Sidat Pengelana

By , Kamis, 2 September 2010 | 12:48 WIB

Dengan mengesampingkan kemampuan adaptasi, migrasi jutaan sidat dewasa dari sungai menyeberangi lautan pastilah merupakan salah satu perjalanan paling hebat yang tak terlihat, yang dilakukan makhluk di planet ini, menyeberangi jarak ribuan kilometer. Di sepanjang perjalanan, sidat menghadapi banyak sekali bahaya: bendungan listrik tenaga air, pembelokan aliran sungai, polusi, penyakit, menjadi mangsa (antara lain oleh ikan bass bergaris - Morone saxatilis, paus beluga - Delphinapterus leucas, dan cormorants - Phalacrocorax), dan bahaya yang semakin meningkat, yakni ditangkap manusia. Sekarang ditambah dampak perubahan iklim, bencana lain mungkin mengintai: pergeseran arus laut yang mungkin membingungkan sidat selama bermigrasi. Sayangnya, meskipun istimewa menurut sebagian orang, boleh dikatakan masih belum tepat waktunya sidat dijadikan poster bagi gerakan pelestarian.

Dari Aristoteles hingga Pliny the Elder, dari Izaak Walton hingga Carl Linnaeus, para pakar hayati mengajukan berbagai teori tentang cara sidat tumbuh berkembang: bahwa anak sidat menyeruak dari lumpur, bahwa sidat berkembang biak dengan menggosok-gosokkan badannya ke batuan, bahwa sidat lahir dari embun tertentu yang jatuh di bulan Mei dan Juni, bahwa sidat melahirkan anak. Satu yang jadi masalah, belum pernah ada yang bisa mengidentifikasi sperma atau telur pada sidat. Selama 40 tahun di akhir tahun 1700-an, di sebuah penangkaran sidat terkenal di Comacchio, Italia, lebih dari 152 juta ekor sidat dewasa yang bermigrasi ditangkap dan dibersihkan, dan tidak seekor pun berisi telur. Tidak seorang pun yang saat itu bisa mengatakan dengan pasti apakah sidat memiliki jenis kelamin karena tidak ada seorang pun bisa mengidentifikasi organ reproduksinya (ternyata organ seks sidat membesar karena diisi telur dan sperma, hanya setelah sidat dewasa meninggalkan muara sungai untuk melakukan pemijahan di laut dan menghilang dari pengamatan manusia).

Pada akhir 1800-an di Trieste, Italia, seorang mahasiswa kedokteran bernama Sigmund Freud ditugasi menyelidiki testis sidat jantan yang diperkirakan berupa simpai (lingkaran) benda putih yang berada di dalam rongga tubuh (makalah Freud tentang sidat adalah karya pertamanya yang dipublikasikan). Hal ini dikonfirmasikan pada 1897 ketika seekor sidat jantan yang secara seksual sudah dewasa tertangkap di Selat Messina.

Pada 1904, Johannes Schmidt, pakar kelautan dan ahli biologi yang masih muda berkebangsaan Denmark, mendapat pekerjaan di atas kapal Thor, kapal penelitian Denmark, untuk mengkaji pola reproduksi ikan yang sering dimakan orang seperti ikan cod dan ikan haring. Pada suatu hari di musim semi itu, larva sidat Eropa, Anguilla anguilla, terjaring dalam salah satu pukat kapal ekspedisi di sebelah barat Kepulauan Faroe. Apakah mungkin sidat yang hidup di sungai Denmark melakukan pemijahan jauh di tengah Samudra Atlantik?!break!

Setahun sebelumnya, Schmidt melakukan sesuatu yang sebetulnya bisa berujung pada pertunangan menguntungkan dengan ahli waris Carlsberg Brewery, sebuah perusahaan Denmark yang begitu dermawan memberikan sumbangan untuk penelitian laut. Dengan dilengkapi perahu layar yang mampu mengarungi laut, Schmidt mengumpulkan data yang menunjukkan bahwa semakin jauh dari pantai Eropa, semakin kecil sidat yang ditemukan. Schmidt menegaskan bahwa sidat pastilah melakukan pemijahan di bagian barat daya Atlantik Utara, di Laut Sargasso. "Tidak ada contoh lain yang dikenal di antara spesies ikan yang membutuhkan seperempat lingkar Bumi untuk melengkapi sejarah hidupnya," begitu tulis Schmidt pada 1923. "Migrasi larva sejauh dan selama itu... benar-benar unik di dunia hewan."

Setelah Schmidt meninggal pada 1933, beberapa ilmuwan menyanggah teori Sargasso yang dikemukakannya. Mereka menunjukkan bahwa Schmidt menyembunyikan data tertentu agar teorinya lebih masuk akal, dan mereka mempertanyakan bagaimana dia bisa menyatakan bahwa kawasan itu adalah satu-satunya tempat sidat berkembang biak, padahal dia belum pernah menyaksikan sendiri proses penetasan dan boleh dikatakan tidak pernah mencari sidat di tempat lain. Namun, kecaman tersebut tidak sedikit pun menepiskan cerita mengesankan tentang sidat yang dikemukakan Schmidt yang tampaknya masih tetap benar.

