Dihantui Bayangan

By , Jumat, 29 Juli 2011 | 09:31 WIB

Inilah waktu penuh pesona di Yangon, saat sinar terakhir matahari, yang kini lebih lembut, lebih sejuk, menerangi pusat kota yang renta dengan pendar keemasan. Anak-anak yang cekikikan berkejaran membeli air tebu segar. Kaum wanita dengan pipi diolesi krim dari kulit kayu—tabir surya Myanmar—tawar-menawar dengan penjual ikan. Di jalan, kaum pria berperut buncit yang mengenakan kaus dan longyi, sarung tradisional Myanmar, duduk di trotoar sambil mengunyah gumpalan pinang yang memerah.

Suasana seperti pasar malam ini tidak berlangsung lama. Di daerah tropis malam cepat tiba, dan pemadaman listrik yang merundung Myanmar menjadikan peralihan mendadak itu agak menyeramkan. Gedung pemerintah era kolonial yang melapuk tiba-tiba gelap. Gang di sebelahnya memancarkan pendar kebiruan dari televisi yang didayai generator jinjing. Di bawah pepohonan itu pedagang tak tampak, tetapi lilin menerangi dagangannya: lingkaran ikan keperakan, kumpulan jantung pisang ungu, tumpukan daun sirih. Juga, beberapa deret peti kayu biru, keping-keping DVD film dan musik Amerika bajakan.

“Selamat datang di Hotel California,” seru suara dari bayangan, dalam bahasa Inggris sempurna. Tiga pemuda duduk di kursi plastik di jalanan, menertawakan sapaan itu. Si penjual DVD, pemuda kurus 29 tahun yang berkaca mata bingkai kawat dan berkemeja merah jambu, melompat berdiri sambil tersenyum. Meskipun hanya bersekolah sampai kelas empat SD, bahasa Inggrisnya bertaburan frasa yang dikutip dari film Hollywood dan buku tata bahasa 1950-an. Katanya, bertemu dengan orang Amerika membuatnya gembira, “over the moon, on cloud nine, pleased as punch.” Tiga sahabat erat itu—Tom, Dick, dan Harry, demikian mereka menjuluki diri—bertemu hampir setiap sore untuk melatih ungkapan bahasa Inggris. Dalam gelap, ketiga sahabat itu ragu sejenak, merenungkan lirik dari lagu lama Eagles yang pernah populer. “Apa maksud lirik, ‘We are all just prisoners here of our own device?’”

Myanmar adalah negeri bayangan. Di sini pertanyaan yang tidak bermaksud apa-apa pun terasa menyembunyikan niat lain. Selama hampir setengah abad terakhir, negara berpenduduk sekitar 50 juta yang sebagian besar beragama Buddha ini dibentuk oleh kekuasaan—dan paranoia—para pemimpin militernya. Tatmadaw, demikian sebutan untuk militer nasionalnya, adalah satu-satunya lembaga yang mampu mengukuhkan kekuasaan pada negara yang retak setelah merdeka dari Inggris. Mereka melakukan ini sebagian dengan cara menutup Myanmar dari dunia luar, dan baru-baru ini saja mulai membuka diri lagi.!break!

Ketertutupan ini, yang diperkuat oleh dua dasawarsa sanksi ekonomi Barat, mungkin mengekalkan citra nostalgia tentang Myanmar sebagai negara yang beku dalam waktu, dengan danau berselimut kabut, kuil kuno, dan paduan budaya tradisional yang hampir tak terjamah oleh dunia modern. Tetapi, ketertutupan ini juga mempercepat keruntuhan negara yang dulu disebut sebagai “permata Asia” ini. Sistem kesehatan dan pendidikan Myanmar ambruk, sementara militernya—dengan sekitar 400.000 tentara—menguras hampir seperempat anggaran negara. Yang paling terkenal, penindasan tatmadaw yang brutal atas pemberontakan suku dan oposisi sipil menjadikan Myanmar bangsa terkucil, suatu citra yang kini ingin disingkirkannya.

Dari tablo kegelapan ini muncul seberkas cahaya. Pemilihan parlemen pertama di negara itu dalam 20 tahun, yang diadakan November lalu, merupakan pertanda lahirnya hal yang disebut para pemimpin militernya sebagai “demokrasi yang memakmurkan disiplin.” Meskipun tercoreng oleh kecurangan dan intimidasi yang meluas, pemilu itu membuahkan pemerintah sipil pertama dalam setengah abad, meski hanya namanya saja sipil. Pemimpin militer yang lama berkuasa, Than Shwe, pensiun secara resmi pada bulan April, meskipun presiden yang baru tak lain adalah wakil setianya, mantan Jenderal Thein Sein, yang menukar seragam tentaranya dengan pakaian sipil.Tujuan pemilu rezim itu, selain meraih legitimasi di dalam dan luar negeri, adalah menghapus kenangan tentang pemilu 1990. Pada pemilu itu, yang diadakan dua tahun setelah tatmadaw menembaki ratusan pengunjuk rasa anti-pemerintah, junta tidak mengakui kemenangan besar partai oposisi utama, Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD). Lalu selama hampir dua puluh tahun berikutnya, tokoh-tokoh utama oposisi dipenjarakan dan pemimpin partai itu sendiri, Aung San Suu Kyi, dijadikan tahanan rumah.

