Takdir Owa di Tanah Jawa

By , Kamis, 19 Mei 2011 | 11:09 WIB

Pagi itu, jarum jam belum lagi tiba di antara angka enam dan tujuh. Sesosok tangan kecil meraih buah kemerahan yang bergantungan di hadapannya, di ketinggian sekitar 25 meter dari tanah. Sisa tubuhnya yang mungil terselubung oleh rimbun dedaunan. Kadang melalui sela ranting yang melambai-lambai terembus angin, mulutnya terlihat bergerak naik turun dengan cepat; asyik mengunyah makanan. !break!

Kedua induknya berada tak jauh pada dahan yang berlainan, terlena menikmati buah ara berwarna merah segar. Siapa pun yang melintas di bawah pepohonan mungkin tidak akan menyadari keberadaan tiga ekor owa jawa (Hylobates moloch) menyerupai segumpalan rambut abu-abu keperakan di dahan-dahan ramping, nun jauh di atas kepala. Daun-daun sesekali bergemerisik ditiup oleh angin yang masih dingin. Terkadang burung-burung ramai bercericit di atap hutan, sementara di dahan-dahan pohon lainnya dua ekor bajing sibuk berlarian. Sang jantan perlahan menggelayut mendekati anaknya untuk menyelisik, membersihkannya dari kotoran atau parasit. Kadang si kecil menjauhkan diri untuk sesaat, namun selalu kembali untuk menikmati selisik sang induk. Dari bawah, rambut-rambut mereka bersinar keperakan diterpa sinar mentari pagi nan hangat.

Ketenteraman pagi itu tak berlangsung lama. Si kecil yang diberi nama Kumkum oleh tim peneliti yang diketuai oleh Ham Soojung, peneliti tingkah laku serta ekologi primata dari Ewha Womans University, Korea, ini menjulurkan tangan. Jangkauannya kali ini lebih jauh. Bukan untuk meraih makanan, namun untuk menggapai dahan. Secepat kilat, ia pun bergelayut dari satu dahan ke dahan lainnya, meninggalkan kedua induk jauh di balik punggungnya.

Kumkum lahir pada 31 Juli 2007. Sepengamatan saya selama dua hari mengikuti pergerakan kelompok B ini, si owa jawa muda tidak bisa diam. Induknya lebih sering bergerak mengikuti ke mana pun Kumkum pergi. Seperti pagi ini. Setelah ia mulai menghilang kembali di antara dahan dan dedaunan jauh di sana, induknya pun segera menyusul, merelakan makanan mereka. Pada saat-saat tertentu pergerakan Kumkum amatlah cepat. Tidak hanya sang induk yang ripuh. Empat orang tim peneliti yang ada di lantai hutan, juga saya dan fotografer Reynold pun sibuk mengejar kelompok owa ini, kadang terengah-engah menaiki punggungan dan tergelincir menuruni lembah curam Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS) yang dibasahi oleh air hujan yang turun deras semalam.

Di dalam dunia primata, owa adalah satu-satunya satwa yang digolongkan sebagai kera kecil atau lesser apes. Sementara orang utan, simpanse, bonobo serta gorila masuk ke dalam golongan kera besar atau great apes. Dari 16 spesies owa di dunia yang menyebar di India, Bangladesh, Laos, China, Myanmar, Thailand, Brunei, Vietnam, hingga Indonesia, tujuh spesies di antaranya—termasuk siamang—ada di negeri ini. Sementara owa jawa adalah satwa endemik yang hidup hanya di hutan-hutan Jawa Barat dan Jawa Tengah.

Pada 2008, Hylobates moloch ditetapkan sebagai spesies yang masuk ke dalam status Endangered atau Genting dalam IUCN Red List of Threatened Species setelah sebelumnya dilabeli status Critically Endangered atau Kritis pada tahun 1996 dan 2000. Pada awal September 2006, IUCN menyelenggarakan Asian Primate Red List Workshop di Phnom Penh, Kamboja. Sekitar 15 ahli primata dari berbagai belahan dunia berkumpul antara lain untuk merangkum  dan memublikasikan informasi mengenai taksonomi, jangkauan geografis, besaran populasi, serta ancaman utama yang terus mendera owa jawa. Salah seorang di antaranya ialah Jatna Supriatna, ahli primata Indonesia yang kini menjabat sebagai ketua Southeast Asian Primatological Association.

Menurut Jatna, saat itu tren masyarakat untuk merawat owa jawa sebagai hewan peliharaan telah menurun. Sementara di alam, “Owa jawa masih bisa selamat karena mereka hidup di taman-taman nasional. Taman nasional di Jawa dengan perbaikan-perbaikan yang dilakukan membuat populasi owa jawa menjadi aman. Karena itulah status keterancamannya diturunkan dari Critically Endangered menjadi Endangered.”

