Menjinakkan Satwa Liar

By , Jumat, 25 Februari 2011 | 13:24 WIB

"Halo! Apa kabar?" ujar Lyudmila Trut, sambil menjangkau ke bawah untuk membuka selot pintu kandang kawat berlabel "Mavrik". Kami berdiri di antara dua baris panjang kandang seragam di sebuah peternakan tak jauh di luar kota Novosibirsk, Siberia selatan, dan sapaan pakar biologi berumur 76 tahun itu tidak ditujukan kepada saya tetapi kepada penghuni kandang itu yang berbulu. Walaupun saya tidak bisa berbahasa Rusia, saya mengenali nada sayang dalam suaranya yang digunakan pemilik anjing saat berbicara kepada peliharaannya.

Mavrik, objek perhatian Trut, seukuran anjing gembala Shetland, dengan bulu jingga sarangan dan oto putih di bagian depan tubuhnya. Dia membalas dengan memainkan perannya: mengibaskan ekor, berguling-guling, mendengus penuh semangat karena dikunjungi. Di kandang lain yang berjajar di kedua sisi bangsal sempit tak berdinding itu, puluhan Canidae melakukan hal yang sama, menyalak riuh rendah tak terkendali. "Seperti yang kita lihat," ujar Trut di tengah hiruk-pikuk itu, "semuanya ingin dekat dengan manusia." Namun, hari ini Mavriklah yang beruntung. Trut menjulurkan tangan dan mengangkatnya, lalu menyerahkannya kepada saya. Hewan yang saya gendong dan menggigit tanganku dengan lembut itu sama jinaknya dengan anjing-piaraan kecil mana pun.

Tetapi, Mavrik sebetulnya sama sekali bukan anjing. Dia rubah. Tersembunyi di lahan yang tak terawat ini, di tengah hutan pohon perak dan terkungkung gerbang besi berkarat, ia dan beberapa ratus anggota keluarganya merupakan populasi rubah perak domestikasi satu-satunya di dunia. (Kebanyakan memang berbulu perak atau abu-abu gelap; bulu Mavrik yang berwarna sarangan jarang ada.) Dan yang saya maksud "domestikasi" bukanlah ditangkap kemudian dijinakkan, atau dibesarkan oleh manusia dan kemudian melalui makanan belajar menenggang belaian manusia sesekali. Yang saya maksud adalah dibiakkan untuk menjadi peliharaan, sejinak kucing atau anjing peliharaan Anda. Bahkan, ujar Anna Kukekova, peneliti Cornell yang mempelajari rubah, "bagi saya hewan ini sangat mirip dengan golden retriever, yang pada dasarnya tidak tahu bahwa ada orang baik, orang jahat, orang yang pernah mereka temui sebelumnya, dan orang yang belum pernah mereka temui." Rubah ini memperlakukan semua manusia sebagai calon teman, sebuah perilaku yang merupakan hasil percobaan pemuliaan yang dianggap sebagian pihak paling luar biasa.

Ini dimulai lebih dari setengah abad lalu, ketika Trut masih mahasiswa pascasarjana. Dipimpin seorang ahli biologi bernama Dmitry Belyaev, para peneliti di Lembaga Sitologi dan Genetika tak jauh dari situ mengumpulkan 130 rubah dari peternakan kulit bulu. Mereka kemudian membiakkannya dengan tujuan menciptakan-ulang evolusi serigala menjadi anjing, transformasi yang mulai terjadi lebih dari 15.000 tahun yang lalu.!break!

Pada setiap generasi kirik rubah, Belyaev dan rekan-rekannya menguji reaksinya terhadap kontak manusia, memilih yang paling ramah untuk pembiakan generasi selanjutnya. Pada pertengahan 1960-an, eksperimen itu berhasil melebihi yang dapat dibayangkannya. Mereka menghasilkan rubah seperti Mavrik, yang bukan hanya tidak takut terhadap manusia, tetapi berusaha menjalin kedekatan dengan manusia. Timnya bahkan mengulangi kesuksesan percobaan itu pada dua spesies lain, musang dan tikus. "Satu hal penting yang ditunjukkan Belyaev adalah skala waktu," ujar Gordon Lark, pakar biologi University of Utah yang meneliti genetika anjing. "Jika Anda memberi tahu saya bahwa rubah itu mendekat untuk mengendus Anda di bagian depan kandang, saya akan berkata itulah yang saya perkirakan. Namun, bahwa hewan itu bisa akrab dengan manusia sedemikian cepat... wow."

