Pernikahan Dini

By , Rabu, 25 Mei 2011 | 13:57 WIB

Hari sudah agak sore ketika tiga pengantin putri belia di Rajasthan mandi dan ber­pakaian, mempersiapkan diri untuk menjalani upacara sakral. Mengingat perkawinan itu melanggar hukum dan dirahasiakan, kecuali bagi para tamu undangan, upacara perkawinan di permukiman pertanian gersang di utara India itu biasanya dilangsungkan pada malam hari. Ketiganya berjongkok bersebelahan di luar rumah. Beberapa perempuan desa mem­bentangkan kain sari mengelilingi mereka, seperti tirai darurat, lalu menuangkan air sabun dari panci logam ke atas kepala mereka. Dua orang pengantin, kakak-beradik Radha dan Gora, berusia 15 dan 13 tahun, sudah cukup besar sehingga memahami kejadian yang tengah berlangsung itu. Pengantin yang ke­tiga, keponakan mereka, Rajani, baru berusia 5 tahun. Dia mengenakan kaus merah muda bergambar kupu-kupu di bahu. Se­orang pe­rempuan dewasa membantunya me­lepaskan kaus itu agar dia bisa dimandikan.

Para pengantin pria sedang dalam perjalanan dari desa mereka dan diperkirakan tiba dengan hati riang dan mabuk. Satu-satunya orang di situ yang pernah bertemu dengan para pengantin pria adalah ayah kedua ga­dis remaja itu, seorang petani yang sudah beruban, bertubuh langsing dan tegak, serta ber­kumis panjang. Petani ini, sebut saja Pak M, tampak bangga sekaligus khawatir saat meng­awasi para tamu yang berjalan mengular me­nyusuri jalan berbatu menuju tenda dari kain sutra berwarna cerah. Dia tahu bahwa jika polisi yang tidak mempan suap tahu apa yang sedang berlangsung, upacara perkawinan itu bisa saja dihentikan, keluarganya ditahan dan terpaksa menanggung malu berkepanjangan.

Rajani adalah cucu Pak M, anak putri su­lung­nya yang sudah menikah. Matanya bulat co­kelat, hidungnya kecil pesek, dan kulitnya cokelat susu. Dia tinggal bersama kakek dan ne­neknya. Menurut penduduk desa, Pak M ini­lah yang paling menyayangi Rajani; buktinya dia mencarikan pengantin pria untuknya dari ke­luarga terpandang yang juga akan menikahi bibinya, Radha. Dengan demikian, Rajani tidak akan kesepian setelah melakukan gauna, upacara di India yang menandai kepindahan pengantin perempuan dari rumah keluarganya ke rumah keluarga suaminya. Apabila perempuan India menikah saat masih anak-anak, upacara gauna berlangsung setelah si anak mencapai usia akil balig, sehingga Rajani akan tinggal bersama ka­kek dan neneknya selama beberapa tahun lagi—dan Pak M melakukan hal yang baik untuk me­lindungi anak ini sampai masa akil balig, kata penduduk desa, dengan menunjukkan ke­pada umum bahwa anak itu sudah menikah.!break!

Kami menatap Rajani yang berusia 5 tahun itu dengan perasaan galau saat semakin jelas bahwa anak kecil berkaus, yang kaki telanjangnya di­bungkus kain tebal, juga akan menjadi pengantin pada upacara tengah malam itu. Pria yang mengantarkan kami ke desa itu, saudara sepupu Pak M, hanya memberi tahu bahwa ada upacara perkawinan yang di­rencanakan untuk dua orang gadis remaja ka­kak-beradik.

Informasi itu pun sebetulnya riskan untuk diungkapkan karena gadis India dilarang menikah sebelum berusia 18 tahun. Namun, cara yang digunakan untuk membuat penegak hukum menutup mata terhadap per­kawinan ilegal ini—persekutuan dengan te­tangga, imbauan un­tuk menghormati nama baik keluarga—le­bih mudah dilakukan apabila gadis yang di­­tunang­kan itu setidaknya sudah akil balig. Anak perempuan yang masih kecil biasanya di­tambahkan diam-diam. Nama mereka tidak tercantum pada kar­tu undangan dan tidak disebut-sebut dalam per­kawinan mereka sendiri.

