Pada suatu pagi yang cerah belum lama ini, putra sulung saya, yang saat itu 17 tahun, menelepon dan memberitahukan bahwa ia baru melewatkan dua-tiga jam di kantor polisi. Rupanya dia “sedikit” mengebut. Saya tanya, apa maksudnya “sedikit”? Ternyata, produk gen dan kasih-sayang saya ini melesat di jalan raya dengan kecepatan 182 kilometer per jam.!break!
“Itu bukan sedikit namanya,” kata saya.
Ia setuju. Bahkan, ia terdengar serius dan menyesal. Ia tidak membantah saat saya katakan bahwa ia sendirilah yang harus membayar denda, dan mungkin bayar pengacara. Ia tidak mendebat saat saya ingatkan, andai terjadi apa-apa saat mengebut secepat itu—anjing lewat di jalan, ban pecah, atau dia bersin—dia pasti mati. Bahkan, sikap rasionalnya membuat saya sebal.
Namun, ada satu hal yang diprotesnya. Ia tidak suka dibilang mengemudi ugal-ugalan. “Yah,” saya mendengus, “apa lagi namanya kalau bukan ugal-ugalan?” “Tapi itu tidak tepat,” katanya dengan tenang. “Kalau ‘ugal-ugalan’ kesannya aku tidak memperhatikan. Padahal aku memperhatikan. Aku sengaja memilih jalan raya yang kosong dan kering, siang-siang, pandangan tak terhalang, dan tak ada lalu lintas. Maksudku, aku tidak asal menginjak gas. Aku mengemudi dengan hati-hati.“Itulah sepertinya yang perlu Ayah tahu. Barangkali Ayah lebih tenang kalau tahu aku mengemudi dengan konsentrasi penuh.”
Sesungguhnya, saya memang lebih tenang mendengarnya. Dan hal itu mengusik pikiran saya, karena saya tak mengerti mengapa. Sekarang saya mengerti.
Petualangan mengebut putra saya menimbulkan pertanyaan yang sudah lama direnungkan manusia tentang usia remaja: Mereka itu apa-apaan sih? Para ilmuwan menyatakannya dengan lebih tenang. Mereka bertanya, Apa alasan di balik perilaku ini? Tapi esensinya sebenarnya sama, Ada masalah apa dengan anak-anak ini? Pertanyaan ini menyelidik sambil menghakimi.
Sepanjang sejarah, sebagian besar jawabannya menyalahkan “kekuatan gelap” yang hanya memengaruhi remaja. Lebih dari 2300 tahun yang lalu Aristoteles menyimpulkan bahwa “kaum muda dibuat gila oleh Alam seperti orang mabuk oleh anggur.” Seorang gembala dalam drama The Winter’s Tale karya William Shakespeare membayangkan “andai saja tak ada usia antara sepuluh dan dua puluh tiga, atau kaum muda tidur pada masa itu; karena di antara kedua usia itu kerja remaja hanya menghamili gadis, membantah orang tua, mencuri, berkelahi.” Keluhan ini juga mewarnai sebagian besar penyelidikan ilmiah modern. G. Stanley Hall, yang memformalkan kajian tentang remaja meyakini bahwa masa “badai dan stres” ini mencerminkan tahap perkembangan awal umat manusia yang belum beradab. Freud memandang masa remaja sebagai ekspresi konflik psikoseksual yang menyiksa; Erik Erikson, sebagai krisis identitas yang paling bergejolak dalam hidup. Masa remaja: selalu bermasalah.
Pemikiran seperti itu berlanjut hingga akhir abad ke-20, saat para peneliti mengembangkan teknologi pencitraan otak yang memungkinkan mereka untuk melihat otak remaja secara cukup terperinci, sehingga mampu melacak perkembangan fisik dan pola aktivitasnya. Alat pencitraan ini menyingkapkan jawaban yang mengejutkan hampir semua orang. Ternyata, perkembangan otak kita memakan waktu lebih lama daripada perkiraan semula. Penemuan baru ini menawarkan penjelasan yang simplistis dan tidak menyenangkan tentang perilaku remaja yang menjengkelkan—juga penjelasan positif yang lebih rumit.!break!