Ajaibnya, Belyaev berhasil memampatkan domestikasi ribuan tahun menjadi hanya beberapa tahun. Tetapi, dia tidak hanya ingin membuktikan bahwa dia dapat membuat rubah yang ramah. Dia merasa bahwa dia bisa menggunakannya untuk memecahkan misteri domestikasi pada tingkat molekuler. Hewan domestikasi diketahui memiliki seperangkat karakteristik yang sama, fakta yang didokumentasikan Darwin dalam The Variation of Animals and Plants Under Domestication. Hewan peliharaan cenderung lebih kecil, dengan telinga lebih terkulai dan ekor yang lebih melingkar daripada nenek moyangnya yang liar. Ciri-ciri tersebut cenderung membuat hewan itu tampak muda di mata manusia. Kadang-kadang ada yang berbulu belang—piebald, istilah ilmiahnya—sementara bulu nenek moyangnya yang liar berwarna polos. Ciri ini serta yang lainnya, kadang disebut sebagai fenotipe domestikasi, muncul dalam berbagai tingkatan pada banyak spesies, mulai dari anjing, babi, dan sapi hingga beberapa hewan bukan mamalia seperti ayam, dan bahkan beberapa jenis ikan.

Belyaev menduga bahwa saat rubah menjadi hewan peliharaan, hewan ini mungkin juga mulai menunjukkan ciri fenotipe domestikasi. Dia benar lagi: Pemilihan rubah yang akan dibiakkan dengan hanya berdasarkan pada sikap hewan terhadap manusia sepertinya juga mengubah penampilan fisiknya di samping perilakunya. Hanya dalam sembilan generasi, para peneliti mencatat kirik rubah lahir dengan telinga terkulai. Pola belang-belang muncul di kulitnya. Pada saat itu rubah sudah mulai merengek dan mengibaskan ekornya sebagai respons terhadap kehadiran manusia, perilaku yang tidak pernah terlihat pada rubah liar.

Sumber perubahan tersebut, menurut Belyaev, adalah kumpulan gen yang memberi kecenderungan untuk jinak—genotipe yang mungkin dimiliki oleh semua spesies yang dapat dijinakkan. Di peternakan rubah ini, Kukekova dan Trut sedang mencari gen-gen tersebut. Di tempat lain, para peneliti menganalisis DNA babi, ayam, kuda, dan spesies peliharaan lainnya, berusaha mengenali perbedaan genetik yang membedakan hewan itu dengan nenek moyangnya. Riset ini, dipercepat oleh kemajuan pengurutan genom cepat terbaru, bertujuan menjawab pertanyaan biologi mendasar: "Bagaimana terjadinya transformasi besar dari hewan liar menjadi hewan peliharaan?" ucap Leif Andersson, profesor biologi genom di Uppsala Universitet, Swedia. Jawabannya akan membantu kita memahami bukan hanya hewan peliharaan, tetapi juga bagaimana manusia menjinakkan sisi liarnya.!break!

Penguasaan atas tanaman dan hewan dapat dikatakan peristiwa yang paling berpengaruh dalam sejarah manusia. Di samping budidaya pertanian, kemampuan untuk membesarkan dan mengatur hewan peliharaan—kemungkinan besar serigala yang pertama, tetapi ayam, sapi, dan spesies makanan lain yang paling penting—mengubah pola makan manusia, membuka jalan bagi pemukiman dan akhirnya perkembangan negara-bangsa. Karena manusia jadi hidup berdampingan dengan binatang, domestikasi juga memunculkan vektor bagi penyakit yang membentuk masyarakat.

Namun, proses yang menyebabkan semua itu terjadi tetap belum terungkap. Tulang hewan dan ukiran batu kadang dapat menjelaskan waktu dan tempat spesies tertentu mulai hidup berdampingan dengan manusia. Yang lebih sulit dipahami adalah caranya. Apakah beberapa babi hutan yang penasaran mendekati populasi manusia, makan sampah mereka, dan seiring pergantian generasi semakin menjadi bagian dari pola makan kita? Apakah manusia menangkap ayam hutan, nenek moyang ayam modern, langsung dari alam—atau apakah ayam yang awalnya mendekat? Dari 148 spesies mamalia besar di Bumi, mengapa tidak lebih dari 15 yang pernah dijinakkan? Mengapa kita dapat menjinakkan dan membiakkan kuda selama ribuan tahun, tetapi tidak berhasil melakukannya pada keluarga dekatnya zebra, meskipun telah dicoba berulang kali?

