Menjinakkan Satwa Liar

By , Jumat, 25 Februari 2011 | 13:24 WIB

Kebetulan, 4.500 kilometer ke barat di Leipzig, Jerman, laboratorium lain sedang berada pada tahap yang sama persis dalam penelitian gen domestikasi pada tikus. Frank Albert, seorang peneliti di Max Planck Institut für Evolutionäre Anthropologie, menerima kiriman 30 keturunan tikus Belyaev (15 jinak, 15 agresif) dalam dua kotak kayu dari Siberia pada tahun 2004. "Kami temukan beberapa daerah genom yang memengaruhi kejinakan dan keagresifan," ujar Albert. "Tetapi, kami tidak mengetahui gen mana yang menyebabkan sinyal ini." Seperti kelompok Kukekova, ujarnya, "kami sedang mempersempit kemungkinannya."

Begitu salah satu kelompok dapat menentukan satu atau lebih rangkaian genetik tertentu yang terlibat, mereka atau peneliti lain dapat mencari gen yang serupa pada spesies peliharaan lainnya. "Jika semua berjalan lancar, kami akan menemukan gen spesifik yang terlibat dalam perilaku jinak dan agresif," kata Kukekova. "Bahkan saat kami menemukan gen tersebut, kami masih tidak pasti apakah itu gen untuk domestikasi sampai kami membandingkannya dengan spesies lain."Akhirnya, hasil terbesar penelitian ini mungkin berasal dari penemuan gen serupa pada spesies yang paling terdomestikasi: manusia. "Pemahaman atas perubahan yang terjadi pada hewan-hewan ini akan sangat informatif," ujar Elaine Ostrander, dari National Human Genome Research Institute di NIH. "Semua orang tak sabar menunggu hasil kedua penelitian genetika tersebut."

Tidak semua peneliti domestikasi yakin bahwa rubah perak Belyaev akan membuka rahasia domestikasi. Leif Andersson dari Uppsala Universitet, yang mempelajari genetika hewan ternak—dan yang memuji kontribusi Belyaev dan rekan-rekannya bagi bidang ini—berpendapat bahwa hubungan antara kejinakan dan fenotipe domestikasi mungkin tidak seberkaitan seperti yang disiratkan penelitian rubah tersebut. "Kita memilih satu ciri dan kita melihat perubahan pada ciri-ciri lainnya," kata Andersson, tetapi "tidak pernah terbukti ada hubungan sebab-akibat."Untuk memahami perbedaan pandangan Andersson dengan para peneliti di Novosibirsk, mari kita coba bayangkan perwujudan dua teori ini dalam sejarah. Keduanya sepakat bahwa hewan yang paling mungkin dijinakkan adalah hewan yang cenderung mendekati manusia. !break!

Beberapa mutasi, atau serangkaian mutasi, pada DNA hewan tersebut menyebabkannya menjadi kurang takut terhadap manusia, dan dengan demikian bersedia hidup lebih dekat dengan manusia. Mungkin hewan itu makan sampah atau mendapat perlindungan tidak langsung dari pemangsa. Suatu saat ada manusia yang melihat manfaat balasan dari tetangga-hewan ini dan mulai mempercepat proses itu, dengan sengaja memilih hewan yang paling bisa diatur dan mengembangbiakkannya. "Pada awal proses domestikasi, hanya seleksi alam yang bekerja," demikian kata Trut. "Beberapa generasi kemudian, seleksi alam ini berganti dengan seleksi buatan."

Perbedaan dengan Andersson adalah soal kejadian selanjutnya. Jika Belyaev dan Trut benar, proses swa-seleksi dan kemudian seleksi manusia terhadap hewan yang lebih tidak takut terhadap manusia secara bersamaan memunculkan komponen fenotipe domestikasi yang lain, seperti ekor melingkar dan badan yang lebih kecil. Dalam pandangan Andersson, teori itu mengecilkan peran yang dimainkan manusia dalam memilih ciri-ciri lainnya. Tentu, rasa ingin tahu dan kurangnya rasa takut mungkin memulai proses itu, tetapi begitu hewan berada di bawah kendali manusia, hewan itu juga terlindung dari predator liar. Mutasi acak yang memunculkan ciri fisik yang mungkin hilang dengan cepat di alam liar, seperti bintik putih di kulit gelap, bisa bertahan dalam keadaan ini. Lalu ciri-ciri ini berkembang, sebagian karena, ya tentu saja, orang-orang menyukainya. "Jadi, bukan karena hewan yang memiliki ciri-ciri itu lebih jinak," demikian kata Andersson, "tetapi karena hewan tersebut menggemaskan saja."

