Di antara semua negara asing yang bergegas mengeksploitasi sumber daya Myanmar, China-lah yang paling agresif. Dari hampir sembilan triliun rupiah penanaman modal langsung, sebagian dipakai untuk membangun jalur pipa guna membawa minyak dan gas dari pantai Myanmar ke perbatasan China—jalan pintas yang juga menghindari risiko pengiriman melalui Selat Malaka yang sempit dan dirundung bajak laut. Di Negara Bagian Kachin, yang berbatasan dengan China sepanjang lebih dari 950 kilometer, perusahaan China bergegas masuk untuk mengambil emas, giok, dan jati, juga listrik tenaga air. Selama satu setengah tahun ini, pemerintah Myanmar menuntut 1.400 warga desa Tang Hpre pindah ke permukiman baru 16 kilometer dari situ untuk memberi tempat bagi bendungan. Perlawanannya hampir bulat. Tahun lalu serangkaian bom meledakkan tempat-tempat yang terkait dengan bendungan itu di seluruh lembah, memaksa beberapa ratus buruh China mengevakuasi dan menghambat proyek. Polisi menangkap 70 kaum muda Kachin sehubungan dengan pemboman itu.
Sejenak penjual DVD yang cerewet itu terdiam. Tom dan kedua teman mudanya sedang mengobrol dalam gelap tentang kejayaan Yangon—keberagaman sukunya, ajang hip-hop-nya, arsitektur kolonial yang reyot—ketika topik itu, tak terhindarkan, beralih ke masa depan.
“Aku bermandikan keringat,” Tom akhirnya berkata. Dia bukan sekadar mencoba ungkapan baru. Pemadaman listrik baru-baru ini menurunkan sedikit laba yang dibawa pulang untuk anak-istrinya—sekitar Rp400.000 per bulan—dan menjalani pekerjaan pasar gelap yang membuatnya ketar-ketir. Dengan uang perlindungan kepada polisi pun, dia nyaris terkena razia polisi baru-baru ini. Andai bukan karena kakinya yang gesit, dia mungkin dijebloskan ke penjara dan kehilangan segala barang dagangannya.!break!
Kemudian, sambil mengunyah pinang, Tom mengungkapkan ambisi besarnya: dia ingin ke luar negeri. Impian ini bukan miliknya seorang. Setiap tahun puluhan ribu buruh Myanmar berangkat ke Singapura dan Malaysia, untuk memperoleh hingga Rp2,5 juta per bulan. Dick, guru bahasa Inggris yang kurang pekerjaan, berkata dia mungkin mencoba mencari pekerjaan berjualan di Singapura.
Tom ingin ke AS. “Negeri susu dan madu,” katanya. “Dan Angelina Jolie.” Meski bisa berbahasa Inggris dengan berapi-api, Tom tidak pernah kuliah dan tak punya aset keuangan. Akibatnya, peluang memperoleh visa Amerika Serikat kecil. “Dalam kediktatoran ini, kami hidup bagaikan seekor babi yang mendengus dalam gelap!” Celetukannya membuat teman-temannya resah.
Di ujung malam, Tom membenahi DVD-nya, dan ketiga sahabat itu menapaki jalanan yang lengang ke halte bus. “Keadaan di sini sudah sedikit membaik,” kata Harry. “Sekarang kami semua memiliki ponsel dan email, jadi dapat berkomunikasi dengan dunia luar.” Tom tampaknya tidak menyimak. Sambil melompat naik bus, dia mengucapkan—dengan seringai nakal—salam menghasut: “Sampai jumpa setelah pemberontakan!"