Bahkan, para ilmuwan kesulitan membuat definisi eksak domestikasi. Kita semua tahu bahwa hewan buas dapat dilatih untuk hidup berdekatan dengan manusia. Anak harimau yang disuapi, dan akhirnya meniru pemeliharanya, setelah besar dapat menganggap orang itu sebagai keluarganya. Tetapi keturunan harimau itu, saat lahir, akan sama liarnya dengan nenek moyangnya. Sebaliknya, domestikasi bukanlah sifat yang dilatihkan pada satu hewan tertentu, tapi ciri ini menyebar ke seluruh populasi setelah sekian generasi hidup berdampingan dengan manusia. Banyak atau malah sebagian besar naluri liar spesies itu hilang sama sekali. Dengan kata lain, domestikasi sebagian besar terjadi pada gen.

Namun, batas antara hewan peliharaan dan liar sering tidak begitu jelas. Semakin banyak bukti yang menunjukkan bahwa secara historis, hewan peliharaan mungkin memainkan peranan besar dalam penjinakan dirinya sendiri, mendekatkan diri dengan manusia sebelum kita mengambil peran aktif dalam proses itu. "Hipotesis kerja saya," ujar Greger Larson, seorang ahli genetika dan domestikasi di Durham University di Inggris, "adalah bahwa pada sebagian besar hewan awal—pertama anjing, kemudian babi, domba, dan kambing—mungkin ada masa panjang pengelolaan tanpa sengaja oleh manusia." Kata domestikasi "menyiratkan sesuatu yang dimulai dari atas, sesuatu yang sengaja manusia kerjakan," ujarnya. "Namun, kisah kompleks ini jauh lebih menarik."Peran percobaan peternakan rubah dalam menguraikan kerumitan ini semakin luar biasa jika mengingat rintangan yang dilaluinya. !break!

Kalangan ahli biologi Soviet pada pertengahan abad ke-20, dipimpin pakar agronomi yang bereputasi buruk Trofim Lysenko saat pemerintahan Joseph Stalin, melarang penelitian genetika Mendel. Namun, Dmitry Belyaev dan kakaknya Nikolay, keduanya ahli biologi, tertarik pada kemungkinan ilmu pengetahuan ini. "Kakaknyalah yang menyebabkan dia sangat berminat pada genetika," ucap Trut mengenai mentornya. "Namun, saat itu genetika dianggap ilmu palsu."

Ketika kedua bersaudara ini mengabaikan larangan itu dan terus melakukan penelitian genetika, Belyaev dipecat dari jabatannya sebagai direktur Departemen Pemuliaan Hewan Berbulu. Nasib Nikolay lebih tragis: Ia dibuang ke kamp kerja paksa, tempat ia akhirnya meninggal dunia.

Diam-diam, Belyaev tetap berkecimpung dalam ilmu genetika, menyamarkan pekerjaannya sebagai penelitian fisiologi hewan. Dia terutama terobsesi dengan misteri munculnya keragaman anjing yang luar biasa dari nenek moyang serigalanya. Jawabannya, dia yakin, pasti berada pada tingkat molekuler. Tetapi, bahkan di luar Uni Soviet sekalipun, pada 1950-an, teknologi pengurutan genom hewan—dan dengan demikian usaha memahami perubahan gen sepanjang sejarah—masih merupakan hal yang mustahil. Jadi Belyaev memutuskan untuk mereproduksi sejarahnya sendiri. Rubah perak, sesama Canidae dan sepupu dekat anjing yang tidak pernah dijinakkan, tampak sebagai pilihan yang sempurna.