Walau demikian, bukanlah berarti hal-hal yang mengancam owa jawa selama ini bisa dilupakan begitu saja. Seiring dengan terus bertambahnya penduduk dengan segala konsekuensinya, kini populasi owa jawa tergantung pada lestarinya hutan. Berdasarkan laporan berjudul Conservation of The Javan Gibbon Hylobates moloch: Population Estimates, Local Extinctions, and Conservation Priorities yang ditulis oleh Vincent Nijman dan dipublikasikan dalam The Raffles Bulletin of Zoology pada 2004, juga seperti yang dikutip oleh IUCN, populasi owa jawa di Pulau Jawa hanya berkisar pada angka 4.000 hingga 4.500 individu.!break!

Kumkum memang berhasil membuat kami—yang  belum terbiasa dengan medan TNGHS—kewalahan  hari itu. Ia dengan gesit bergerak dari satu dahan ke dahan lainnya seolah tak memberi tim peneliti kesempatan untuk menghela napas. Kegiatan Kumkum dan kedua induknya yang diberi nama Bang Kumis dan Kathy ini dicatat oleh tim dengan rentang waktu setiap 15 menit sekali, sebagai bagian dari penelitian Soojung mengenai perilaku owa jawa yang dilakukan sejak 2009.

Mentari sudah condong ke ufuk barat. Suara tonggeret terdengar di mana-mana. Soojung yang sudah fasih berbahasa Indonesia mengatakan kepada saya, bahwa inilah yang menjadi penanda bagi owa jawa untuk tidur. Benar saja, tak lama kemudian saat jarum jam sudah menunjukkan angka 17.30, Bang Kumis bergelayut ke pohon pasang. Sementara itu, Kumkum dan induknya masih tampak santai di ujung-ujung dahan, mengunyah buah ara. Sepuluh menit kemudian, kedua owa jawa itu berhenti makan dan mendekati pohon rasamala. Keduanya pun memilih dahan landai yang besar dan terlihat kokoh untuk beristirahat.

Saat hutan sudah mulai berisik oleh suara-suara satwa malam, di pohon tidur itu, sang induk menyelisik Kumkum sebelum terlelap. Kadang kala tangan si mungil menjulur keluar. Entah apa yang diraihnya. Kami semua duduk di lantai hutan. Menikmati udara malam yang semakin dingin. Saya sesekali menggigil di balik balutan baju yang basah. Langit semakin kelam. Perlahan, Soojung mendendangkan lagu Ja Jang Ga, sebuah lagu nina bobo versi Korea. Sebelum matahari benar-benar menghilang di balik perbukitan, saya sempat melihat dari teropong. Kumkum yang sering jatuh saat meloncat dari satu dahan ke dahan lainnya—bahkan menurut Aris Kurniawan salah seorang asisten Soojung, Kumkum pernah jatuh dari ketinggian 10 meter dan langsung melesat lagi ke atas pohon—kini tertidur nyaman di pelukan induknya.

Keesokan paginya, lewat pukul enam, kami kembali mengikuti Soojung memasuki hutan. Jam tujuh tepat kami sampai di punggungan, lantas menelusuri jalan setapak selebar sekitar serentangan tangan yang berwarna warni dipenuhi oleh batuan serta guguran dedaunan. Kadang wanita ini menghentikan langkahnya sejenak untuk memandangi pohon-pohon di sekelilingnya, berharap menemukan kelompok owa jawa yang mungkin saja sedang bersantai di ujung-ujung dahan sambil melahap buah atau menyelisik. !break!

Hari ini kami terlepas dari Kumkum, dan mengikuti kelompok A yang terdiri dari lima individu. Para peneliti memberi mereka nama Aris untuk sang pejantan—karena Aris Kurniawan-lah yang pertama kali menemukan kelompok ini—Ayu untuk sang betina yang menggendong seekor anak yang lahir tepat pada awal tahun ini, dan dua anak betina mereka yang lain: Asri yang diperkirakan berumur tujuh atau delapan tahun, serta Amran yang berumur sekitar empat setengah tahun. “Sejak beberapa hari lalu Asri tidak bergabung dengan kelompok ini,” Ujar Aris kemarin sore saat saya bertanya mengenai kelompok A. Hal ini bisa jadi terkait dengan usia Asri yang diperkirakan sudah cukup untuk keluar dari kelompoknya dan sudah saatnya mencari pasangan.