Pernikahan Dini

By , Rabu, 25 Mei 2011 | 13:57 WIB

Hari sudah agak sore ketika tiga pengantin putri belia di Rajasthan mandi dan ber­pakaian, mempersiapkan diri untuk menjalani upacara sakral. Mengingat perkawinan itu melanggar hukum dan dirahasiakan, kecuali bagi para tamu undangan, upacara perkawinan di permukiman pertanian gersang di utara India itu biasanya dilangsungkan pada malam hari. Ketiganya berjongkok bersebelahan di luar rumah. Beberapa perempuan desa mem­bentangkan kain sari mengelilingi mereka, seperti tirai darurat, lalu menuangkan air sabun dari panci logam ke atas kepala mereka. Dua orang pengantin, kakak-beradik Radha dan Gora, berusia 15 dan 13 tahun, sudah cukup besar sehingga memahami kejadian yang tengah berlangsung itu. Pengantin yang ke­tiga, keponakan mereka, Rajani, baru berusia 5 tahun. Dia mengenakan kaus merah muda bergambar kupu-kupu di bahu. Se­orang pe­rempuan dewasa membantunya me­lepaskan kaus itu agar dia bisa dimandikan.

Para pengantin pria sedang dalam perjalanan dari desa mereka dan diperkirakan tiba dengan hati riang dan mabuk. Satu-satunya orang di situ yang pernah bertemu dengan para pengantin pria adalah ayah kedua ga­dis remaja itu, seorang petani yang sudah beruban, bertubuh langsing dan tegak, serta ber­kumis panjang. Petani ini, sebut saja Pak M, tampak bangga sekaligus khawatir saat meng­awasi para tamu yang berjalan mengular me­nyusuri jalan berbatu menuju tenda dari kain sutra berwarna cerah. Dia tahu bahwa jika polisi yang tidak mempan suap tahu apa yang sedang berlangsung, upacara perkawinan itu bisa saja dihentikan, keluarganya ditahan dan terpaksa menanggung malu berkepanjangan.

Rajani adalah cucu Pak M, anak putri su­lung­nya yang sudah menikah. Matanya bulat co­kelat, hidungnya kecil pesek, dan kulitnya cokelat susu. Dia tinggal bersama kakek dan ne­neknya. Menurut penduduk desa, Pak M ini­lah yang paling menyayangi Rajani; buktinya dia mencarikan pengantin pria untuknya dari ke­luarga terpandang yang juga akan menikahi bibinya, Radha. Dengan demikian, Rajani tidak akan kesepian setelah melakukan gauna, upacara di India yang menandai kepindahan pengantin perempuan dari rumah keluarganya ke rumah keluarga suaminya. Apabila perempuan India menikah saat masih anak-anak, upacara gauna berlangsung setelah si anak mencapai usia akil balig, sehingga Rajani akan tinggal bersama ka­kek dan neneknya selama beberapa tahun lagi—dan Pak M melakukan hal yang baik untuk me­lindungi anak ini sampai masa akil balig, kata penduduk desa, dengan menunjukkan ke­pada umum bahwa anak itu sudah menikah.!break!

Kami menatap Rajani yang berusia 5 tahun itu dengan perasaan galau saat semakin jelas bahwa anak kecil berkaus, yang kaki telanjangnya di­bungkus kain tebal, juga akan menjadi pengantin pada upacara tengah malam itu. Pria yang mengantarkan kami ke desa itu, saudara sepupu Pak M, hanya memberi tahu bahwa ada upacara perkawinan yang di­rencanakan untuk dua orang gadis remaja ka­kak-beradik.

Informasi itu pun sebetulnya riskan untuk diungkapkan karena gadis India dilarang menikah sebelum berusia 18 tahun. Namun, cara yang digunakan untuk membuat penegak hukum menutup mata terhadap per­kawinan ilegal ini—persekutuan dengan te­tangga, imbauan un­tuk menghormati nama baik keluarga—le­bih mudah dilakukan apabila gadis yang di­­tunang­kan itu setidaknya sudah akil balig. Anak perempuan yang masih kecil biasanya di­tambahkan diam-diam. Nama mereka tidak tercantum pada kar­tu undangan dan tidak disebut-sebut dalam per­kawinan mereka sendiri.