Pekerjaan pertama Lyudmila Trut sebagai mahasiswa pascasarjana, pada tahun 1958, adalah melakukan perjalanan keliling ke berbagai peternakan kulit bulu di Soviet dan memilih rubah paling tenang yang bisa ditemukannya, untuk menjadi populasi dasar bagi percobaan Belyaev. Larangan penelitian genetik mulai mengendor sejak kematian Stalin pada tahun 1953, dan Belyaev mendirikan lab di Siberia di Lembaga Sitologi dan Genetika yang baru. Namun, dia berhati-hati mendeskripsikan penelitian itu hanya dengan istilah fisiologi, menghindari penyebutan gen. Trut ingat ketika pemimpin Uni Soviet Nikita Khrushchev datang untuk menginspeksi lembaga itu, dia berkata, "Apa, para genetikus itu masih ada? Belum habis juga?" Dilindungi oleh politik hati-hati bos Belyaev serta tulisan wartawati putri Khrushchev yang memberi angin kepada genetika, percobaan peternakan rubah diam-diam dimulai.!break!

Pada tahun 1964, generasi keempat sudah mulai memenuhi harapan para peneliti. Trut masih ingat saat pertama kali melihat rubah yang mengibaskan ekornya ketika dia mendekat. Tak lama kemudian, rubah yang terjinak sudah sangat mirip dengan anjing. Hewan itu melompat ke pelukan peneliti dan menjilati wajah mereka. Terkadang tingkat kejinakan hewan itu bahkan mengejutkan para peneliti. Pernah, pada 1970-an, seorang pegawai membawa pulang sebentar salah seekor rubah sebagai hewan peliharaan. Ketika Trut mengunjunginya, dilihatnya pegawai tersebut membawa rubahnya jalan-jalan tanpa rantai, "seperti anjing. Saya berkata 'Jangan begitu, nanti bisa hilang, itu kan milik lembaga!'" ingatnya. "Dia berkata 'coba lihat,' kemudian dia bersiul dan memanggil , 'Coca!' Rubah itu langsung datang."

Pada saat bersamaan, semakin banyak rubah yang mulai menunjukkan tanda fenotipe domestikasi: telinga terkulai bertahan semakin lama dalam pertumbuhannya dan muncul bintik putih yang khas pada bulunya. "Pada awal 1980-an, kami melihat semacam ledakan perubahan pada penampilan luar," ujar Trut. Penelitian ini diperluas sehingga mencakup tikus pada tahun 1972, diikuti oleh musang dan—untuk periode singkat—berang-berang. Berang-berang ternyata sulit dikembangbiakkan dan percobaan ini akhirnya dihentikan, tetapi para ilmuwan berhasil membentuk perilaku dua spesies lainnya yang sama dengan rubah.

Namun, pada saat teknologi genetik baru mulai tersedia untuk mencapai tujuan akhir Belyaev, yaitu melacak hubungan ciri domestikasi dengan DNA hewan, proyek ini mengalami masa sulit. Dengan runtuhnya Uni Soviet, dana ilmiah mulai terpangkas, dan para peneliti tak bisa berbuat banyak di luar menjaga agar populasi rubah ini tetap hidup. Ketika Belyaev meninggal karena kanker pada tahun 1985, Trut mengambil alih penelitian ini dan berjuang agar tetap didanai. Tetapi pada awal abad ke-21, dia terancam harus menghentikan percobaan ini.

Pada saat yang hampir bersamaan, Anna Kukekova, peneliti genetika molekuler pascadoktoral kelahiran Rusia di Cornell, membaca tentang kesulitan proyek ini. Dia telah lama takjub dengan hasil penelitian peternakan rubah ini, dan sekarang memutuskan untuk memfokuskan penelitiannya ke eksperimen tersebut. Dengan bantuan dari Gordon Lark di University of Utah serta hibah dari National Institutes of Health (NIH), ia ikut terjun ke dalam usaha Trut untuk mencoba dan menuntaskan penelitian yang dimulai Belyaev.!break!

Ternyata, tidak semua rubah di peternakan di Novosibirsk seramah Mavrik. Di seberang jalan kecil tempat Mavrik dan teman-teman rubahnya yang jinak, terdapat bangsal identik yang penuh kerangkeng kawat, masing-masing dihuni oleh yang disebut peneliti sebagai "rubah agresif." Untuk mempelajari aspek biologi kejinakan, para ilmuwan perlu menciptakan sekelompok binatang yang jelas tidak jinak. Jadi, seperti kebalikan dari rubah ramah, kirik rubah pada populasi agresif ini dinilai berdasarkan perilaku permusuhannya. Hanya yang paling agresif yang dibiakkan untuk generasi selanjutnya. Inilah kembaran jahat Mavrik si penggoyang ekor, langsung diambil dari film horor murahan: mendesis, mengernying, menggigit bagian depan kerangkengnya setiap ada orang yang mendekat.

