Sidat Pengelana

By , Kamis, 2 September 2010 | 12:48 WIB

Ketika masih kecil, aku lebih sering bertemu dengan kata eel (sidat) dalam teka-teki silang atau permainan Scrabble (cara yang bagus untuk memasang lebih dari satu huruf “e”) daripada di alam liar dekat rumahku di Connecticut, AS. Namun, dalam bentuk darah dan daging, sidat tampak asing dan aneh, binatang yang tak bisa digolongkan—ular, mungkin, atau apa?— ketika aku dan teman-temanku yang tengah memancing ikan menangkap binatang itu secara tidak sengaja. Kami takut melepaskan kail dari mulutnya. Suatu hari, seorang lelaki tua yang sedang memancing di dekat kami mengatakan, binatang itu sejenis ikan. Andai pun ucapannya benar, sidat adalah ikan yang lain daripada yang lain.!break!

Selama sebagian besar hidupku, aku tak punya tidak banyak untuk memperhatikan sidat. Kemudian, enam tahun silam, ketika sedang menyusuri jalan raya Route 17 di Pegunungan Catskills, New York, pada suatu hari bulan November yang dingin, aku memutuskan untuk mengikuti papan nama yang mengatakan, "Hidangan Delaware, Rumah Asap." Setelah melewati tambang Cobleskill, menyusuri jalan tanah berliku-liku melalui hutan pohon hemlock (Tsuga canadensis) yang rindang, aku pun tiba di sebuah pondok kecil yang dilapisi tar kertas nan hitam, dengan cerobong asap yang keperakan. Pondok itu berada di tebing tinggi yang menghadap ke Cabang Timur Sungai Delaware. Seorang lelaki dengan janggut putih yang meruncing dan rambut diikat  ekor kuda (dia mirip boneka kayu) melompat dari balik pintu kayu lapis rumah asap. Namanya Ray Turner.

Setiap musim panas ketika sungai mendangkal, Turner—yang suka bicara berbelit-belit, tangguh, dan juga agak misterius—memperbaiki dan memperkuat dinding batu sebuah bubu berbentuk corong yang menyaring air melalui rak dari kayu yang dirancang untuk menjebak ikan. Dia memerlukan waktu hampir empat bulan untuk menyelesaikan alat itu. Itu adalah bagiand ari persiapannya menyambut perjalanan sidat yang berlangsung hanya dua malam pada bulan September, kira-kira pada malam hari saat bulan baru, ketika sidat yang mulai dewasa berenang menyusuri sungai menuju ke laut. Perjalanan itu sering kali bertepatan dengan banjir yang datang akibat angin kencang selama musim badai, ketika langit hitam pekat dan sungai mengalami pasang tertinggi. Sebagaimana yang diamati oleh Rachel Carson, sidat adalah makhluk “pencinta kegelapan.”

Kami mendayung kano ke arah hulu dari rumah Turner, menuju bubu tersebut. "Itu Si Botak (Haliaeetus leucocephalus)," katanya sambil menunjuk ke seekor elang botak yang terbang rednah berputar-putar, mengawasi perangkap, siap menyambar ikan sebelum Turner melakukannya. Di lembah yang luas itu, yang mengingatkan kita pada aliran lukisan Sungai Hudson, bubu sangat mengesankan sebagai karya seni lapangan. Turner membicarakannya dalam pengertian metafora. "Ini ibarat sebuah rahim," katanya, saat kami duduk bertengger di rak. "Yang itu kakinya." Dia menunjuk ke arah pemecah-air dari batu yang merentang secara diagonal di kedua sisi sungai. "Anda lihat? Bubu itu seperti seorang wanita. Semua kehidupan sungai datang menghampirinya ke situ.”