Rajani su­dah terlelap sebelum acara dimulai. Se­orang paman memanggulnya dari tempat tidur dengan penuh kasih, memangkunya, lalu mem­­bawanya dalam cahaya bulan menuju pen­­deta Hindu dan asap api suci dan para ta­mu yang duduk di kursi plastik dan calon suami­­nya, anak lelaki berusia sepuluh tahun yang mengenakan turban berwarna keemasan.!break!

Reaksi spontan orang luar untuk me­nyelamatkan para pe­ngantin belia ini dapat begitu kuat: Culik si anak, tinju orang de­wasa di dekatnya sampai terjengkang, lalu kabur. Pokoknya halal­kan segala cara untuk meng­hentikan per­kawinan itu. Di dinding di atas meja kerja, saya menempelkan foto Rajani pada malam per­kawinannya. Dalam foto itu hari sudah senja, enam jam sebelum acara, dan wajahnya menoleh ke kamera, mata­nya lebar dan tatapannya lugu, seakan hen­dak tersenyum. Saya masih ingat khayalan saya yang berkobar di dalam dada untuk me­nyelamatkannya pada malam itu—bukan hanya Rajani, yang bisa saya panggul dan bawa sendiri, tetapi juga kakak-beradik yang berusia 13 dan 15 tahun itu, yang dipindahtangankan seperti barang da­gang­an, dari satu keluarga ke keluarga lain, karena sekelompok lelaki dewasa merasa berhak mengatur masa depan mereka.

Orang-orang yang mendedikasikan waktu mereka untuk mencegah pernikahan belia, dan untuk meningkatkan kehidupan kaum pe­­rempuan dalam masyarakat yang “kolot”, ada­lah pihak pertama yang menolak keras pe­mikiran angkuh orang luar yang me­ngata­kan bahwa perjuangan mereka sangat se­derhana. Perkawinan dini-paksa me­rupakan tradisi yang tetap ber­langsung sampai sekarang di berbagai pen­juru dunia—diatur oleh orang tua untuk anak mereka sendiri, sering kali se­cara sadar melanggar hukum negara, dan di­maklumi seluruh masyarakat sebagai cara yang baik bagi anak perempuan untuk tumbuh dewasa jika dibandingkan dengan cara lain yang tidak berterima, terutama jika mereka menghadapi risiko kehilangan keperawanan karena di­renggut oleh lelaki yang bukan suaminya.

Perkawinan belia terdapat di berbagai benua, bahasa, agama, kasta. Di India, anak perempuan biasanya ditunangkan dengan anak laki-laki yang usianya lebih tua empat atau lima tahun; di Yaman, Afghanistan, dan sejumlah negara lain yang angka perkawinan dininya tinggi, sosok suami bisa pemuda atau duda separuh baya atau penculik yang mula-mula memperkosa dan kemudian memperistri korbannya, se­bagaimana kebiasaan di wilayah tertentu di Etiopia. Beberapa di antara perkawinan ini merupakan transaksi bisnis: utang yang dilunasi dengan pengantin berusia 8 tahun; perseteruan keluarga yang diselesaikan dengan pemberian saudara sepupu yang masih perawan dan ber­usia 12 tahun. Perkawinan ini, apabila ter­ungkap ke publik, menjadi bahan berita yang membuat dunia geram. Drama kehidupan pada 2008 yang dialami Nujood Ali, gadis Yaman berusia 10 tahun yang menempuh sen­diri perjalanan menuju pengadilan kota untuk mengajukan cerai dari seorang lelaki berusia 30 tahun, yang dinikahinya karena dipaksa ayahnya, menjadi buah bibir di seluruh dunia dan diterbitkan sebagai buku yang diterjemahkan ke dalam 30 bahasa: Saya Nujood, Usia 10 dan Janda.