Rajani su­dah terlelap sebelum acara dimulai. Se­orang paman memanggulnya dari tempat tidur dengan penuh kasih, memangkunya, lalu mem­­bawanya dalam cahaya bulan menuju pen­­deta Hindu dan asap api suci dan para ta­mu yang duduk di kursi plastik dan calon suami­­nya, anak lelaki berusia sepuluh tahun yang mengenakan turban berwarna keemasan.!break!

Reaksi spontan orang luar untuk me­nyelamatkan para pe­ngantin belia ini dapat begitu kuat: Culik si anak, tinju orang de­wasa di dekatnya sampai terjengkang, lalu kabur. Pokoknya halal­kan segala cara untuk meng­hentikan per­kawinan itu. Di dinding di atas meja kerja, saya menempelkan foto Rajani pada malam per­kawinannya. Dalam foto itu hari sudah senja, enam jam sebelum acara, dan wajahnya menoleh ke kamera, mata­nya lebar dan tatapannya lugu, seakan hen­dak tersenyum. Saya masih ingat khayalan saya yang berkobar di dalam dada untuk me­nyelamatkannya pada malam itu—bukan hanya Rajani, yang bisa saya panggul dan bawa sendiri, tetapi juga kakak-beradik yang berusia 13 dan 15 tahun itu, yang dipindahtangankan seperti barang da­gang­an, dari satu keluarga ke keluarga lain, karena sekelompok lelaki dewasa merasa berhak mengatur masa depan mereka.

Orang-orang yang mendedikasikan waktu mereka untuk mencegah pernikahan belia, dan untuk meningkatkan kehidupan kaum pe­­rempuan dalam masyarakat yang “kolot”, ada­lah pihak pertama yang menolak keras pe­mikiran angkuh orang luar yang me­ngata­kan bahwa perjuangan mereka sangat se­derhana. Perkawinan dini-paksa me­rupakan tradisi yang tetap ber­langsung sampai sekarang di berbagai pen­juru dunia—diatur oleh orang tua untuk anak mereka sendiri, sering kali se­cara sadar melanggar hukum negara, dan di­maklumi seluruh masyarakat sebagai cara yang baik bagi anak perempuan untuk tumbuh dewasa jika dibandingkan dengan cara lain yang tidak berterima, terutama jika mereka menghadapi risiko kehilangan keperawanan karena di­renggut oleh lelaki yang bukan suaminya.

Perkawinan belia terdapat di berbagai benua, bahasa, agama, kasta. Di India, anak perempuan biasanya ditunangkan dengan anak laki-laki yang usianya lebih tua empat atau lima tahun; di Yaman, Afghanistan, dan sejumlah negara lain yang angka perkawinan dininya tinggi, sosok suami bisa pemuda atau duda separuh baya atau penculik yang mula-mula memperkosa dan kemudian memperistri korbannya, se­bagaimana kebiasaan di wilayah tertentu di Etiopia. Beberapa di antara perkawinan ini merupakan transaksi bisnis: utang yang dilunasi dengan pengantin berusia 8 tahun; perseteruan keluarga yang diselesaikan dengan pemberian saudara sepupu yang masih perawan dan ber­usia 12 tahun. Perkawinan ini, apabila ter­ungkap ke publik, menjadi bahan berita yang membuat dunia geram. Drama kehidupan pada 2008 yang dialami Nujood Ali, gadis Yaman berusia 10 tahun yang menempuh sen­diri perjalanan menuju pengadilan kota untuk mengajukan cerai dari seorang lelaki berusia 30 tahun, yang dinikahinya karena dipaksa ayahnya, menjadi buah bibir di seluruh dunia dan diterbitkan sebagai buku yang diterjemahkan ke dalam 30 bahasa: Saya Nujood, Usia 10 dan Janda.

