Muhammad menjelaskan bahwa tata cara itu disebut shighar, yakni dua orang lelaki saling memberikan pengantin dengan bertukar kerabat perempuan mereka. “Para lelaki ini menikahi anak perempuan temannya,” kata Muhammad. “Jika usia si suami dan si istri baru itu wajar di mata masyarakat, rasanya tidak akan ada orang yang melaporkannya. Tetapi, anak perempuan semestinya tidak dinikahkan saat usia mereka masih 9 atau 10 tahun. Mungkin nanti kalau usianya sudah 15 atau 16 tahun.”Lima puluh keluarga tinggal di rumah dari batu dan beton di desa yang kami kunjungi. Kepala daerahnya, atau sheikh, menjejalkan ponsel di balik sabuknya di samping pisau belati tradisional Yaman. Dia menunjukkan rumah berlangit-langit rendah yang dipenuhi perempuan, bayi, dan anak perempuan. Sheikh berjongkok di tengah, mengerutkan dahi dan menyela. Dia menatap saya dengan pandangan curiga. “Anda punya anak?” tanyanya.!break!
Dua, jawab saya, dan sheikh tampak heran dan kecewa. “Hanya dua?” Dia menganggukkan kepala ke seorang perempuan muda yang sedang menyusui bayi yang dipangkunya dengan satu tangan, sambil tangan yang lain terentang menghalangi dua anak lain agar tidak mengganggu si bayi. “Perempuan muda ini usianya 26 tahun,” katanya. “Anaknya sepuluh.”Namanya Suad, putri sheikh. Suad dinikahkan pada usia 14 tahun dengan sepupu yang dipilihkan ayahnya. “Saya menyukainya,” kata Suad dengan suara lirih, sementara sheikh menatapnya dengan tajam. “Saya bahagia.”
Sheikh menyampaikan berbagai pernyataan tentang perkawinan. Katanya, tidak ada ayah yang memaksa anak perempuannya menikah kalau si anak tidak mau. Katanya, bahaya medis tentang melahirkan pada usia belia terlalu dibesar-besarkan. Malam pertama, ujarnya lagi, bisa jadi pengalaman yang sulit, dari sudut pandang pengantin perempuan, tapi itu tidak perlu dirisaukan. “Tentu saja setiap anak perempuan pasti takut menghadapi malam pertamanya,” kata sheikh. “Lama-lama juga terbiasa, dan kehidupan berjalan terus.”
Ponselnya berdering. Dia mengambilnya dari balik sabuk, lalu melangkah keluar. Saya lepaskan selendang yang menutupi rambut saya, isyarat yang pernah dilakukan juru bahasa saya ketika para lelaki pergi dan obrolan akrab dengan para wanita itu dimulai. Dengan cepat kami mengajukan pertanyaan, Bagaimana kalian mempersiapkan diri untuk menghadapi malam pertama? Apakah diberi penjelasan tentang apa yang akan dialami?Para wanita itu memandang sekilas ke pintu, dan tampak sheikh sedang sibuk berbicara di ponselnya. Mereka mencondongkan badan ke depan. “Anak perempuan tidak tahu apa-apa,” kata seorang wanita. “Kaum lelaki yang tahu, dan mereka memaksa istrinya bersanggama.”
Dapatkah mereka menceritakan kisah Aisyah dan suaminya yang berusia 50 tahun dan bertubuh besar seperti gajah? Para wanita itu berebutan menjawab dengan penuh semangat: Sungguh memilukan; seharusnya dilarang, tetapi mereka tidak berdaya menghentikan perkawinan itu. Aisyah yang masih kecil itu menjerit-jerit ketika melihat lelaki yang akan menjadi suaminya, kata seorang wanita muda bernama Fatima, yang ternyata kakak Aisyah. Ada yang memberi tahu polisi, tetapi ayahnya menyuruh Aisyah mengenakan sepatu berhak tinggi agar tampak lebih tinggi, dan mengenakan cadar untuk menyembunyikan wajahnya. Si ayah mengancam bahwa jika dia dipenjara, dia akan membunuh Aisyah setelah keluar dari penjara. Polisi pergi tanpa menahan siapa pun, dan sekarang—para wanita itu berkata dengan cepat dan dengan suara lirih, sebab tampaknya sheikh sudah selesai bicara di ponsel—Aisyah tinggal di desa yang berjarak dua jam perjalanan, sudah menikah.
“Dia punya ponsel,” kata Fatima. “Setiap hari dia menelepon saya sambil menangis.”!break!
“Sekiranya pernikahan dini itu berbahaya, Allah pasti melarangnya,” demikian kata anggota parlemen Yaman bernama Muhammad Al-Hamzi kepada saya di ibu kota Sanaa. “Sesuatu yang tidak dilarang oleh Allah tentu tidak dapat kami larang.” Al-Hamzi, yang taat beragama dan berpandangan konservatif, dengan gencar menentang rancangan undang-undang Yaman untuk melarang perkawinan anak perempuan yang berusia di bawah umur tertentu (17 tahun menurut undang-undang terbaru), dan sampai sekarang RUU itu belum disetujui. Islam tidak mengizinkan hubungan seksual sebelum anak perempuan siap secara fisik, katanya, tetapi Al Quran tidak mencantumkan batasan usia tertentu sehingga hal ini diputuskan dalam keluarga dengan bimbingan dari pemimpin agama, bukan oleh negara. Lagi pula, ada kisah tentang Aisyah, istri tercinta Nabi Muhammad—sembilan tahun, menurut hadis, saat mengalami malam pertama perkawinannya.