Sang Lady, demikian julukannya, mendorong NLD memboikot pemilu November lalu, yang tidak boleh diikutinya karena saat itu masih menjadi tahanan rumah. Menurutnya, ikut serta dalam kegiatan yang begitu “tidak adil” akan memberi legitimasi bagi rezim yang kembali melakukan kekerasan yang mematikan pada 2007—menembaki pendeta Buddha yang berunjuk rasa—dan setahun kemudian menelantarkan para korban Topan Nargis. Bencana alam itu menyebabkan sekitar 140.000 jiwa tewas dan hampir sejuta orang kehilangan rumah. Tidak semua orang sepakat dengan Suu Kyi; sebagian tokoh oposisi meyakini bahwa transisi ke pemerintahan sipil, meski banyak kelemahannya, merupakan harapan terakhir agar mereka tetap relevan.!break!

Tak sampai seminggu setelah pemilu 2010, saat partai yang didukung militer memperoleh kemenangan besar, datang secercah harapan lain: Suu Kyi dibebaskan. Pada usia 65, penerima hadiah Nobel itu telah melewatkan 15 dari 21 tahun terakhir dalam tahanan. Melihat sang Lady dikerumuni pengikut muda membuat sebagian orang meyakini bahwa era baru sedang menyingsing. Tetapi, Suu Kyi tidak seoptimistis itu. “Masyarakat telah berubah banyak,” katanya, takjub melihat menjamurnya ponsel, Twitter, dan Facebook saat saya wawancarai pada bulan Februari. “Tetapi secara politik, tak ada perbedaan sama sekali.”

Sangat menggoda melihat Myanmar sebagai kisah moral sederhana, pertempuran antara terang dan gelap. Tetapi, yang bersaing menentukan masa depan negara itu bukan hanya kedua kubu antara sang Lady dan para jenderal. Dalam jajaran militer maupun oposisi, ada suara-suara, yang masih bisu, yang memperjuangkan terwujudnya fleksibilitas dan reformasi lebih jauh. Di luar pergulatan antara kaum elite ini, ada berbagai suku minoritas, yang jumlahnya sekitar sepertiga penduduk dan menempati lebih dari setengah wilayah negara. Sejak masa raja-raja kuno, para penguasa Myanmar putus akal dalam memimpin beragam suku bangsa yang resah ini, dan jika Myanmar ingin benar-benar meraih kemajuan, suku-suku harus diberi tempat. “Jika suku bangsa diabaikan,” kata seorang diplomat asing, “negara ini bisa tercerai-berai.”

Negara itu—yang terletak di antara China dan India—kembali menjadi pion geopolitik. Sementara Amerika Serikat dan pemerintah Barat lain terus menerapkan sanksi untuk menghukum rezim itu atas pelanggaran hak asasi manusia, China, Thailand, dan pemerintah Asia lain bersaing menggelontorkan uang ke Myanmar untuk mengeksploitasi sumber dayanya—migas, kayu, batu mulia, mineral, dan listrik tenaga air. Modal asing, senilai miliaran dolar per tahun, menumpulkan dampak sanksi, tetapi mengobarkan ketegangan di beberapa wilayah suku yang memiliki sumber daya paling melimpah. Belum ada yang pernah menggoyahkan cengkeraman pemerintah pada kekuasaan—atau rasa takut dan paranoia yang ditimbulkannya. Tetapi, akhirnya Myanmar bangun dari tidur panjangnya.!break!

Pesulap bertelanjang kaki itu melilitkan tali di leher sukarelawan, dan pemirsa hening terkesima. Barisan anak lelaki dan perempuan yang menganga merentang hingga pintu masuk gedung reyot itu. Di luar, di seberang jalan, kaum lelaki di warung teh terbuka menjulurkan leher untuk melihat. Myanmar adalah negara penuh kegaiban, tempat arwah animistis, yang disebut nats, menghuni setiap pohon beringin. Si pesulap tahu, meski anak-anak tidak tahu, bahwa sebagian lelaki yang berdiri di luar bukanlah undangan, melainkan mata-mata untuk Cabang Khusus kepolisian.

Soalnya, ini bukan pertunjukan sulap biasa. Duduk di baris depan, dengan rambut dihiasi cincin melati, adalah sang Lady sendiri, Aung San Suu Kyi. Hari itu Hari Anak di kantor pusat NLD di Yangon, acara yang dibarengkan dengan ulang tahun ayah Suu Kyi, yaitu Jenderal Aung San, pahlawan kemerdekaan Myanmar yang dibunuh pada 1947.

Kini semua mata tertuju pada si pesulap yang perlahan-lahan melilitkan tali pada kaki, lengan, tubuh si sukarelawan, bahkan ke balik pa-kaiannya. Seorang anak perempuan melirik Suu Kyi, yang balas mengedipkan mata untuk menenangkan hati anak itu. Senyumnya me-nyiratkan bahwa sukarelawan ini bukan tahanan betulan, meskipun para tetua partai di samping dirinya pernah dipenjarakan junta masing-masing lebih dari sepuluh tahun. Si pesulap menyerukan perintah, dan dengan sentakan tiba-tiba, tali itu putus. Tahanan itu bebas. Sorak-sorai memenuhi ruangan, dan Suu Kyi tertawa lepas dengan kepala tengadah.