Apabila musim migrasi September itu bagus, Turner bisa menangkap hingga 2.500 ekor sidat. “Setiap tahun, sidat betina yang paling besar kulepaskan lagi ke sungai,” katanya (dengan asumsi sidat itu memang betina dan berhasil mencapai laut untuk memijah, dia bisa bertelur hingga 30 juta butir). Turner memasak sidat dengan asap panas dan menjualnya kepada tamu yang singgah, juga ke restoran dan pengecer; dari kegiatan itu dia memperoleh penghasilan hingga Rp200 juta setahun. “Aku menganggap sidat sebagai protein berkualitas terbaik dalam menuku—ikan dengan citarasa yang sangat unik, dengan asap pohon apel (Malus domestica), dan madu warna gelap yang dipanen di musim gugur. Semua ikan yang kuasap, trout dan salmon, dipijahkan di kolam pemijahan, kecuali sidat. Sidat adalah binatang liar. Mereka senang mencari makan sendiri.”!break!

Di rumah asap, Turner menunjukkan dua ruangan dari bata beton, tempat sidat—yang sudah dibersihkan dan direndam dalam garam, gula merah, dan madu lokal—digantungkan pada sejumlah batang yang melintang. Di belakang setiap ruangan terdapat tungku yang mampu menampung drum berkapasitas 200 liter yang berpintu di bagian depan dan memiliki lubang cerobong asap berpipa dua di bagian belakang. Setelah api menyala di dalam tungku, Turner mengarahkan hawa panas dan asap ke dalam ruangan, dan sidat dimatangkan pada suhu 70 hingga 80 derajat Celsius selama setidaknya empat jam.

Turner mengajakku masuk melalui pintu belakang, melewati tumpukan rapi kayu pohon apel yang sudah dibelah-belah dengan tangan, menuju ke sebuah tangki kayu, seperti tong anggur raksasa terbelah dua, yang tertutup lumut dan meneteskan air melalui bilah-bilahnya yang menggembung. Aku mengintip dari ram kawat yang mengelilingi tepi tangki, melihat ke dalam air tangki yang jernih. Turner mengaduk air itu dengan jaring, mengganggu ketenangan  sekitar 500 ekor sidat yang keperakan, kebanyakan diameternya kira-kira sebesar uang koin dan panjangnya sampai satu meter. Sidat-sidat itu lentur dan sensual—sungguh menakjubkan.

Sidat air tawar dari genus Anguilla adalah ikan purba. Sidat tersebut mulai ber-evolusi lebih dari 50 juta tahun lalu, bercabang menjadi 16 spesies dan tiga subspesies. Sebagian besar ikan yang bermigrasi, seperti salmon (Salmonidae) dan shad (Alosa), termasuk kelompok ikan anadromous, yakni memijah di air tawar dan setelah dewasa hidup di air asin. Sidat air tawar adalah salah satu dari sedikit ikan yang melakukan hal sebaliknya, pemijahan dilakukan di laut, lalu menghabiskan masa dewasa di danau, sungai, dan muara—pola kehidupan yang dikenal sebagai catadromy. Biasanya, sidat betina ditemukan di hulu sungai, sedangkan sidat jantan hidup di muara. Sidat dapat menghabiskan waktu puluhan tahun di sungai sebelum kembali ke laut untuk memijah, dan kemudian mati. Belum pernah ada yang menyaksikan pemijahan sidat air tawar dan bagi para ahli biologi sidat, memecahkan misteri reproduksi sidat masihlah tetap merupakan sesuatu yang sangat didambakan.

Dalam mata kuliah biologi, kita belajar bahwa sidat yang kami tangkap di sungai dan kolam berasal dari telur yang terbenam di dalam laut, terutama di Laut Sargasso, kawasan arus besar yang berputar searah jarum jam di bagian barat daya di Atlantik Utara—asumsi yang lebih memerlukan keyakinan daripada khayalan. Kita tahu bahwa sidat air tawar melakukan reproduksi di laut karena ditemukan larva terapung di dekat permukaan yang berjarak ribuan kilometer dari pantai. Larva sidat—makhluk berukuran kecil, transparan, berkepala tipis, dengan tubuh berbentuk seperti daun dedalu, dan gigi yang mengarah ke luar—semula dikira spesies yang berbeda dengan ikan, sampai tahun 1896 ketika dua orang ahli biologi Italia menyaksikan seekor larva bermetamorfosis menjadi sidat di dalam tangki.!break!