Muslim Yamani lainnya menceritakan kepada saya pendapat para ahli sejarah yang mengatakan bahwa Aisyah sebetulnya berusia lebih tua ketika mengalami sanggama pertamanya—mungkin sudah remaja, mungkin berusia 20 tahun atau lebih. Berapa pun usianya sebetulnya tidak penting, mereka menambahkan dengan tegas; lelaki masa kini yang memaksa ingin menikahi anak perempuan jelas menyalahi keyakinan Islam. “Dalam Islam, tubuh manusia sangat berharga,” kata Najeeb Saeed Ghanem, Ketua Komite Kesehatan dan Kependudukan di Parlemen Yaman.
Dia mengemukakan beberapa konsekuensi medis jika anak perempuan dipaksa berhubungan seks dan melahirkan sebelum tubuh mereka siap: Dinding vagina yang koyak. Fistula, robekan internal yang bisa menyebabkan kesulitan mengendalikan keinginan untuk buang air, untuk selamanya. Anak perempuan yang menjalani proses persalinan juga masih harus mendapatkan penjelasan tentang mekanisme reproduksi. “Perawat mulai menjelaskan dengan bertanya, ‘Kamu tahu apa yang sedang terjadi?’” begitu kata seorang dokter anak di Sanaa kepada saya. “‘Apakah kamu mengerti bahwa bayi ini tumbuh di dalam badanmu?’”
Masyarakat Yaman tidak terbiasa membicarakan seks secara terbuka, bahkan di kalangan ibu-anak perempuan berpendidikan. Keberadaan perkawinan belia jarang dibicarakan secara terbuka sampai tiga tahun yang lalu, ketika Nujood Ali yang baru berusia 10 tahun mendadak menjadi pendekar anti-perkawinan-belia yang paling terkenal di dunia.Di mata orang Yaman, yang mencengangkan dalam kisah Nujood ini bukanlah bahwa ayahnya memaksanya menikah dengan lelaki yang berusia tiga kali lipat usianya; bukan juga bahwa lelaki itu memaksanya berhubungan seks pada malam pertama, meskipun lelaki itu sudah berjanji untuk menunggu sampai Nujood lebih besar, sehingga keesokan paginya mertua dan kakak ipar Nujood memeriksa seprai berdarah dengan gembira sebelum mengangkatnya dari tempat tidur untuk memandikannya. Bukan itu. Hal-hal itu bukan sesuatu yang aneh bagi mereka. Yang mencengangkan adalah bahwa Nujood melakukan perlawanan.!break!
“Kasus Nujood ibarat kerikil yang mengganggu ketenangan air kolam,” kata salah seorang wartawan Yaman yang mulai menulis tentang Nujood setelah dia datang sendirian ke gedung pengadilan di Sanaa. Dia melarikan diri dari suaminya dan pulang ke rumahnya sendiri. Dia menolak untuk mematuhi ayahnya ketika sang ayah memarahinya, mengatakan bahwa kehormatan keluarga ditentukan oleh kepatuhannya menjalankan kewajiban sebagai seorang istri. Ibunya begitu ketakutan, sehingga tidak berani melindunginya. Istri kedua ayahnyalah yang akhirnya merestui Nujood dan memberinya uang untuk naik taksi dan memberi tahu ke mana dia harus pergi, dan ketika seorang hakim yang tercengang menyapanya dan menanyakan mengapa dia berada sendirian di gedung pengadilan di kota besar, Nujood menjawab bahwa dia ingin bercerai. Seorang pengacara wanita Yaman yang terpandang bersedia menangani kasus Nujood. Kisah baru pun mulai bermunculan dalam bahasa Inggris, mula-mula di Yaman dan kemudian merebak ke dunia internasional. Baik tajuk berita maupun sosok Nujood memang sangat menarik, dan ketika akhirnya dia memenangi tuntutannya untuk bercerai, hadirin di gedung pengadilan Sanaa bertepuk tangan dengan penuh semangat. Nujood diundang ke AS, mendapat pujian di hadapan makin banyak orang yang memuji keberaniannya.
Setiap orang yang bertemu dengan Nujood terkesan oleh sikapnya yang serius dan ketegarannya. Ketika saya menemuinya di sebuah kantor surat kabar di Sanaa, dia mengenakan abaya hitam ukuran anak kelas tiga, gaun yang lazim dikenakan wanita Yaman dewasa di depan umum. Meski dia sudah pernah melintasi Atlantik dan sudah pulang dan dicecar banyak pertanyaan oleh banyak orang dewasa yang penasaran, dia tampil ramah dan terus terang seakan pertanyaan saya adalah pertanyaan baru baginya. Katanya, dia sudah tinggal di rumahnya lagi dan kembali bersekolah (ayahnya, yang menjadi bulan-bulanan masyarakat, dengan enggan terpaksa menerimanya kembali).