Menjinakkan Satwa Liar

By , Jumat, 25 Februari 2011 | 13:24 WIB

Ketika kedua bersaudara ini mengabaikan larangan itu dan terus melakukan penelitian genetika, Belyaev dipecat dari jabatannya sebagai direktur Departemen Pemuliaan Hewan Berbulu. Nasib Nikolay lebih tragis: Ia dibuang ke kamp kerja paksa, tempat ia akhirnya meninggal dunia.

Diam-diam, Belyaev tetap berkecimpung dalam ilmu genetika, menyamarkan pekerjaannya sebagai penelitian fisiologi hewan. Dia terutama terobsesi dengan misteri munculnya keragaman anjing yang luar biasa dari nenek moyang serigalanya. Jawabannya, dia yakin, pasti berada pada tingkat molekuler. Tetapi, bahkan di luar Uni Soviet sekalipun, pada 1950-an, teknologi pengurutan genom hewan—dan dengan demikian usaha memahami perubahan gen sepanjang sejarah—masih merupakan hal yang mustahil. Jadi Belyaev memutuskan untuk mereproduksi sejarahnya sendiri. Rubah perak, sesama Canidae dan sepupu dekat anjing yang tidak pernah dijinakkan, tampak sebagai pilihan yang sempurna.

Pekerjaan pertama Lyudmila Trut sebagai mahasiswa pascasarjana, pada tahun 1958, adalah melakukan perjalanan keliling ke berbagai peternakan kulit bulu di Soviet dan memilih rubah paling tenang yang bisa ditemukannya, untuk menjadi populasi dasar bagi percobaan Belyaev. Larangan penelitian genetik mulai mengendor sejak kematian Stalin pada tahun 1953, dan Belyaev mendirikan lab di Siberia di Lembaga Sitologi dan Genetika yang baru. Namun, dia berhati-hati mendeskripsikan penelitian itu hanya dengan istilah fisiologi, menghindari penyebutan gen. Trut ingat ketika pemimpin Uni Soviet Nikita Khrushchev datang untuk menginspeksi lembaga itu, dia berkata, "Apa, para genetikus itu masih ada? Belum habis juga?" Dilindungi oleh politik hati-hati bos Belyaev serta tulisan wartawati putri Khrushchev yang memberi angin kepada genetika, percobaan peternakan rubah diam-diam dimulai.!break!

Pada tahun 1964, generasi keempat sudah mulai memenuhi harapan para peneliti. Trut masih ingat saat pertama kali melihat rubah yang mengibaskan ekornya ketika dia mendekat. Tak lama kemudian, rubah yang terjinak sudah sangat mirip dengan anjing. Hewan itu melompat ke pelukan peneliti dan menjilati wajah mereka. Terkadang tingkat kejinakan hewan itu bahkan mengejutkan para peneliti. Pernah, pada 1970-an, seorang pegawai membawa pulang sebentar salah seekor rubah sebagai hewan peliharaan. Ketika Trut mengunjunginya, dilihatnya pegawai tersebut membawa rubahnya jalan-jalan tanpa rantai, "seperti anjing. Saya berkata 'Jangan begitu, nanti bisa hilang, itu kan milik lembaga!'" ingatnya. "Dia berkata 'coba lihat,' kemudian dia bersiul dan memanggil , 'Coca!' Rubah itu langsung datang."

Pada saat bersamaan, semakin banyak rubah yang mulai menunjukkan tanda fenotipe domestikasi: telinga terkulai bertahan semakin lama dalam pertumbuhannya dan muncul bintik putih yang khas pada bulunya. "Pada awal 1980-an, kami melihat semacam ledakan perubahan pada penampilan luar," ujar Trut. Penelitian ini diperluas sehingga mencakup tikus pada tahun 1972, diikuti oleh musang dan—untuk periode singkat—berang-berang. Berang-berang ternyata sulit dikembangbiakkan dan percobaan ini akhirnya dihentikan, tetapi para ilmuwan berhasil membentuk perilaku dua spesies lainnya yang sama dengan rubah.

Namun, pada saat teknologi genetik baru mulai tersedia untuk mencapai tujuan akhir Belyaev, yaitu melacak hubungan ciri domestikasi dengan DNA hewan, proyek ini mengalami masa sulit. Dengan runtuhnya Uni Soviet, dana ilmiah mulai terpangkas, dan para peneliti tak bisa berbuat banyak di luar menjaga agar populasi rubah ini tetap hidup. Ketika Belyaev meninggal karena kanker pada tahun 1985, Trut mengambil alih penelitian ini dan berjuang agar tetap didanai. Tetapi pada awal abad ke-21, dia terancam harus menghentikan percobaan ini.