"Coba Anda perhatikan rubah ini," ujar Trut sambil menunjuk ke salah satu makhluk menggeram di dekatnya. "Dapat Anda lihat sendiri betapa agresifnya. Betina ini berasal dari induk agresif tetapi dibesarkan oleh induk yang jinak." Pemindahan ini, karena induk agresif tidak dapat menyusui anaknya, secara kebetulan membuktikan sesuatu: Respons rubah terhadap manusia lebih dipengaruhi bibit daripada bebet atau lingkungannya. "Di sini," ujarnya, "genetiklah yang menyebabkan perubahan."

Namun, pencarian jejak-genetik yang menyebabkan penjinakan ternyata sangat rumit. Pertama, peneliti perlu menemukan gen yang menentukan perilaku ramah dan agresif. Namun, sifat umum seperti itu sebenarnya gabungan dari ciri-ciri yang lebih spesifik—rasa takut, keberanian, sifat pasif, rasa ingin tahu—yang harus dipisahkan, diukur, dan ditelusuri ke gen tertentu atau kelompok gen yang bekerja bersamaan. Setelah gen-gen tersebut diketahui, para peneliti dapat menguji apakah gen yang memengaruhi perilaku juga menyebabkan telinga terkulai dan berbulu belang serta fitur lainnya yang menjadi ciri spesies peliharaan. Salah satu teori para ilmuwan di Novosibirsk adalah bahwa gen menentukan perilaku binatang dengan mengubah bahan kimia di otaknya. Perubahan kimia saraf itu, pada gilirannya, memiliki dampak "hilir" pada penampilan fisik hewan.

Sementara ini, Kukekova berfokus pada langkah pertama: menghubungkan perilaku jinak dengan gen. Menjelang akhir setiap musim panas, ia melakukan perjalanan dari Cornell ke Novosibirsk untuk mengevaluasi kirik rubah baru yang lahir tahun itu. Setiap interaksi peneliti dengan kirik distandarkan dan direkam: membuka kandang, mengulurkan tangan ke dalam, menyentuh rubah. Kemudian, Kukekova mengkaji rekamannya, menggunakan ukuran objektif untuk mengukur postur rubah, vokalisasi, dan perilaku lainnya. Data tersebut dikombinasikan dengan silsilah—catatan yang merekam asal-usul rubah jinak, agresif, dan "persilangan" (yang induk dan bapaknya berbeda kelompok).!break!

Tim peneliti gabungan Amerika-Rusia kemudian mengekstrak DNA dari sampel darah setiap rubah untuk meneliti dan mencari perbedaan mencolok pada genom hewan yang dinilai agresif atau jinak berdasarkan observasi perilaku tersebut. Dalam makalah di jurnal Behavior Genetics yang sedang naik cetak, kelompok ini melaporkan temuan dua daerah yang sangat berbeda pada kedua jenis perilaku tersebut, dan dengan demikian mungkin menjadi lokasi gen kunci domestikasi. Kian hari, kian terlihat bahwa domestikasi tidak disebabkan oleh satu gen saja, tetapi oleh perubahan sekumpulan gen. "Domestikasi," simpul makalah itu, "tampaknya merupakan fenotipe yang sangat kompleks."

Kebetulan, 4.500 kilometer ke barat di Leipzig, Jerman, laboratorium lain sedang berada pada tahap yang sama persis dalam penelitian gen domestikasi pada tikus. Frank Albert, seorang peneliti di Max Planck Institut für Evolutionäre Anthropologie, menerima kiriman 30 keturunan tikus Belyaev (15 jinak, 15 agresif) dalam dua kotak kayu dari Siberia pada tahun 2004. "Kami temukan beberapa daerah genom yang memengaruhi kejinakan dan keagresifan," ujar Albert. "Tetapi, kami tidak mengetahui gen mana yang menyebabkan sinyal ini." Seperti kelompok Kukekova, ujarnya, "kami sedang mempersempit kemungkinannya."

