Dihantui Bayangan

By , Jumat, 29 Juli 2011 | 09:31 WIB

Andai semudah itu. Meskipun telah dibebaskan, Suu Kyi tampaknya tetap terikat oleh belenggu tak terlihat. Sang ikon global tak hanya dibebani oleh pengharapan tinggi. Partainya terkatung-katung. Karena telah dilarang akibat memboikot pemilu tahun lalu, NLD kini berisiko melanggar hukum berserikat yang ketat di negara itu dengan setiap acara pertemuan yang diadakannya. Dengan acara Hari Anak ini sekalipun, kata Win Htein, salah satu orang kepercayaan terdekat Suu Kyi, “kami menentang batasan.”!break!

Dari kantornya di lantai dua sebuah gedung yang menghadap ke jalan ramai di jantung Yangon, Suu Kyi dapat melihat anggota Cabang Khusus di warung teh di seberang jalan. “Entah mengapa mereka repot-repot,” ia mendesah. Meskipun tersisa nostalgia tentang privasinya—“Saya terus bertanya-tanya kapan saya punya waktu lagi untuk membaca dan merenung,” katanya—Suu Kyi mencurahkan dirinya ke dalam berbagai rapat dengan diplomat, wartawan, suku bangsa, dan organisasi masyarakat. Namun, sejauh ini orang-orang yang paling dia perlu temui—para jenderal—tak menggubris ajakannya berbicara. “Kami membuka pintu,” kata Suu Kyi. “Tak ada yang bisa tercapai tanpa dialog.”

Selama bertahun-tahun kartun di media milik pemerintah menampilkan Lady yang anggun itu sebagai raksasa bertaring yang jahat, yang disantuni oleh pemerintah Barat. Serangan itu berhenti selama beberapa bulan setelah ia dibebaskan. Tetapi, ketika pada bulan Februari NLD mengeluarkan pernyataan yang membela sanksi Barat terhadap rezim itu, tajuk rencana di surat kabar resmi, New Light of Myanmar, memperingatkan bahwa Suu Kyi dan partainya akan “bertemu ajal dengan tragis.” Ini mungkin hanya ancaman retoris, tetapi banyak orang masih ingat tentang serangan terhadap konvoi Suu Kyi kali terakhir dia bebas, pada 2003.

Sanksi mungkin salah satu kartu terakhir yang bisa dimainkan Suu Kyi. Beragam pengamat internasional—termasuk Menteri Luar Negeri AS Hillary Clinton—menilai bahwa sanksi tidak efektif di Myanmar, terutama karena negara-negara lain, seperti China, tidak enggan berbisnis dengan pemerintah itu. “Kami mau berkompromi,” Suu Kyi bersikeras. Tetapi, setelah dua puluh tahun berkorban, ia tidak akan meminta keringanan sanksi, kecuali ada iktikad baik yang serius, dimulai dengan pembebasan lebih dari 2.000 tahanan politik Myanmar. “Jika sanksi tidak efektif,” tanyanya retoris, “mengapa rezim ini dan teman-temannya begitu ingin sanksi itu dicabut?” Tampaknya pemerintah menginginkan satu hal yang dimiliki sang Lady tapi tak pernah dimilikinya: legitimasi dunia.!break!

Kalau Anda datang ke kota Nay Pyi Taw untuk mencari keterangan tentang kepemimpinan Myanmar, hal pertama yang Anda temukan adalah kehampaan yang meresahkan: jalan mulus sepuluh lajur dengan bundaran apik yang hampir tidak dilalui kendaraan, kumpulan kompleks perumahan pemerintah berkode warna tanpa terlihat anak-anak, tiruan Pagoda Shwedagon di Yangon tanpa seorang pun pendeta Buddha yang melantunkan doa. Semuanya terasa seperti studio film yang terbengkalai, sampai Anda berkendara menuju zona militer, wilayah terlarang yang ditempati Than Shwe dan komando tinggi rahasia. Di sana, di balik truk tentara yang menderu dan lapangan pawai yang luas, berdiri simbol rezim: patung raksasa ketiga raja kuno Myanmar yang paling dipuja.

Selamat datang di Kediaman Raja, ibu kota Myanmar sejak 2005, utopia ganjil yang dibangun dengan rasa takut dan keangkuhan. Than Shwe, bekas tukang pos yang mengasah keterampilan di departemen perang psikologi tentara, sengaja menampilkan diri sebagai penerus raja kuno Myanmar—sampai-sampai rakyat konon harus menyapanya dan istrinya dengan gelar raja Myanmar. Raja Myanmar cenderung membangun ibu kota baru sebagai warisan masa pemerintahannya, dari pagoda di Bagan hingga istana kerajaan di Mandalay. Kini ada Nay Pyi Taw.