Sidat sangatlah gigih dalam upaya untuk kembali ke tempatnya bereproduksi di laut. Aku bisa berkata demikian berdasarkan pengalaman pribadi karena pernah mencoba memelihara beberapa sidat di dalam akuarium rumah. Pagi hari setelah malam pertama usahaku memelihara sidat tersebut, kutemukan belut-belut itu merayap di lantai dapur dan ruang tamu. Setelah memasang kawat kasa logam di atas tangki dan diberi batu pemberat, aku berhasil menahan ikan-ikan tersebut, tetapi tak lama kemudian mereka menggosok-gosokkan badan ke kawat kasa itu. Seekor mati ketika mencoba melarikan diri melalui saringan penguras. Ketika aku juga memasang kawat kasa di jalan keluar itu, sidat-sidat itu membentur-benturkan kepala ke kaca akuarium sampai tampak seperti kejang dan akhirnya mati. Saat itulah aku berhenti mencoba memelihara sidat.

Kemampuan sidat untuk bergerak memang menakjubkan. Sidat muncul di danau, kolam, dan lubang tempat menancapkan tiang, tanpa ada saluran yang jelas menuju ke laut, dan ini membuat orang yang penasaran menggeleng-gelengkan kepala. Pada malam yang basah, sidat diketahui menyeberangi tanah dari kolam ke sungai dalam jumlah ribuan sekaligus, saling menggunakan tubuh mereka yang lembap sebagai jembatan. Sidat muda pernah terlihat memanjat dinding tegak yang berlumut. Di Selandia Baru, orang sudah biasa melihat  kucing membawa sidat ke depan pintu rumah peternakan, setelah menangkapnya di padang rumput.

"Berapa banyak binatang yang sanggup hidup di beberapa habitat yang begitu berbeda?” David Doubilet menerawang sambil memotret sidat di Selandia Baru, berdiri dalam sungai setinggi lutut yang mendapatkan airnya di musim semi, selada air bergelantungan dari masker dan snorkel-nya. "Makhluk ini lahir di kedalaman laut yang paling gelap, tapi di sini kita menemukannya hidup di padang rumput peternakan bersama sapi."

Petani Prancis di Normandia mengatakan bahwa sidat meninggalkan sungai pada malam musim semi dan menemukan jalan ke ladang sayuran untuk makan kacang polong. Itu memang dongeng, tetapi sidat adalah satu-satunya ikan yang mau muncul dari air untuk menyambar makanan yang diberikan—ikan tuna kalengan atau makanan anjing—di tepi sungai. Aku pernah melihat sidat melakukannya di tempat pemberian makan sidat suku Maori yang sakral di Selandia Baru. Di alam liar, makanan sidat sangat beragam—mulai dari serangga air, ikan hingga kerang dan sidat lainnya.!break!

Dengan mengesampingkan kemampuan adaptasi, migrasi jutaan sidat dewasa dari sungai menyeberangi lautan pastilah merupakan salah satu perjalanan paling hebat yang tak terlihat, yang dilakukan makhluk di planet ini, menyeberangi jarak ribuan kilometer. Di sepanjang perjalanan, sidat menghadapi banyak sekali bahaya: bendungan listrik tenaga air, pembelokan aliran sungai, polusi, penyakit, menjadi mangsa (antara lain oleh ikan bass bergaris - Morone saxatilis, paus beluga - Delphinapterus leucas, dan cormorants - Phalacrocorax), dan bahaya yang semakin meningkat, yakni ditangkap manusia. Sekarang ditambah dampak perubahan iklim, bencana lain mungkin mengintai: pergeseran arus laut yang mungkin membingungkan sidat selama bermigrasi. Sayangnya, meskipun istimewa menurut sebagian orang, boleh dikatakan masih belum tepat waktunya sidat dijadikan poster bagi gerakan pelestarian.