Pada tahun 1991, sebuah ekspedisi yang dipimpin oleh Katsumi Tsukamoto dari Institut Penelitian Atmosfer dan Lautan  University of Tokyo yang juga menyertakan Michael Miller, yang saat itu masih mahasiswa pascasarjana University of Maine, melakukan terobosan baru. Pada suatu malam yang gelap di Samudera Pasifik di sebelah barat Guam, tim itu menemukan ratusan larva sidat Jepang, Anguilla japonica, yang baru beberapa hari menetas, sehingga menemukan daerah pemijahan spesies tersebut untuk pertama kalinya. Sembilan belas tahun kemudian, Tsukamoto dan Miller masih terus menjelajahi lautan untuk mencari sidat yang sedang memijah.

Ketika aku menemui Miller di kantornya di Tokyo, dengan gemas dia menceritakan bahwa dia dan Tsukamoto nyaris menemukan induk sidat Jepang. Namun, "Kita bisa saja hanya berjarak 50 meter dan tidak menemukan apa-apa.  Ini masalah skala—lautan begitu luas. Untuk menemukan tempat pemijahan sidat, probabilitas statistiknya sangat rendah. Nyaris mustahil,” katanya. Apalagi, dia menambahkan, setiap tahun saat dia dan Tsukamoto melakukan pencarian, mereka selalu mengalami cuaca buruk. " Setiap ekspedisi untuk meneliti sidat selalu diterjang topan yang menyebabkan kami terpaksa mengubah arah. Tampaknya Dewa Poseidon berusaha menjaga rahasia sidat."!break!

Itulah kecantikan terindah yang kutemukan pada sidat: pemikiran tentang makhluk yang awal kehidupannya dapat tetap tersembunyi dari mata manusia. Jadi, semakin sulit bagiku untuk menerima pendapat bahwa kita mungkin bisa kehilangan makhluk tersebut sebelum siklus kehidupannya dapat kita ketahui. Populasi sidat Amerika, Eropa, dan Jepang semuanya semakin susut, beberapa di antaranya dengan sangat drastis. Sebagaimana yang dikemukakan oleh John Casselman, ahli biologi di Queen's University di Kingston, Ontario, "Ini benar-benar keadaan genting. Kegentingan yang memprihatinkan."

Pada November 2004, dua bersaudara, Doug Watts, seorang wartawan lepas yang tinggal di Augusta, Maine, dan Tim Watts, seorang petugas kebersihan di sebuah perguruan tinggi di Easton, Massachusetts, mengajukan petisi kepada US Fish and Wildlife Service (FWS) untuk mencantumkan sidat Amerika, Anguilla rostrata, sebagai spesies yang terancam punah (threatened), atau bahkan genting (endangered). Mereka termotivasi oleh dokumentasi Casselman tentang nyaris punahnya populasi sidat di hulu Sungai St Lawrence: Dari pertengahan 1980-an hingga pertengahan dasawarsa terakhir, jumlah sidat remaja di tempat itu menyusut hampir 100 persen. Wilayah yang meliputi sistem Sungai St Lawrence di bagian hulu serta Danau Ontario dan anak-anak sungainya merupakan tempat tumbuh kembang sidat yang terbesar di Amerika Utara, dan diperkirakan sidat betina saja pernah mencakup 50 persen dari biomassa ikan di perairan pantai.

Salah satu masalah yang dihadapi sidat adalah konstruksi awal bendungan listrik tenaga air Beauharnois dan Musa-Saunders, yang menghalangi migrasi ikan-ikan tersebut ke dan dari hulu sistem Sungai St Lawrence dan Danau Ontario. Bahkan seandainya pun seekor anak sidat, dengan bantuan tangga ikan, berhasil mencapai hulu sungai, ketika kemudian menuruni sungai ke hilir sebagai sidat dewasa, dia bisa saja tersedot ke dalam turbin pembangkit listrik bendungan. "Ada sidat yang berhasil keluar dengan kulit terkelupas, seperti kaus kaki yang dikelupas dari kaki," kata Doug Watts. Semakin besar sidat, semakin besar pula bahaya yang dihadapinya. Di Selandia Baru, tempat sidat sirip panjang (Anguilla dieffenbachii) tumbuh hingga sepanjang dua meter atau lebih, turbin bermakna kematian yang pasti.

Pada Februari 2007, FWS mengumumkan dalam laporan sepanjang 30 halaman bahwa pencantuman sidat Amerika dalam Undang-Undang Spesies Terancam Punah "tidak diperlukan," antara lain karena sejumlah sidat ternyata menghabiskan seluruh hidup mereka di muara yang berair asin. "Temuan itu pada dasarnya menyatakan, sidat tidak membutuhkan habitat air tawar untuk bisa bertahan hidup," kata Watts, sambil mengangkat kedua tangannya dengan putus asa. "Ini seperti mengatakan, elang botak tidak perlu pohon untuk bersarang—elang botak bisa menggunakan tiang telepon." Karena sidat selalu bisa ditemukan di mana-mana dan jumlahnya berlimpah, kata Watts, tak seorang pun tampaknya percaya bahwa mereka bisa punah. "Itulah yang mereka katakan tentang ikan cod belum lama ini di tahun 1990-an, ketika jumlahnya merosot tajam. ‘Tidak mungkin kita bisa kehabisan ikan cod hanya dengan memancingnya—itu usul yang tidak masuk akal!’ begitu kata mereka.” Dia berhenti sejenak. "Kita hanya bisa melindungi binatang sampai batas tertentu sebelum akhirnya benar-benar punah."!break!