Namun, di lingkungan segelintir masyarakat yang terbiasa melangsungkan pernikahan dini yang diatur orang tua—di antara kaum perempuan di permukiman tempat tinggal Rajani, misalnya—pada titik yang ekstrem amatlah sulit menentukan bahwa perkawinan tersebut adalah sesuatu yang salah. Padahal, pendidikan mereka pasti berakhir, bukan hanya oleh pernikahan, tetapi juga oleh sistem sekolah desa, yang biasanya menyediakan pendidikan hanya sampai kelas lima. Setelah itu, ada bus yang setiap hari menuju kota, dijejali kaum lelaki pemangsa. Sekolah menengah di akhir per­jalanan dengan bus itu biasanya tidak di­lengkapi dengan kamar kecil berpintu sehingga para gadis remaja itu tidak punya tempat untuk membersihkan diri saat sedang haid. Dan untuk bersekolah dibutuhkan uang, yang oleh keluarga yang menganut kepraktisan pastilah ditabung dan diperuntukkan bagi anak-anak lelaki, yang dianggap lebih mudah mendatangkan uang untuk keluarga. Di India, para istri baru pada umumnya meninggalkan rumah dan pindah ke rumah keluarga suaminya, isti­lah­nya paraya dhan dalam bahasa Hindi yang mengacu kepada anak perempuan yang masih tinggal bersama orang tuanya. Ter­jemahan bebasnya adalah “harta orang lain”.!break!

Hakikat dasar bahwa anak gadis berhak me­milih pasangannya sendiri—bahwa memilih orang untuk dijadikan suami dan tempat ting­gal semestinya menjadi keputusan sendiri, ber­dasarkan cinta dan keinginan sendiri—ma­sih dianggap sebagai buah pikiran yang tidak masuk akal di sebagian penjuru dunia. Di sebagian besar wilayah India, misalnya, ke­banyakan per­kawinan masih diatur orang tua. Perkawinan yang kokoh dipandang sebagai pe­nyatuan dua keluarga, bukan dua insan. Di­­yakini bahwa hal ini harus dirundingkan dengan saksama oleh para sesepuh, bukan oleh anak-anak muda yang mengikuti hasrat hati semata yang bersifat sementara.

Jadi, dalam masyarakat yang sangat miskin, yang me­ng­anggap gadis yang sudah tidak perawan tidak lagi layak menikah—para nenek dan saudara nenek mendesak dilakukannya perkawinan belia, bahkan bersikeras; “karena saya menikah dengan cara ini, maka cucu saya juga harus me­lakukan hal yang sama”—bisa dimaklumi bagaimana para pendukung anti-perkawinan-dini yang paling bersemangat pun jadi ragu dan berusaha mencari celah. “Seorang pegawai kami kebingungan didatangi ayah seorang gadis belia,” kata Sreela Das Gupta, ahli ke­sehatan asal New Delhi yang pernah bekerja di In­ter­­national Center for Research on Women (ICRW), yayasan nirlaba tingkat dunia yang aktif menentang pernikahan dini. “Si ayah berkata, ‘Kalau saya setuju putri saya dinikahkan setelah dia lebih besar, bersediakah Anda mengambil alih tanggung jawab untuk melindunginya?’ Pegawai itu menemui kami kembali dan berkata, ‘Apa yang harus saya ka­ta­kan kepada si ayah seandainya anaknya itu diperkosa pada usia 14 tahun?’ Kami tidak dapat menjawabnya.”

Saya mendengar cerita tentang tikus dan gajah di daerah terpencil di Yaman barat, dalam perjalanan bersama seorang pria ber­nama Mu­hammad, yang menawarkan diri untuk meng­antar kami ke sebuah desa di sekitar situ. “Kejadian di desa itu membuat saya prihatin,” katanya. “Ada seorang gadis di situ, bernama Aisyah.” Dia sangat geram. “Usianya baru 10 tahun,” katanya. “Perawakannya mungil. Lelaki yang menikahinya berusia 50 tahun, berperut gendut sebesar ini.” Dia melingkarkan tangannya ke depan badan­nya. “Seperti tikus kawin dengan gajah.”