Dari Aristoteles hingga Pliny the Elder, dari Izaak Walton hingga Carl Linnaeus, para pakar hayati mengajukan berbagai teori tentang cara sidat tumbuh berkembang: bahwa anak sidat menyeruak dari lumpur, bahwa sidat berkembang biak dengan menggosok-gosokkan badannya ke batuan, bahwa sidat lahir dari embun tertentu yang jatuh di bulan Mei dan Juni, bahwa sidat melahirkan anak. Satu yang jadi masalah, belum pernah ada yang bisa mengidentifikasi sperma atau telur pada sidat. Selama 40 tahun di akhir tahun 1700-an, di sebuah penangkaran sidat terkenal di Comacchio, Italia, lebih dari 152 juta ekor sidat dewasa yang bermigrasi ditangkap dan dibersihkan, dan tidak seekor pun berisi telur. Tidak seorang pun yang saat itu bisa mengatakan dengan pasti apakah sidat memiliki jenis kelamin karena tidak ada seorang pun bisa mengidentifikasi organ reproduksinya (ternyata organ seks sidat membesar karena diisi telur dan sperma, hanya setelah sidat dewasa meninggalkan muara sungai untuk melakukan pemijahan di laut dan menghilang dari pengamatan manusia).

Pada akhir 1800-an di Trieste, Italia, seorang mahasiswa kedokteran bernama Sigmund Freud ditugasi menyelidiki testis sidat jantan yang diperkirakan berupa simpai (lingkaran) benda putih yang berada di dalam rongga tubuh (makalah Freud tentang sidat adalah karya pertamanya yang dipublikasikan). Hal ini dikonfirmasikan pada 1897 ketika seekor sidat jantan yang secara seksual sudah dewasa tertangkap di Selat Messina.

Pada 1904, Johannes Schmidt, pakar kelautan dan ahli biologi yang masih muda berkebangsaan Denmark, mendapat pekerjaan di atas kapal Thor, kapal penelitian Denmark, untuk mengkaji pola reproduksi ikan yang sering dimakan orang seperti ikan cod dan ikan haring. Pada suatu hari di musim semi itu, larva sidat Eropa, Anguilla anguilla, terjaring dalam salah satu pukat kapal ekspedisi di sebelah barat Kepulauan Faroe. Apakah mungkin sidat yang hidup di sungai Denmark melakukan pemijahan jauh di tengah Samudra Atlantik?!break!

Setahun sebelumnya, Schmidt melakukan sesuatu yang sebetulnya bisa berujung pada pertunangan menguntungkan dengan ahli waris Carlsberg Brewery, sebuah perusahaan Denmark yang begitu dermawan memberikan sumbangan untuk penelitian laut. Dengan dilengkapi perahu layar yang mampu mengarungi laut, Schmidt mengumpulkan data yang menunjukkan bahwa semakin jauh dari pantai Eropa, semakin kecil sidat yang ditemukan. Schmidt menegaskan bahwa sidat pastilah melakukan pemijahan di bagian barat daya Atlantik Utara, di Laut Sargasso. "Tidak ada contoh lain yang dikenal di antara spesies ikan yang membutuhkan seperempat lingkar Bumi untuk melengkapi sejarah hidupnya," begitu tulis Schmidt pada 1923. "Migrasi larva sejauh dan selama itu... benar-benar unik di dunia hewan."

Setelah Schmidt meninggal pada 1933, beberapa ilmuwan menyanggah teori Sargasso yang dikemukakannya. Mereka menunjukkan bahwa Schmidt menyembunyikan data tertentu agar teorinya lebih masuk akal, dan mereka mempertanyakan bagaimana dia bisa menyatakan bahwa kawasan itu adalah satu-satunya tempat sidat berkembang biak, padahal dia belum pernah menyaksikan sendiri proses penetasan dan boleh dikatakan tidak pernah mencari sidat di tempat lain. Namun, kecaman tersebut tidak sedikit pun menepiskan cerita mengesankan tentang sidat yang dikemukakan Schmidt yang tampaknya masih tetap benar.