Begitu salah satu kelompok dapat menentukan satu atau lebih rangkaian genetik tertentu yang terlibat, mereka atau peneliti lain dapat mencari gen yang serupa pada spesies peliharaan lainnya. "Jika semua berjalan lancar, kami akan menemukan gen spesifik yang terlibat dalam perilaku jinak dan agresif," kata Kukekova. "Bahkan saat kami menemukan gen tersebut, kami masih tidak pasti apakah itu gen untuk domestikasi sampai kami membandingkannya dengan spesies lain."Akhirnya, hasil terbesar penelitian ini mungkin berasal dari penemuan gen serupa pada spesies yang paling terdomestikasi: manusia. "Pemahaman atas perubahan yang terjadi pada hewan-hewan ini akan sangat informatif," ujar Elaine Ostrander, dari National Human Genome Research Institute di NIH. "Semua orang tak sabar menunggu hasil kedua penelitian genetika tersebut."

Tidak semua peneliti domestikasi yakin bahwa rubah perak Belyaev akan membuka rahasia domestikasi. Leif Andersson dari Uppsala Universitet, yang mempelajari genetika hewan ternak—dan yang memuji kontribusi Belyaev dan rekan-rekannya bagi bidang ini—berpendapat bahwa hubungan antara kejinakan dan fenotipe domestikasi mungkin tidak seberkaitan seperti yang disiratkan penelitian rubah tersebut. "Kita memilih satu ciri dan kita melihat perubahan pada ciri-ciri lainnya," kata Andersson, tetapi "tidak pernah terbukti ada hubungan sebab-akibat."Untuk memahami perbedaan pandangan Andersson dengan para peneliti di Novosibirsk, mari kita coba bayangkan perwujudan dua teori ini dalam sejarah. Keduanya sepakat bahwa hewan yang paling mungkin dijinakkan adalah hewan yang cenderung mendekati manusia. !break!

Beberapa mutasi, atau serangkaian mutasi, pada DNA hewan tersebut menyebabkannya menjadi kurang takut terhadap manusia, dan dengan demikian bersedia hidup lebih dekat dengan manusia. Mungkin hewan itu makan sampah atau mendapat perlindungan tidak langsung dari pemangsa. Suatu saat ada manusia yang melihat manfaat balasan dari tetangga-hewan ini dan mulai mempercepat proses itu, dengan sengaja memilih hewan yang paling bisa diatur dan mengembangbiakkannya. "Pada awal proses domestikasi, hanya seleksi alam yang bekerja," demikian kata Trut. "Beberapa generasi kemudian, seleksi alam ini berganti dengan seleksi buatan."

Perbedaan dengan Andersson adalah soal kejadian selanjutnya. Jika Belyaev dan Trut benar, proses swa-seleksi dan kemudian seleksi manusia terhadap hewan yang lebih tidak takut terhadap manusia secara bersamaan memunculkan komponen fenotipe domestikasi yang lain, seperti ekor melingkar dan badan yang lebih kecil. Dalam pandangan Andersson, teori itu mengecilkan peran yang dimainkan manusia dalam memilih ciri-ciri lainnya. Tentu, rasa ingin tahu dan kurangnya rasa takut mungkin memulai proses itu, tetapi begitu hewan berada di bawah kendali manusia, hewan itu juga terlindung dari predator liar. Mutasi acak yang memunculkan ciri fisik yang mungkin hilang dengan cepat di alam liar, seperti bintik putih di kulit gelap, bisa bertahan dalam keadaan ini. Lalu ciri-ciri ini berkembang, sebagian karena, ya tentu saja, orang-orang menyukainya. "Jadi, bukan karena hewan yang memiliki ciri-ciri itu lebih jinak," demikian kata Andersson, "tetapi karena hewan tersebut menggemaskan saja."

Pada tahun 2009 Andersson memperkuat teorinya dengan membuat perbandingan mutasi pada gen warna bulu beberapa jenis babi peliharaan dan liar. Hasilnya, lapornya, "menunjukkan bahwa petani zaman dahulu sengaja memilih babi dengan warna bulu yang baru. Motivasi mereka bisa saja sesederhana seperti kesukaan atas hal aneh atau memilih yang lebih mudah terlihat."Dalam perburuan gen domestikasinya, Andersson meneliti binatang peliharaan yang terbanyak di Bumi: ayam. Nenek moyang hewan ini, ayam hutan merah, berkeliaran bebas di hutan India, Nepal, dan bagian Asia Selatan dan Tenggara lainnya. Sekitar 8.000 tahun lalu, manusia mulai menernakkan spesies ini sebagai makanan.