Muhammad menjelaskan bahwa tata cara itu disebut shighar, yakni dua orang lelaki saling memberikan pengantin dengan bertukar ke­rabat perempuan mereka. “Para lelaki ini me­nikahi anak perempuan temannya,” kata Mu­hammad. “Jika usia si suami dan si istri baru itu wajar di mata masyarakat, rasanya tidak akan ada orang yang melaporkannya. Tetapi, anak perempuan semestinya tidak dinikahkan saat usia mereka masih 9 atau 10 tahun. Mungkin nanti kalau usianya sudah 15 atau 16 tahun.”Lima puluh keluarga tinggal di rumah dari batu dan beton di desa yang kami kunjungi. Kepala daerahnya, atau sheikh, menjejalkan pon­sel di balik sabuknya di samping pisau be­lati tradisional Yaman. Dia menunjukkan ru­mah berlangit-langit rendah yang dipenuhi pe­rempuan, bayi, dan anak perempuan. Sheikh berjongkok di tengah, mengerutkan dahi  dan menyela. Dia menatap saya dengan pandangan curiga. “Anda punya anak?” tanyanya.!break!

Dua, jawab saya, dan sheikh tampak heran dan kecewa. “Hanya dua?” Dia menganggukkan kepala ke seorang perempuan muda yang se­dang menyusui bayi yang dipangkunya dengan satu tangan, sambil tangan yang lain te­rentang menghalangi dua anak lain agar tidak mengganggu si bayi. “Perempuan muda ini usia­nya 26 tahun,” katanya. “Anaknya sepuluh.”Namanya Suad, putri sheikh. Suad dinikahkan pada usia 14 tahun dengan sepupu yang dipilihkan ayahnya. “Saya me­nyukainya,” kata Suad dengan suara lirih, se­mentara sheikh menatapnya dengan tajam. “Saya bahagia.”

Sheikh menyampaikan berbagai pernyataan tentang perkawinan. Katanya, tidak ada ayah yang memaksa anak perempuannya menikah kalau si anak tidak mau. Katanya, bahaya medis tentang melahirkan pada usia belia terlalu di­besar-besarkan. Malam pertama, ujarnya lagi, bisa jadi pengalaman yang sulit, dari sudut pandang pengantin perempuan, tapi itu tidak perlu dirisaukan. “Tentu saja setiap anak pe­rempuan pasti takut menghadapi malam per­tamanya,” kata sheikh. “Lama-lama juga terbiasa, dan kehidupan berjalan terus.”

Ponselnya berdering. Dia mengambilnya dari balik sabuk, lalu melangkah keluar. Saya lepaskan selendang yang menutupi rambut saya, isyarat yang pernah dilakukan juru bahasa saya ketika para lelaki pergi dan obrolan akrab dengan para wanita itu dimulai. Dengan cepat kami mengajukan pertanyaan, Bagaimana kalian mempersiapkan diri untuk menghadapi malam pertama? Apakah diberi penjelasan tentang apa yang akan dialami?Para wanita itu memandang sekilas ke pintu, dan tampak sheikh sedang sibuk berbicara di ponselnya. Mereka mencondongkan badan ke depan. “Anak perempuan tidak tahu apa-apa,” kata seorang wanita. “Kaum lelaki yang tahu, dan mereka memaksa istrinya bersanggama.”

Dapatkah mereka menceritakan kisah Aisyah dan suaminya yang berusia 50 tahun dan ber­tubuh besar seperti gajah? Para wanita itu be­rebutan menjawab dengan penuh semangat: Sung­guh memilukan; seharusnya dilarang, te­tapi mereka tidak berdaya menghentikan perkawinan itu. Aisyah yang masih kecil itu menjerit-jerit ketika melihat lelaki yang akan menjadi suaminya, kata seorang wanita muda bernama Fatima, yang ternyata kakak Ai­syah. Ada yang memberi tahu polisi, tetapi ayah­nya menyuruh Aisyah mengenakan sepatu ber­hak tinggi agar tampak lebih tinggi, dan mengenakan cadar untuk menyembunyikan wajah­nya. Si ayah mengancam bahwa jika dia dipenjara, dia akan membunuh Aisyah setelah keluar dari penjara. Polisi pergi tanpa menahan siapa pun, dan sekarang—para wanita itu ber­kata dengan cepat dan dengan suara lirih, sebab tampaknya sheikh sudah selesai bicara di ponsel—Aisyah tinggal di desa yang berjarak dua jam perjalanan, sudah menikah.