Pada tahun 2009 Andersson memperkuat teorinya dengan membuat perbandingan mutasi pada gen warna bulu beberapa jenis babi peliharaan dan liar. Hasilnya, lapornya, "menunjukkan bahwa petani zaman dahulu sengaja memilih babi dengan warna bulu yang baru. Motivasi mereka bisa saja sesederhana seperti kesukaan atas hal aneh atau memilih yang lebih mudah terlihat."Dalam perburuan gen domestikasinya, Andersson meneliti binatang peliharaan yang terbanyak di Bumi: ayam. Nenek moyang hewan ini, ayam hutan merah, berkeliaran bebas di hutan India, Nepal, dan bagian Asia Selatan dan Tenggara lainnya. Sekitar 8.000 tahun lalu, manusia mulai menernakkan spesies ini sebagai makanan.

Tahun lalu Andersson dan rekan-rekannya membandingkan genom lengkap ayam peliharaan dengan populasi ayam hutan merah yang ada di kebun binatang. Mereka menemukan satu mutasi, pada gen yang disebut TSHR, yang hanya ditemukan di hewan peliharaan. Implikasinya adalah bahwa TSHR berperan dalam domestikasi, dan sekarang tim ini bekerja untuk menentukan dengan pasti apa yang dikontrol oleh mutasi TSHR. Andersson berhipotesis bahwa gen itu mungkin berperan dalam siklus reproduksi burung, sehingga ayam dapat berkembang biak lebih cepat di penangkaran daripada ayam hutan merah di dalam rimba—sifat yang sangat ingin disebarluaskan oleh petani zaman dahulu. Perbedaan yang sama terjadi antara serigala, yang bereproduksi sekali setahun dan pada musim yang sama, dengan anjing, yang dapat berkembang biak beberapa kali setahun, pada musim apa pun.!break!

Jika teori Andersson benar, hal ini ternyata memiliki implikasi menarik bagi spesies kita sendiri. Ahli biologi Harvard Richard Wrangham berteori bahwa kita juga mengalami proses domestikasi yang mengubah sifat biologis kita. "Pertanyaan tentang apa perbedaan antara babi peliharaan dan babi hutan, atau perbedaan antara ayam pedaging dan ayam hutan liar," kata Andersson kepada saya, "sangat mirip dengan pertanyaan apa perbedaan antara manusia dan simpanse."

Manusia memang bukan hanya simpanse yang jinak, tetapi pemahaman genetika domestikasi ayam, anjing, dan babi mungkin tetap dapat mengungkap banyak sekali pengetahuan baru tentang asal-usul perilaku sosial kita sendiri. Itulah salah satu alasan NIH mendanai penelitian peternakan rubah yang dilakukan oleh Kukekova. "Ada lebih dari 14.000 gen yang terlibat aktif dalam fungsi otak, dan tidak banyak yang dipahami," jelasnya. Mengidentifikasi gen mana yang berhubungan dengan perilaku sosial adalah pekerjaan rumit; jelas kita tidak dapat melakukan percobaan pembiakan manusia, sementara penelitian yang mengaku menemukan perbedaan perilaku bawaan antara ras atau populasi jelas bermasalah.

Tetapi, penelitian DNA hewan sahabat terdekat kita dapat memberi beberapa wawasan menarik. Pada tahun 2009 ahli biologi UCLA Robert Wayne memimpin penelitian yang membandingkan genom serigala dan anjing. Temuan yang menghebohkan adalah bahwa anjing tidak berasal dari serigala abu-abu Asia Timur seperti pendapat sebagian peneliti selama ini, tetapi dari serigala abu-abu Timur Tengah.

Yang luput dari perhatian media adalah laporan singkat tempat Wayne dan rekan-rekannya mengidentifikasi serangkaian DNA pendek, yang terletak di dekat gen yang disebut WBSCR17, yang sangat berbeda pada kedua spesies. Daerah genom itu, pendapat mereka, bisa menjadi lokasi potensial bagi "gen yang penting pada awal domestikasi anjing." Pada manusia, lanjut laporan para peneliti itu, WBSCR17 setidaknya ikut bertanggung jawab atas kelainan genetik langka yang disebut sindrom Williams-Beuren. Sindrom Williams-Beuren dicirikan oleh raut seperti peri, tulang hidung pendek, dan "mudah sekali berteman"—penderitanya seringkali terlalu ramah dan mudah mempercayai orang asing.!break!