Tahun lalu Andersson dan rekan-rekannya membandingkan genom lengkap ayam peliharaan dengan populasi ayam hutan merah yang ada di kebun binatang. Mereka menemukan satu mutasi, pada gen yang disebut TSHR, yang hanya ditemukan di hewan peliharaan. Implikasinya adalah bahwa TSHR berperan dalam domestikasi, dan sekarang tim ini bekerja untuk menentukan dengan pasti apa yang dikontrol oleh mutasi TSHR. Andersson berhipotesis bahwa gen itu mungkin berperan dalam siklus reproduksi burung, sehingga ayam dapat berkembang biak lebih cepat di penangkaran daripada ayam hutan merah di dalam rimba—sifat yang sangat ingin disebarluaskan oleh petani zaman dahulu. Perbedaan yang sama terjadi antara serigala, yang bereproduksi sekali setahun dan pada musim yang sama, dengan anjing, yang dapat berkembang biak beberapa kali setahun, pada musim apa pun.!break!

Jika teori Andersson benar, hal ini ternyata memiliki implikasi menarik bagi spesies kita sendiri. Ahli biologi Harvard Richard Wrangham berteori bahwa kita juga mengalami proses domestikasi yang mengubah sifat biologis kita. "Pertanyaan tentang apa perbedaan antara babi peliharaan dan babi hutan, atau perbedaan antara ayam pedaging dan ayam hutan liar," kata Andersson kepada saya, "sangat mirip dengan pertanyaan apa perbedaan antara manusia dan simpanse."

Manusia memang bukan hanya simpanse yang jinak, tetapi pemahaman genetika domestikasi ayam, anjing, dan babi mungkin tetap dapat mengungkap banyak sekali pengetahuan baru tentang asal-usul perilaku sosial kita sendiri. Itulah salah satu alasan NIH mendanai penelitian peternakan rubah yang dilakukan oleh Kukekova. "Ada lebih dari 14.000 gen yang terlibat aktif dalam fungsi otak, dan tidak banyak yang dipahami," jelasnya. Mengidentifikasi gen mana yang berhubungan dengan perilaku sosial adalah pekerjaan rumit; jelas kita tidak dapat melakukan percobaan pembiakan manusia, sementara penelitian yang mengaku menemukan perbedaan perilaku bawaan antara ras atau populasi jelas bermasalah.

Tetapi, penelitian DNA hewan sahabat terdekat kita dapat memberi beberapa wawasan menarik. Pada tahun 2009 ahli biologi UCLA Robert Wayne memimpin penelitian yang membandingkan genom serigala dan anjing. Temuan yang menghebohkan adalah bahwa anjing tidak berasal dari serigala abu-abu Asia Timur seperti pendapat sebagian peneliti selama ini, tetapi dari serigala abu-abu Timur Tengah.

Yang luput dari perhatian media adalah laporan singkat tempat Wayne dan rekan-rekannya mengidentifikasi serangkaian DNA pendek, yang terletak di dekat gen yang disebut WBSCR17, yang sangat berbeda pada kedua spesies. Daerah genom itu, pendapat mereka, bisa menjadi lokasi potensial bagi "gen yang penting pada awal domestikasi anjing." Pada manusia, lanjut laporan para peneliti itu, WBSCR17 setidaknya ikut bertanggung jawab atas kelainan genetik langka yang disebut sindrom Williams-Beuren. Sindrom Williams-Beuren dicirikan oleh raut seperti peri, tulang hidung pendek, dan "mudah sekali berteman"—penderitanya seringkali terlalu ramah dan mudah mempercayai orang asing.!break!

Setelah makalah ini diterbitkan, ujar Wayne, "email yang paling sering kami terima adalah dari orang tua anak-anak yang menderita sindrom Williams-Beuren. Kata mereka, Anak-anak ini mengingatkan kami pada anjing dalam hal mereka mampu memahami niat orang lain serta perilaku mereka yang tidak mengenal batasan pergaulan." Raut seperti peri ini tampaknya juga berkaitan dengan aspek fenotipe domestikasi. Wayne memperingatkan agar tidak membuat hubungan langsung antara gen domestikasi dengan sesuatu yang kompleks secara genetik seperti Williams-Beuren. Para peneliti "penasaran," katanya, dan berharap dapat meneliti hubungan tersebut lebih lanjut.