“Dia punya ponsel,” kata Fatima. “Setiap hari dia menelepon saya sambil menangis.”!break!

“Sekiranya pernikahan dini itu berbahaya, Allah pasti melarangnya,” demikian kata ang­gota parlemen Yaman bernama Muhammad Al-Hamzi kepada saya di ibu kota Sanaa. “Sesuatu yang tidak dilarang oleh Allah tentu tidak dapat kami larang.” Al-Hamzi, yang taat beragama dan berpandangan konservatif, dengan gencar menentang rancangan undang-undang Yaman untuk melarang perkawinan anak perempuan yang berusia di bawah umur tertentu (17 tahun menurut undang-undang terbaru), dan sampai sekarang RUU itu belum disetujui. Islam tidak mengizinkan hubungan seksual sebelum anak perempuan siap secara fisik, katanya, tetapi Al Quran tidak mencantumkan batasan usia tertentu sehingga hal ini diputuskan dalam ke­luarga dengan bimbingan dari pemimpin agama, bukan oleh negara. Lagi pula, ada kisah tentang Aisyah, istri tercinta Nabi Muhammad—sembilan tahun, menurut hadis, saat mengalami malam pertama perkawinannya.

Muslim Yamani lainnya menceritakan kepada saya pendapat para ahli sejarah yang mengatakan bahwa Aisyah sebetulnya berusia lebih tua ketika mengalami sanggama pertamanya—mungkin sudah remaja, mungkin berusia 20 tahun atau lebih. Berapa pun usianya sebetulnya tidak penting, mereka menambahkan dengan tegas; lelaki masa kini yang memaksa ingin menikahi anak perempuan jelas menyalahi ke­yakinan Islam. “Dalam Islam, tubuh manusia sangat berharga,” kata Najeeb Saeed Ghanem, Ketua Komite Kesehatan dan Kependudukan di Parlemen Yaman.

Dia mengemukakan beberapa konsekuensi medis jika anak perempuan dipaksa berhubungan seks dan melahirkan sebelum tubuh mereka siap: Dinding vagina yang koyak. Fistula, robekan internal yang bisa menyebabkan kesulitan me­ngendalikan keinginan untuk buang air, untuk selamanya. Anak perempuan yang men­jalani proses persalinan juga masih harus men­dapatkan penjelasan tentang mekanisme reproduksi. “Perawat mulai menjelaskan dengan bertanya, ‘Kamu tahu apa yang sedang terjadi?’” begitu kata seorang dokter anak di Sanaa kepada saya. “‘Apakah kamu mengerti bahwa bayi ini tumbuh di dalam badanmu?’”

Masyarakat Yaman tidak terbiasa mem­bicarakan seks secara terbuka, bahkan di kalangan ibu-anak perempuan berpendidikan. Keberadaan perkawinan belia jarang di­bicarakan secara terbuka sampai tiga tahun yang lalu, ketika Nujood Ali yang baru berusia 10 tahun mendadak menjadi pendekar anti-perkawinan-belia yang paling terkenal di dunia.Di mata orang Yaman, yang mencengangkan dalam kisah Nujood ini bukanlah bahwa ayahnya memaksanya me­nikah dengan lelaki yang berusia tiga kali lipat usianya; bukan juga bahwa lelaki itu me­maksanya berhubungan seks pada malam pertama, meskipun lelaki itu sudah berjanji untuk menunggu sampai Nujood lebih besar, sehingga keesokan paginya mertua dan kakak ipar Nujood memeriksa seprai berdarah dengan gembira sebelum mengangkatnya dari tempat tidur untuk memandikannya. Bukan itu. Hal-hal itu bukan sesuatu yang aneh bagi mereka. Yang mencengangkan adalah bahwa Nujood melakukan perlawanan.!break!