Pada tahun 1991, sebuah ekspedisi yang dipimpin oleh Katsumi Tsukamoto dari Institut Penelitian Atmosfer dan Lautan  University of Tokyo yang juga menyertakan Michael Miller, yang saat itu masih mahasiswa pascasarjana University of Maine, melakukan terobosan baru. Pada suatu malam yang gelap di Samudera Pasifik di sebelah barat Guam, tim itu menemukan ratusan larva sidat Jepang, Anguilla japonica, yang baru beberapa hari menetas, sehingga menemukan daerah pemijahan spesies tersebut untuk pertama kalinya. Sembilan belas tahun kemudian, Tsukamoto dan Miller masih terus menjelajahi lautan untuk mencari sidat yang sedang memijah.

Ketika aku menemui Miller di kantornya di Tokyo, dengan gemas dia menceritakan bahwa dia dan Tsukamoto nyaris menemukan induk sidat Jepang. Namun, "Kita bisa saja hanya berjarak 50 meter dan tidak menemukan apa-apa.  Ini masalah skala—lautan begitu luas. Untuk menemukan tempat pemijahan sidat, probabilitas statistiknya sangat rendah. Nyaris mustahil,” katanya. Apalagi, dia menambahkan, setiap tahun saat dia dan Tsukamoto melakukan pencarian, mereka selalu mengalami cuaca buruk. " Setiap ekspedisi untuk meneliti sidat selalu diterjang topan yang menyebabkan kami terpaksa mengubah arah. Tampaknya Dewa Poseidon berusaha menjaga rahasia sidat."!break!

Itulah kecantikan terindah yang kutemukan pada sidat: pemikiran tentang makhluk yang awal kehidupannya dapat tetap tersembunyi dari mata manusia. Jadi, semakin sulit bagiku untuk menerima pendapat bahwa kita mungkin bisa kehilangan makhluk tersebut sebelum siklus kehidupannya dapat kita ketahui. Populasi sidat Amerika, Eropa, dan Jepang semuanya semakin susut, beberapa di antaranya dengan sangat drastis. Sebagaimana yang dikemukakan oleh John Casselman, ahli biologi di Queen's University di Kingston, Ontario, "Ini benar-benar keadaan genting. Kegentingan yang memprihatinkan."

Pada November 2004, dua bersaudara, Doug Watts, seorang wartawan lepas yang tinggal di Augusta, Maine, dan Tim Watts, seorang petugas kebersihan di sebuah perguruan tinggi di Easton, Massachusetts, mengajukan petisi kepada US Fish and Wildlife Service (FWS) untuk mencantumkan sidat Amerika, Anguilla rostrata, sebagai spesies yang terancam punah (threatened), atau bahkan genting (endangered). Mereka termotivasi oleh dokumentasi Casselman tentang nyaris punahnya populasi sidat di hulu Sungai St Lawrence: Dari pertengahan 1980-an hingga pertengahan dasawarsa terakhir, jumlah sidat remaja di tempat itu menyusut hampir 100 persen. Wilayah yang meliputi sistem Sungai St Lawrence di bagian hulu serta Danau Ontario dan anak-anak sungainya merupakan tempat tumbuh kembang sidat yang terbesar di Amerika Utara, dan diperkirakan sidat betina saja pernah mencakup 50 persen dari biomassa ikan di perairan pantai.

Salah satu masalah yang dihadapi sidat adalah konstruksi awal bendungan listrik tenaga air Beauharnois dan Musa-Saunders, yang menghalangi migrasi ikan-ikan tersebut ke dan dari hulu sistem Sungai St Lawrence dan Danau Ontario. Bahkan seandainya pun seekor anak sidat, dengan bantuan tangga ikan, berhasil mencapai hulu sungai, ketika kemudian menuruni sungai ke hilir sebagai sidat dewasa, dia bisa saja tersedot ke dalam turbin pembangkit listrik bendungan. "Ada sidat yang berhasil keluar dengan kulit terkelupas, seperti kaus kaki yang dikelupas dari kaki," kata Doug Watts. Semakin besar sidat, semakin besar pula bahaya yang dihadapinya. Di Selandia Baru, tempat sidat sirip panjang (Anguilla dieffenbachii) tumbuh hingga sepanjang dua meter atau lebih, turbin bermakna kematian yang pasti.