Pada tahun 2003 seorang peneliti muda di Duke University Brian Hare melakukan perjalanan ke Novosibirsk. Hare dikenal karena karyanya yang mencatat dan mengelompokkan perilaku unik anjing dan serigala, menunjukkan perubahan perilaku anjing sehingga mampu mengikuti isyarat manusia, seperti acungan jari dan gerakan mata. Saat melakukan tes serupa pada anak rubah di Siberia, dia menemukan bahwa perilaku anak rubah sama dengan anak anjing yang sebaya. Hasilnya, walau masih tahap awal, menunjukkan bahwa pemilihan berdasarkan kurangnya rasa takut dan permusuhan—yang disebut Hare "reaktivitas emosional"—menciptakan rubah yang tidak hanya jinak, tetapi yang juga memiliki kemampuan berinteraksi dengan manusia menggunakan isyarat pergaulan manusia seperti anjing.

"Mereka tidak memilih rubah yang cerdas tetapi rubah yang ramah," ucap Hare. "Namun, ujung-ujungnya mereka mendapatkan rubah yang cerdas." Penelitian ini juga memiliki implikasi bagi asal-usul perilaku sosial manusia. "Apakah kita terdomestikasi seperti anjing? Tidak. Tetapi, saya yakin bahwa hal pertama yang harus terjadi untuk menciptakan manusia dari leluhur mirip kera adalah peningkatan toleransi yang besar terhadap sesamanya. Pasti telah terjadi perubahan pada tata pergaulan kita."

Saya teringat penelitian Hare itu pada sore terakhir saya di Novosibirsk, saat saya bersama Kukekova dan penerjemah Luda Mekertycheva bermain dengan Mavrik di halaman belakang gedung penelitian peternakan rubah. Kami mengawasi dia mengejar bola dan bergulat dengan rubah lain, lalu berlari mendekat agar kami bisa mengangkatnya dan membiarkan dia menjilati wajah kami. Sayangnya, kami semua harus mengejar penerbangan, dan setelah satu jam, Kukekova membawanya kembali ke bangsal. Mavrik tampaknya merasa bahwa dia dibawa kembali ke kandangnya dan mendengking sedih. Dia hewan yang secara biologis dikondisikan agar mengharapkan perhatian manusia, sama seperti anjing. Sekarang setelah memberikan perhatian itu, tiba-tiba saya merasa bersalah karena harus menghentikannya.!break!

Percobaan peternakan rubah itu, tentu saja, seperti namanya: percobaan ilmiah. Selama beberapa dasawarsa proyek itu terpaksa membatasi populasi rubahnya dengan menjual rubah yang kurang ramah atau kurang agresif untuk menjadi hewan penelitian ke peternakan kulit bulu asli. Bagi para ilmuwan, memutuskan rubah mana yang dipertahankan dan mana yang dijual merupakan proses yang menyakitkan; Trut berkata bahwa dia sudah lama menyerahkan pekerjaan itu kepada yang lain, dan menjauhi peternakan selama waktu pemilihan. "Sangat berat secara emosional," akunya kepada saya.

Dalam beberapa tahun terakhir pihaknya berusaha mendapatkan izin untuk menjual surplus rubah jinak sebagai hewan peliharaan, baik ke dalam maupun luar negeri. Menurut mereka, dengan cara ini bukan saja rubah yang tidak terpilih mendapat tempat yang lebih baik, tetapi juga dapat mengumpulkan dana untuk melanjutkan penelitian. "Saat ini kami berusaha sekuat tenaga memelihara populasi rubah kami," ujar Trut. "Kami melakukan beberapa penelitian genetik bersama mitra di Amerika. Tetapi, masih banyak yang harus diungkap dalam penelitian ini."

Kembali ke Mavrik, Luda Mekertycheva begitu terpikat oleh rubah berwarna sarangan ini serta satu rubah lainnya sehingga dia memutuskan untuk memelihara keduanya. Kedua rubah itu sampai di dachanya tak jauh dari Moskwa beberapa bulan kemudian, dan tidak lama setelah itu, dia mengabari saya via email. "Mavrik dan Peter melompat ke punggung saat saya berlutut untuk memberi makan, duduk saat saya belai, dan memakan vitamin dari tangan saya," tulisnya. "Saya sangat mencintai keduanya."