“Kasus Nujood ibarat kerikil yang meng­ganggu ketenangan air kolam,” kata salah seorang wartawan Yaman yang mulai menulis tentang Nujood setelah dia datang sendirian ke gedung pengadilan di Sanaa. Dia melarikan diri dari suaminya dan pulang ke rumahnya sendiri. Dia menolak untuk mematuhi ayahnya ketika sang ayah memarahinya, mengatakan bahwa kehormatan keluarga ditentukan oleh kepatuhannya menjalankan kewajiban sebagai seorang istri. Ibunya begitu ketakutan, sehingga tidak berani melindunginya. Istri ke­dua ayahnyalah yang akhirnya merestui Nu­jood dan memberinya uang untuk naik taksi dan memberi tahu ke mana dia harus pergi, dan ketika seorang hakim yang tercengang menyapanya dan menanyakan mengapa dia berada sendirian di gedung pengadilan di kota besar, Nujood menjawab bahwa dia ingin bercerai. Seorang pengacara wanita Yaman yang terpandang bersedia menangani kasus Nujood. Kisah baru pun mulai bermunculan dalam bahasa Inggris, mula-mula di Yaman dan kemudian merebak ke dunia internasional. Baik tajuk berita maupun sosok Nujood memang sangat menarik, dan ketika akhirnya dia memenangi tuntutannya untuk bercerai, hadirin di gedung pengadilan Sanaa bertepuk tangan dengan penuh semangat. Nujood di­undang ke AS, mendapat pujian di hadapan makin banyak orang yang memuji keberaniannya.

Setiap orang yang bertemu dengan Nu­jood terkesan oleh sikapnya yang serius dan ketegarannya. Ketika saya menemuinya di sebuah kantor surat kabar di Sanaa, dia mengenakan abaya hitam ukuran anak kelas tiga, gaun yang lazim dikenakan wanita Yaman dewasa di depan umum. Meski dia sudah pernah melintasi Atlantik dan sudah pulang dan dicecar banyak pertanyaan oleh banyak orang dewasa yang penasaran, dia tampil ramah dan terus terang seakan pertanyaan saya adalah pertanyaan baru baginya. Katanya, dia sudah tinggal di rumahnya lagi dan kembali bersekolah (ayahnya, yang menjadi bulan-bu­lan­an masyarakat, dengan enggan terpaksa me­nerimanya kembali).

Dalam buku catatan hariannya dia menulis surat terbuka yang di­tujukan kepada para orang tua Yaman: “Ja­ngan biarkan anak kalian menikah. Kalian meng­ganggu pendidikannya, dan kalian meng­hancurkan masa kecilnya jika kalian me­maksanya menikah muda.”!break!

Sebagai bagian dari gerakan internasional menentang pernikahan dini, yang paling be­rani dan tegar adalah anak-anak perempuan yang menjadi korban; setiap kisah mereka meng­ilhami pemberontakan baru yang lahir kemudian. Di Yaman, saya bertemu dengan Reem yang berusia 12 tahun, yang berhasil bercerai beberapa bulan setelah perceraian Nujood. Dalam kasusnya, dia berhasil me­ngalahkan seorang hakim keras kepala yang ber­sikukuh, dengan argumen ironis dan meng­gelikan, bahwa pengantin baru yang masih belia belum cukup dewasa untuk mengambil keputusan soal perceraian. Di India, saya ber­temu dengan Sunil yang berusia 13 tahun, yang pada usia 11 tahun bersikeras melawan orang tuanya dengan mengatakan akan me­nolak dinikahkan dengan pengantin pria yang akan segera tiba. Kalau mereka berusaha memaksanya, katanya, dia akan melaporkan mereka ke polisi.

Upaya untuk merangkul lebih banyak anak perempuan di bawah umur dan keluarga me­reka membidik lebih dari sekadar pernikahan dini yang paling mudah membangkitkan ke­geraman masyarakat. Saranga Jain, pakar ke­sehatan remaja mengatakan “Kami ingin menegaskan kembali masalah ini, bukan hanya menyangkut anak perempuan yang masih sangat belia.”