Ibu kota baru ini mungkin terasa tak berjiwa, tetapi bagi penguasa yang tidak percaya pada rakyatnya sendiri, kota ini merupakan adikarya perencanaan kota defensif. Than Shwe, yang cemas Yangon akan diserang, mencurahkan beberapa triliun rupiah untuk membangun kota itu di tanah semak belukar di Myanmar tengah, aman dari badai maut, serangan asing, dan unjuk rasa rakyat. Dari sisi desain, Nay Pyi Taw bukan benar-benar kota, melainkan serangkaian zona terisolasi yang tersebar di wilayah seluas empat kali Jakarta. Kementerian pemerintah, yang dulu berkumpul di Yangon yang padat, diletakkan dalam jarak berjauhan, yang hanya dapat diakses melalui jalan yang dipatroli ketat. Zona militer ini merupakan gelembung di dalam gelembung, terlarang bagi siapa pun kecuali perwira tertinggi—dan konon penuh bungker bawah tanah.

Di kota yang dibangun oleh buruh bangunan yang berpenghasilan tidak sampai sembilan ribu rupiah sehari, para jenderal berfoya-foya dengan kemewahan: stadion sepak bola ukuran Olimpiade, kebun binatang yang dilengkapi rumah penguin ber-AC, taman safari, bahkan “taman tengaran” 194 hektare dengan miniatur tiruan tempat-tempat paling terkenal di Myanmar, termasuk rumah kayu yang kadang-kadang ditempati oleh suku minoritas yang berpakaian adat—layaknya kebun binatang manusia.!break!

Ibu kota ini memberi juga satu konsesi bagi demokrasi: kompleks parlemen yang terdiri atas 28 bangunan raksasa berpuncak pagoda yang menjulang di atas dua jembatan gantung semu. Saat parlemen dibuka pada bulan Februari—sesi pertama dalam 22 tahun—659 anggota parlemen yang baru digiring ke dalam dunia mandiri ini dan dikucilkan selama berminggu-minggu. Media atau pengamat dilarang masuk; Anggota parlemen sendiri dilarang menggunakan ponsel atau email. “Menyedihkan sekaligus lucu,” kata seorang pebisnis Myanmar di Yangon. “Semua anggota parlemen ini konon mengusung demokrasi baru, tetapi dikurung di sana seperti tahanan.”

Di pedalaman perbukitan di Myanmar timur laut, seorang wanita muda bertopi bambu berjalan di tepi sungai menuju tempat suci: pertemuan dua sungai yang melahirkan Sungai Ayeyarwady (di dunia luar dikenal sebagai Sungai Irrawaddy), sumber kehidupan bangsa itu. Tempat ini dipuja oleh warga Myanmar dari segala agama. Tetapi, tempat ini juga merupakan bagian dari jati diri suku minoritas Kachin, yang leluhurnya menetap di wilayah ini berabad-abad yang lalu. Keluarga wanita itu masih datang ke pertemuan sungai itu untuk memberikan sesajen setiap pagi pertama tahun baru. “Ini tradisi kami,” katanya.

Semua ini akan segera lenyap. Di kelok Sungai Ayeyarwady berikutnya, buruh China sedang mengerjakan tahap awal pembangunan bendungan PLTA setinggi 152 meter, bendungan pertama—dan terbesar—dari tujuh bendungan yang direncanakan akan dibangun. Bendungan Myitsone ini, yang termasuk kerja sama antara China Power Investment (CPI) dan Asia World yang berhubungan baik dengan pemerintah, diharapkan memiliki kapasitas pembangkit listrik 6.000 megawatt, lebih dari produksi seluruh negara itu saat ini. Setelah dirampungkan pada 2019, bendungan itu akan membanjiri wilayah dua kali lipat Jakarta, menenggelamkan puluhan desa, termasuk Tang Hpre, tempat tinggal wanita Kachin itu. Dari tepi sungai dia menunjuk rambu-rambu putih di bukit di dekat situ. “Airnya akan naik setinggi itu. Dapatkah kaubayangkan hidup dengan ancaman itu?”

Amarah tentang bendungan itu menggema jauh keluar Tang Hpre. “Bendungan itu menjadi seruan yang mempersatukan orang Kachin,” kata Brigjen Gun Maw dari Tentara Kemerdekaan Kachin (KIA), kelompok pemberontak yang gencatan senjatanya dengan pemerintah Myanmar selama 17 tahun mulai retak tahun lalu. Bersama tentara dari suku bangsa lain, KIA menentang tuntutan rezim untuk mereformasi diri menjadi tentara pembela perbatasan di bawah komando militer Myanmar. Kontroversi bendungan ini semakin memperuncing ketegangan yang meningkat. “Selama berbulan-bulan kami meminta pemerintah Myanmar menjelaskan penggunaan listrik itu nanti, tetapi tak mendapat jawaban,” kata kepala pemberontak berusia 40 tahun itu. “Kurasa kita semua tahu. China sangat haus akan tenaga listrik.” Memang, menurut dokumen CPI, sebagian besar listriknya akan dialirkan ke China.!break!