Pada Februari 2007, FWS mengumumkan dalam laporan sepanjang 30 halaman bahwa pencantuman sidat Amerika dalam Undang-Undang Spesies Terancam Punah "tidak diperlukan," antara lain karena sejumlah sidat ternyata menghabiskan seluruh hidup mereka di muara yang berair asin. "Temuan itu pada dasarnya menyatakan, sidat tidak membutuhkan habitat air tawar untuk bisa bertahan hidup," kata Watts, sambil mengangkat kedua tangannya dengan putus asa. "Ini seperti mengatakan, elang botak tidak perlu pohon untuk bersarang—elang botak bisa menggunakan tiang telepon." Karena sidat selalu bisa ditemukan di mana-mana dan jumlahnya berlimpah, kata Watts, tak seorang pun tampaknya percaya bahwa mereka bisa punah. "Itulah yang mereka katakan tentang ikan cod belum lama ini di tahun 1990-an, ketika jumlahnya merosot tajam. ‘Tidak mungkin kita bisa kehabisan ikan cod hanya dengan memancingnya—itu usul yang tidak masuk akal!’ begitu kata mereka.” Dia berhenti sejenak. "Kita hanya bisa melindungi binatang sampai batas tertentu sebelum akhirnya benar-benar punah."!break!

Sidat yang berhasil mengatasi bendungan mungkin tidak berhasil menghadapi pemangsa utama di muka Bumi. Perdagangan internasional yang terutama dikendalikan oleh selera orang Jepang untuk menikmati sidat panggang, kabayaki, adalah industri bernilai triliunan rupiah. Di Jepang, sidat diyakini dapat meningkatkan stamina dalam cuaca panas dan Doyo Ushi No Hi , hari sidat, biasanya jatuh pada akhir Juli. Selama bulan tersebut pada tahun 2009, di pasar hidangan laut Tsukiji yang terkenal di Tokyo, lebih dari 50.000 kilogram sidat segar dijual. Sidat hampir selalu disantap di restoran yang hanya menyajikan menu sidat karena sulitnya membersihkan dan memasaknya. Sidat tidak pernah disajikan mentah: darahnya mengandung racun saraf yang dinetralkan ketika sidat dimasak atau diasap (serum darah sidat dalam jumlah kecil yang disuntikkan ke kelinci menyebabkan kelinci itu kejang dan mati seketika).

Sidat dipanggang pada tusuk bambu di atas api kayu yang panas, berulang kali dicelupkan ke dalam air, dan kembali ke api yang mengukus dagingnya. Kemudian, daging sidat itu diolesi saus kedelai, mirin (arak beras manis), dan gula, lalu ditaburi sansho, merica gunung. Hidangan tersebut, biasanya seekor sidat dibelah dan ditaruh di atas selapis nasi di dalam kotak bercat hitam mengilap dengan bagian dalam berwarna merah, disebut unaju. Tidak ada bagian tubuh sidat yang mubazir. Hati sidat disajikan dalam sup, dan tulang belakangnya digoreng kering dan dimakan seperti keripik. Meskipun merupakan bagian dari dongeng makanan Jepang, konon di Tokyo sidat dibelah sepanjang punggungnya agar tidak meniru gerakan harakiri, yakni upacara bunuh diri prajurit samurai yang menggunakan pisau untuk merobek perut. Di Kyoto yang jumlah samurainya lebih sedikit, sidat dibelah sepanjang perutnya. Orang Kyoto mengatakan, perempuan di kota mereka memiliki kulit yang indah karena sering makan sidat. Memang, daging sidat kaya vitamin A dan E dan karena mengandung kadar asam lemak omega-3 yang tinggi, ternyata sidat dapat membantu mencegah diabetes tipe 2.

Sidat yang disajikan di sebuah restoran di Manhattan mungkin ditetaskan di Samudra Atlantik, terjaring di muara sungai di wilayah Basque, Prancis, diterbangkan ke Hong Kong, dibesarkan di peternakan di dekat Provinsi Fujian atau Guangdong, dibersihkan, dipanggang, dan dikemas di sejumlah pabrik di dekat penangkaran, dan akhirnya diterbangkan ke New York. Mempersiapkan sidat untuk dijual biasanya dengan menangkap sidat yang masih bayi—disebut sidat kaca karena transparan—ketika anak-anak sidat itu tiba di air tawar dari laut, lalu dikirim ke penangkaran skala besar di China untuk digemukkan. Perdagangannya masih tetap bergantung pada penangkapan sidat di alam liar karena belum ada orang yang mengetahui cara membudidayakan sidat secara menguntungkan di penangkaran.