Pada saat yang hampir bersamaan, Anna Kukekova, peneliti genetika molekuler pascadoktoral kelahiran Rusia di Cornell, membaca tentang kesulitan proyek ini. Dia telah lama takjub dengan hasil penelitian peternakan rubah ini, dan sekarang memutuskan untuk memfokuskan penelitiannya ke eksperimen tersebut. Dengan bantuan dari Gordon Lark di University of Utah serta hibah dari National Institutes of Health (NIH), ia ikut terjun ke dalam usaha Trut untuk mencoba dan menuntaskan penelitian yang dimulai Belyaev.!break!

Ternyata, tidak semua rubah di peternakan di Novosibirsk seramah Mavrik. Di seberang jalan kecil tempat Mavrik dan teman-teman rubahnya yang jinak, terdapat bangsal identik yang penuh kerangkeng kawat, masing-masing dihuni oleh yang disebut peneliti sebagai "rubah agresif." Untuk mempelajari aspek biologi kejinakan, para ilmuwan perlu menciptakan sekelompok binatang yang jelas tidak jinak. Jadi, seperti kebalikan dari rubah ramah, kirik rubah pada populasi agresif ini dinilai berdasarkan perilaku permusuhannya. Hanya yang paling agresif yang dibiakkan untuk generasi selanjutnya. Inilah kembaran jahat Mavrik si penggoyang ekor, langsung diambil dari film horor murahan: mendesis, mengernying, menggigit bagian depan kerangkengnya setiap ada orang yang mendekat.

"Coba Anda perhatikan rubah ini," ujar Trut sambil menunjuk ke salah satu makhluk menggeram di dekatnya. "Dapat Anda lihat sendiri betapa agresifnya. Betina ini berasal dari induk agresif tetapi dibesarkan oleh induk yang jinak." Pemindahan ini, karena induk agresif tidak dapat menyusui anaknya, secara kebetulan membuktikan sesuatu: Respons rubah terhadap manusia lebih dipengaruhi bibit daripada bebet atau lingkungannya. "Di sini," ujarnya, "genetiklah yang menyebabkan perubahan."

Namun, pencarian jejak-genetik yang menyebabkan penjinakan ternyata sangat rumit. Pertama, peneliti perlu menemukan gen yang menentukan perilaku ramah dan agresif. Namun, sifat umum seperti itu sebenarnya gabungan dari ciri-ciri yang lebih spesifik—rasa takut, keberanian, sifat pasif, rasa ingin tahu—yang harus dipisahkan, diukur, dan ditelusuri ke gen tertentu atau kelompok gen yang bekerja bersamaan. Setelah gen-gen tersebut diketahui, para peneliti dapat menguji apakah gen yang memengaruhi perilaku juga menyebabkan telinga terkulai dan berbulu belang serta fitur lainnya yang menjadi ciri spesies peliharaan. Salah satu teori para ilmuwan di Novosibirsk adalah bahwa gen menentukan perilaku binatang dengan mengubah bahan kimia di otaknya. Perubahan kimia saraf itu, pada gilirannya, memiliki dampak "hilir" pada penampilan fisik hewan.

Sementara ini, Kukekova berfokus pada langkah pertama: menghubungkan perilaku jinak dengan gen. Menjelang akhir setiap musim panas, ia melakukan perjalanan dari Cornell ke Novosibirsk untuk mengevaluasi kirik rubah baru yang lahir tahun itu. Setiap interaksi peneliti dengan kirik distandarkan dan direkam: membuka kandang, mengulurkan tangan ke dalam, menyentuh rubah. Kemudian, Kukekova mengkaji rekamannya, menggunakan ukuran objektif untuk mengukur postur rubah, vokalisasi, dan perilaku lainnya. Data tersebut dikombinasikan dengan silsilah—catatan yang merekam asal-usul rubah jinak, agresif, dan "persilangan" (yang induk dan bapaknya berbeda kelompok).!break!

Tim peneliti gabungan Amerika-Rusia kemudian mengekstrak DNA dari sampel darah setiap rubah untuk meneliti dan mencari perbedaan mencolok pada genom hewan yang dinilai agresif atau jinak berdasarkan observasi perilaku tersebut. Dalam makalah di jurnal Behavior Genetics yang sedang naik cetak, kelompok ini melaporkan temuan dua daerah yang sangat berbeda pada kedua jenis perilaku tersebut, dan dengan demikian mungkin menjadi lokasi gen kunci domestikasi. Kian hari, kian terlihat bahwa domestikasi tidak disebabkan oleh satu gen saja, tetapi oleh perubahan sekumpulan gen. "Domestikasi," simpul makalah itu, "tampaknya merupakan fenotipe yang sangat kompleks."