Dari sudut pandang ICRW, perkawinan remaja di bawah usia 18 tahun adalah per­kawin­an dini, dan meski jumlah pastinya mustahil di­ketahui, para peneliti memperkirakan bahwa setiap tahun 10 hingga 12 juta anak perempuan di negara berkembang menikah pada usia se­muda itu. Upaya untuk menurunkan jumlah ini memperhitungkan berbagai faktor penyebab yang memaksa anak remaja menikah dan mulai hamil, sehingga menghilangkan peluangnya untuk mendapatkan pendidikan lebih tinggi dan upah yang lebih baik. Tekanan tidak hanya berasal dari orang tua yang bersikap seperti dik­tator. Ada kalanya anak perempuan berhenti se­kolah karena mereka mengira memang itulah yang semestinya mereka lakukan atau karena tidak ada pilihan lain. Kemungkinan paling baik, apabila program penundaan-perkawinan berhasil diterapkan dalam masyarakat, adalah memberikan bukti kehidupan yang lebih baik, bukan mempermalukan atau menyalahkan ma­­sya­rakat: pemberian insentif langsung agar anak perempuan tetap diperbolehkan se­kolah, di samping tersedianya gedung sekolah agar mereka dapat bersekolah.

India melatih pamong kesehatan desa yang disebut sathin, yang bertugas memantau kesejahteraan ke­luar­ga di suatu daerah. Tugas mereka ter­masuk mengingatkan penduduk desa bahwa per­kawinan belia tidak saja melanggar hu­kum, tetapi juga amat mencederai anak perempuan mereka.“Jika kami mengambil anak itu dan men­­jauhkannya dari masyarakatnya, akan seperti apakah kehidupannya?” tanya Molly Melching, pendiri organisasi Tostan yang berbasis di Senegal, yang meraih penghargaan internasional karena menggalakkan program penundaan perkawinan dini yang disusun sen­diri oleh masyarakat. Para petugas Tos­tan menganjurkan masyarakat untuk me­ngumumkan harapan mereka untuk anak-anak mereka di hadapan publik sehingga tidak ada lagi anak perempuan yang dikucilkan gara-gara tidak menikah muda.!break!

“Cara untuk mengubah kebiasaan masya­rakat bukan dengan menentang mereka atau mempermalukan orang dan mengatakan me­reka terbelakang. Kami sudah menyaksikan bahwa seluruh masyarakat dapat dengan cepat memilih untuk berubah,” kata Melching.Satu-satunya orang yang memberikan pen­jelasan gamblang tentang betapa sulitnya tumbuh dewasa se­cara mandiri dan terhormat di lingkungan masyarakat penganut perkawinan dini adalah anak perempuan Rajasthan berusia 17 tahun bernama Shobha Choudhary. Alisnya tebal, postur tubuhnya tegak, dan rambut hitamnya yang berkilau disisir ekor kuda. Di desanya, beberapa tahun yang lalu, dia menarik perhatian Proyek Veerni, yang menyediakan pendidikan gratis di sekolah-berasrama milik mereka di kota Jodhpur. Shobha sudah menikah dan dinikahkan ketika berusia delapan tahun. “Saya merasa senang-senang saja waktu itu.”

Sejauh ini Shoba berhasil menunda upacara gauna. “Pada akhirnya saya harus tinggal ber­samanya. Akan saya minta dia belajar dan berpikiran terbuka. Tetapi, saya tidak akan meninggalkannya.” Dia ingin meneruskan pendidikannya ke perguruan tinggi, katanya, dan segera memenuhi syarat untuk menjadi polisi India agar dapat menegakkan undang-undang yang melarang perkawinan belia.Belum lama ini juru bahasa Hindi yang pernah menemani saya di Jodhpur meminjam kamera video dan berbicara dengan Shoba di sebuah kafe di kota. Dua hari setelah saya menerima video itu, ada berita dari Yaman: ada pengantin perempuan dari sebuah desa masuk rumah sakit Sanaa empat hari setelah hari pernikahannya. Sanggama tampaknya telah merobek organ dalam anak perempuan itu, kata petugas rumah sakit. Dia meninggal karena perdarahan. Usianya 13 tahun.