Namun, di lingkungan segelintir masyarakat yang terbiasa melangsungkan pernikahan dini yang diatur orang tua—di antara kaum perempuan di permukiman tempat tinggal Rajani, misalnya—pada titik yang ekstrem amatlah sulit menentukan bahwa perkawinan tersebut adalah sesuatu yang salah. Padahal, pendidikan mereka pasti berakhir, bukan hanya oleh pernikahan, tetapi juga oleh sistem sekolah desa, yang biasanya menyediakan pendidikan hanya sampai kelas lima. Setelah itu, ada bus yang setiap hari menuju kota, dijejali kaum lelaki pemangsa. Sekolah menengah di akhir per­jalanan dengan bus itu biasanya tidak di­lengkapi dengan kamar kecil berpintu sehingga para gadis remaja itu tidak punya tempat untuk membersihkan diri saat sedang haid. Dan untuk bersekolah dibutuhkan uang, yang oleh keluarga yang menganut kepraktisan pastilah ditabung dan diperuntukkan bagi anak-anak lelaki, yang dianggap lebih mudah mendatangkan uang untuk keluarga. Di India, para istri baru pada umumnya meninggalkan rumah dan pindah ke rumah keluarga suaminya, isti­lah­nya paraya dhan dalam bahasa Hindi yang mengacu kepada anak perempuan yang masih tinggal bersama orang tuanya. Ter­jemahan bebasnya adalah “harta orang lain”.!break!

Hakikat dasar bahwa anak gadis berhak me­milih pasangannya sendiri—bahwa memilih orang untuk dijadikan suami dan tempat ting­gal semestinya menjadi keputusan sendiri, ber­dasarkan cinta dan keinginan sendiri—ma­sih dianggap sebagai buah pikiran yang tidak masuk akal di sebagian penjuru dunia. Di sebagian besar wilayah India, misalnya, ke­banyakan per­kawinan masih diatur orang tua. Perkawinan yang kokoh dipandang sebagai pe­nyatuan dua keluarga, bukan dua insan. Di­­yakini bahwa hal ini harus dirundingkan dengan saksama oleh para sesepuh, bukan oleh anak-anak muda yang mengikuti hasrat hati semata yang bersifat sementara.

Jadi, dalam masyarakat yang sangat miskin, yang me­ng­anggap gadis yang sudah tidak perawan tidak lagi layak menikah—para nenek dan saudara nenek mendesak dilakukannya perkawinan belia, bahkan bersikeras; “karena saya menikah dengan cara ini, maka cucu saya juga harus me­lakukan hal yang sama”—bisa dimaklumi bagaimana para pendukung anti-perkawinan-dini yang paling bersemangat pun jadi ragu dan berusaha mencari celah. “Seorang pegawai kami kebingungan didatangi ayah seorang gadis belia,” kata Sreela Das Gupta, ahli ke­sehatan asal New Delhi yang pernah bekerja di In­ter­­national Center for Research on Women (ICRW), yayasan nirlaba tingkat dunia yang aktif menentang pernikahan dini. “Si ayah berkata, ‘Kalau saya setuju putri saya dinikahkan setelah dia lebih besar, bersediakah Anda mengambil alih tanggung jawab untuk melindunginya?’ Pegawai itu menemui kami kembali dan berkata, ‘Apa yang harus saya ka­ta­kan kepada si ayah seandainya anaknya itu diperkosa pada usia 14 tahun?’ Kami tidak dapat menjawabnya.”

Saya mendengar cerita tentang tikus dan gajah di daerah terpencil di Yaman barat, dalam perjalanan bersama seorang pria ber­nama Mu­hammad, yang menawarkan diri untuk meng­antar kami ke sebuah desa di sekitar situ. “Kejadian di desa itu membuat saya prihatin,” katanya. “Ada seorang gadis di situ, bernama Aisyah.” Dia sangat geram. “Usianya baru 10 tahun,” katanya. “Perawakannya mungil. Lelaki yang menikahinya berusia 50 tahun, berperut gendut sebesar ini.” Dia melingkarkan tangannya ke depan badan­nya. “Seperti tikus kawin dengan gajah.”