Di AS kurun 1970-an—ketika akuakultur berkembang pesat di China—menangkap sidat untuk memenuhi pasar Asia dilakukan dengan gencar dari Januari hingga Juni di setiap negara bagian di Pantai Timur. Pat Bryant dari Nobleboro, Maine, adalah salah satu orang pertama di negara bagian itu yang menangkap sidat kaca untuk diekspor ke China. Pada siang hari, Pat menjalankan bisnis salon di kota pesisir Damariscotta dan pada malam hari, untuk mendapatkan uang ekstra, dia pergi ke muara Sungai Pemaquid untuk memeriksa jaringnya.!break!

Kegiatan komersial di Maine tumbuh pesat sejak pertengahan 1980-an hingga pertengahan 1990-an ketika lebih dari 1.500 nelayan berizin masing-masing bisa mendapatkan beberapa ribu dolar semalam di dermaga dari hasil tangkapan mereka. Orang mulai mencuri dan merusak jaring nelayan lain dan mengokang pistol Magnum kaliber 0,357 untuk menjaga atau melestarikan wilayah penangkapan sidat. Di sebatang sungai, para nelayan menebar jaring yang disebut raksasa hijau. "Jaring itu terentang di sepanjang sungai," kata Bryant dengan suaranya yang parau, sambil mematikan puntung rokoknya ke cangkang kerang. "Ini adalah bencana menyebalkan."  Dia dan beberapa orang lainnya mengajukan permohonan kepada negara, "hanya untuk menjaga bisnis kami." Sekarang, penangkapan sidat yang diizinkan di Maine—negara bagian yang industri perikanannya paling aktif—dibatasi hanya di beberapa lokasi dengan musim yang pendek, dari 22 Maret hingga 31 Mei.

Pada 1997, rekor terendah hasil tangkapan sidat kaca Jepang yang bernilai tinggi menyebabkan harganya melambung tinggi—satu kilo (2,2 pon) yang berisi sekitar 5.000 ekor dijual dengan harga sekitar Rp160 juta, menjadikan sidat lebih berharga daripada emas pada saat itu. Ketika pasokan sidat kaca Jepang merosot tajam, harga sidat kaca Amerika untuk waktu singkat meningkat 10 kali lipat—demam emas sidat, begitu Bryant menyebutnya. Para pecinta kuliner Jepang tidak menyukainya. "Sidat Amerika tidak enak," kata Shoichiro Kubota, pengelola sebuah restoran sidat yang sudah berusia 120 tahun di distrik Akihabara di Tokyo (ayahnya adalah pengurus sidat untuk Kaisar Hirohito). "Bahkan sidat Prancis pun tidak enak—seperti buah ceri Amerika. Tidak enak. Kami menyukai makanan yang berasal dari negeri kami sendiri."

Bryant membeli sidat kaca dari nelayan di sepanjang pantai Maine dan memeliharanya di dalam beberapa tangki dekat rumahnya sampai sidat-sidat itu siap dikapalkan dari Boston ke Hong Kong, dalam keadaan hidup, di dalam kantong plastik yang diisi dengan air beroksigen dan dikemas dalam wadah styrofoam. Hingga baru-baru ini, Jonathan Yang, pedagang dari Taiwan, adalah perantara antara Bryant dan para peternak sidat di China dan Taiwan, membeli sidat darinya dengan harga kiloan dan menjualnya per satuan sidat. Yang membayar tunai, biasanya mengirimkan satu juta dolar ke bank di Maine pada akhir musim.

