik mati besok."Anda melihat bagian gundul itu?" ujar Olivier Behra, sambil menunjuk petak gundul yang mencolok di tengah hutan yang luas. "Ada orang yang menebang di situ. Aku berusaha menghentikannya."