PINDAIAN PERTAMA perkembangan otak remaja yang cukup lengkap—proyek National Institutes of Health (NIH) yang meneliti lebih dari seratus remaja seraya mereka tumbuh besar pada 1900-an—menunjukkan bahwa otak kita mengalami penataan ulang besar-besaran antara usia 12 dan 25. Otak tidak banyak membesar pada masa ini. Namun, ketika kita menempuh masa remaja, otak mengalami renovasi meluas, mirip peningkatan jaringan dan perkabelan komputer.
Pertama-tama, akson otak—serat saraf panjang yang digunakan neuron untuk mengirim sinyal ke neuron lain—perlahan-lahan diselubungi semakin tebal oleh zat berlemak bernama mielin (materi putih pada otak), yang kelak melejitkan kecepatan transmisi akson hingga seratus kali lipat. Sementara itu, dendrit, yaitu perpanjangan seperti cabang yang digunakan neuron untuk menerima sinyal dari akson di dekatnya, semakin bercabang. Sinapsis yang paling sering digunakan—persimpangan kimiawi kecil yang digunakan akson dan dendrit untuk bertukar informasi—semakin kaya dan kuat. Sementara itu, sinapsis yang jarang digunakan mulai layu. Pemangkasan sinapsis ini, demikian sebutannya, menyebabkan korteks otak—lapisan luar materi abu-abu tempat berlangsungnya pikiran sadar yang rumit—menipis tapi semakin efisien. Perubahan-perubahan ini membuat seluruh otak menjadi organ yang lebih cepat dan canggih.
Proses pematangan ini terus berlanjut sepanjang masa remaja. Kegiatan pencitraan yang dilakukan sejak 1990-an menunjukkan bahwa perubahan fisik ini terjadi secara bertahap dan perlahan dari bagian belakang otak ke depan, dari area di dekat batang otak yang mengurus fungsi perilaku dasar yang lebih tua, seperti penglihatan, gerakan, dan pemrosesan dasar, hingga area berpikir di depan yang lebih baru dan lebih rumit dari segi evolusi. Korpus kalosum, yang menghubungkan belahan otak kiri dan kanan serta mengangkut lalu lintas yang penting bagi banyak fungsi otak tingkat lanjut, terus menebal. Hubungan yang lebih kuat juga berkembang antara hipokampus, yaitu semacam direktori ingatan, dan area depan yang menetapkan sasaran dan mempertimbangkan pro-kontra dalam memutuskan; akibatnya kita semakin mahir menyertakan ingatan dan pengalaman ke dalam keputusan kita. Seiring itu, area depan semakin cepat dan koneksinya semakin kaya, sehingga kita dapat menghasilkan dan mempertimbangkan variabel dan agenda yang jauh lebih banyak daripada sebelumnya.
Jika perkembangan ini berlangsung normal, kita semakin mampu menyeimbangkan antara dorongan hati, keinginan, sasaran, kepentingan pribadi, aturan, etika, dan bahkan altruisme, sehingga menghasilkan perilaku yang lebih kompleks dan, setidaknya kadang-kadang, lebih masuk akal. Tetapi ada kalanya, terutama pada awal masa perkembangan ini, otak masih kikuk melakukannya. Tidak mudah mengatur kerja sama yang baik antara berbagai area dan sistem yang baru berubah ini.
Beatriz Luna, profesor psikiatri di University of Pittsburgh yang menggunakan pencitraan saraf untuk mempelajari otak remaja, menggunakan tes sederhana untuk menggambarkan kurva belajar ini. Luna memindai otak anak, remaja, dan orang 20-an tahun saat mereka melakukan tugas antisaccade, semacam permainan yang hanya menggunakan mata, yang mengharuskan pemain mencegah diri memandang cahaya yang tiba-tiba muncul. Agar berhasil, kita harus menentang keinginan normal untuk memperhatikan informasi baru dan rasa penasaran tentang hal yang dilarang. Anak sepuluh tahun tidak becus melakukannya, gagal 45 persen. Remaja jauh lebih baik. Bahkan, pada usia 15, mereka sudah bisa meraih skor sebaik orang dewasa jika mereka termotivasi, mampu menahan godaan 70-80 persen. Namun, yang paling menarik bagi Luna bukanlah nilai itu, melainkan pindaian otak yang diambilnya saat orang melakukan tes itu. Dibandingkan dengan orang dewasa, remaja cenderung tidak terlalu menggunakan area otak yang memantau kinerja, mengenali kesalahan, menyusun rencana, dan menjaga fokus—area yang tampaknya otomatis aktif pada orang dewasa.