Setelah makalah ini diterbitkan, ujar Wayne, "email yang paling sering kami terima adalah dari orang tua anak-anak yang menderita sindrom Williams-Beuren. Kata mereka, Anak-anak ini mengingatkan kami pada anjing dalam hal mereka mampu memahami niat orang lain serta perilaku mereka yang tidak mengenal batasan pergaulan." Raut seperti peri ini tampaknya juga berkaitan dengan aspek fenotipe domestikasi. Wayne memperingatkan agar tidak membuat hubungan langsung antara gen domestikasi dengan sesuatu yang kompleks secara genetik seperti Williams-Beuren. Para peneliti "penasaran," katanya, dan berharap dapat meneliti hubungan tersebut lebih lanjut.

Pada tahun 2003 seorang peneliti muda di Duke University Brian Hare melakukan perjalanan ke Novosibirsk. Hare dikenal karena karyanya yang mencatat dan mengelompokkan perilaku unik anjing dan serigala, menunjukkan perubahan perilaku anjing sehingga mampu mengikuti isyarat manusia, seperti acungan jari dan gerakan mata. Saat melakukan tes serupa pada anak rubah di Siberia, dia menemukan bahwa perilaku anak rubah sama dengan anak anjing yang sebaya. Hasilnya, walau masih tahap awal, menunjukkan bahwa pemilihan berdasarkan kurangnya rasa takut dan permusuhan—yang disebut Hare "reaktivitas emosional"—menciptakan rubah yang tidak hanya jinak, tetapi yang juga memiliki kemampuan berinteraksi dengan manusia menggunakan isyarat pergaulan manusia seperti anjing.

"Mereka tidak memilih rubah yang cerdas tetapi rubah yang ramah," ucap Hare. "Namun, ujung-ujungnya mereka mendapatkan rubah yang cerdas." Penelitian ini juga memiliki implikasi bagi asal-usul perilaku sosial manusia. "Apakah kita terdomestikasi seperti anjing? Tidak. Tetapi, saya yakin bahwa hal pertama yang harus terjadi untuk menciptakan manusia dari leluhur mirip kera adalah peningkatan toleransi yang besar terhadap sesamanya. Pasti telah terjadi perubahan pada tata pergaulan kita."

Saya teringat penelitian Hare itu pada sore terakhir saya di Novosibirsk, saat saya bersama Kukekova dan penerjemah Luda Mekertycheva bermain dengan Mavrik di halaman belakang gedung penelitian peternakan rubah. Kami mengawasi dia mengejar bola dan bergulat dengan rubah lain, lalu berlari mendekat agar kami bisa mengangkatnya dan membiarkan dia menjilati wajah kami. Sayangnya, kami semua harus mengejar penerbangan, dan setelah satu jam, Kukekova membawanya kembali ke bangsal. Mavrik tampaknya merasa bahwa dia dibawa kembali ke kandangnya dan mendengking sedih. Dia hewan yang secara biologis dikondisikan agar mengharapkan perhatian manusia, sama seperti anjing. Sekarang setelah memberikan perhatian itu, tiba-tiba saya merasa bersalah karena harus menghentikannya.!break!

Percobaan peternakan rubah itu, tentu saja, seperti namanya: percobaan ilmiah. Selama beberapa dasawarsa proyek itu terpaksa membatasi populasi rubahnya dengan menjual rubah yang kurang ramah atau kurang agresif untuk menjadi hewan penelitian ke peternakan kulit bulu asli. Bagi para ilmuwan, memutuskan rubah mana yang dipertahankan dan mana yang dijual merupakan proses yang menyakitkan; Trut berkata bahwa dia sudah lama menyerahkan pekerjaan itu kepada yang lain, dan menjauhi peternakan selama waktu pemilihan. "Sangat berat secara emosional," akunya kepada saya.

Dalam beberapa tahun terakhir pihaknya berusaha mendapatkan izin untuk menjual surplus rubah jinak sebagai hewan peliharaan, baik ke dalam maupun luar negeri. Menurut mereka, dengan cara ini bukan saja rubah yang tidak terpilih mendapat tempat yang lebih baik, tetapi juga dapat mengumpulkan dana untuk melanjutkan penelitian. "Saat ini kami berusaha sekuat tenaga memelihara populasi rubah kami," ujar Trut. "Kami melakukan beberapa penelitian genetik bersama mitra di Amerika. Tetapi, masih banyak yang harus diungkap dalam penelitian ini."

Kembali ke Mavrik, Luda Mekertycheva begitu terpikat oleh rubah berwarna sarangan ini serta satu rubah lainnya sehingga dia memutuskan untuk memelihara keduanya. Kedua rubah itu sampai di dachanya tak jauh dari Moskwa beberapa bulan kemudian, dan tidak lama setelah itu, dia mengabari saya via email. "Mavrik dan Peter melompat ke punggung saat saya berlutut untuk memberi makan, duduk saat saya belai, dan memakan vitamin dari tangan saya," tulisnya. "Saya sangat mencintai keduanya."