Ketika penjualan sedang bagus, Yang berhasil mendapatkan keuntungan seratus persen, tetapi lebih sering dia harus menerima keuntungan kecil. "Ini adalah bisnis yang sangat besar, sangat berisiko," katanya. Jika harga sidat dewasa jatuh terjerembab selama 14-18 bulan masa membesarkan sidat kaca sampai bisa dijual, pembelinya di China bisa bangkrut. "Ketika penjualan dari peternakan melambung tinggi—mereka semua mengemudikan Mercedes-Benz," kata Yang. "Pada saat harga merosot tajam—mereka naik sepeda."!break!

Sebelum mulai menekuni bisnis sidat, Yang mengelola bisnis lain yang menguntungkan, yakni penjualan sirip hiu di Cina untuk dibuat sup. Dia berhenti menjalankan bisnis itu ketika menyaksikan lumba-lumba, yang tertangkap tanpa disengaja pada rawai, lalu diseret ke atas kapal, dipukuli sampai mati, lalu dibuang kembali ke laut. "Ketika lumba-lumba itu diseret ke atas kapal," kata Yang, "kita pasti tahu bahwa mereka menangis—kita bisa melihat air matanya." Dia meletakkan tangannya di dada. "Saat melihat sidat, aku merasa baik-baik saja. Ketika bergerak-gerak, sidat tampak sangat menarik.”

Seperti Jonathan Yang, aku mendapatkan perasaan menyenangkan saat melihat sidat. Waktu yang kuluangkan bersama mereka, terutama selama migrasi musim gugur, terasa berdenyut penuh energi. Ketika berdiri di bendungan Ray Turner pada suatu malam yang sejuk di bulan September pada malam bulan baru, menyaksikan iring-iringan sidat yang laksana seutas tambang mengisi wadah yang terbuat dari kayu dan batu, rasanya aku bisa mempercayai cerita suku Maori tentang pertemuan mereka dengan taniwha—dewa atau rakasa penjaga air. Bagi masyarakat pribumi di seluruh Kepulauan Polinesia, sidat adalah dewa yang menggantikan ular dalam mitos penciptaan, sumber makanan yang penting, dan lambang erotisme—kata yang sering digunakan oleh penduduk pulau untuk menyebut sidat adalah tuna, bersinonim dengan "penis." Dalam salah satu mitos Maori, sidat berasal dari langit, jatuh ketika langit menjadi terlalu panas dan tidak nyaman bagi mereka. Di Bumi, kata beberapa orang Maori, gerakan sidat membuat sungai mengalir. Sidat merupakan bagian yang penting dari segala hal.

Kita membiarkan diri percaya bahwa kita dapat memahami alam dengan mengatur dan menjelaskannya melalui sistem taksonomi dan kajian komputer tentang gen dan DNA, mengelompokkan semuanya ke dalam kategori yang tertib. Dengan berlalunya tahun demi tahun, para peneliti meneropong semakin jauh ke dalam kehidupan sidat yang penuh misteri; pada 2006 dan sekali lagi pada 2008, para ilmuwan melepas sidat dewasa yang dilengkapi dengan pening dari pantai barat Irlandia dan Prancis, dengan harapan dapat melacak mereka sampai ke Laut Sargasso. Namun, "pengetahuan," seiring kita menggalinya (yang selalu tersedia, di ujung jari kita), dapat menghambat imajinasi dan keindahan yang dapat berasal dari hasil pengamatan kita sendiri. Sidat—dengan bentuknya yang bersahaja, kesukaannya untuk hidup dalam kegelapan, keanggunannya—telah membantuku merangkul misteri dan meraih hakikat pengalaman yang tidak dapat disusun dalam katalog atau diukur. Mereka membantuku sadar kembali. Tekanan besar yang dialami sidat saat ini akan menguji kemampuan ikan itu dalam beradaptasi dan bertahan hidup. Pemandu Maori Daniel Joe berbicara tentang daya tahan sidat di saat kami duduk di dekat api unggun di Sungai Waipunga. "Sidat adalah ikan purba, dan benar-benar tak kenal lelah," kata Joe. "Sidat adalah morehu," makhluk tahan banting. "Kurasa mereka akan berada di Bumi sampai dunia berakhir."

Mudah-mudahan saja perkiraannya benar.