Otak Nan Rancak

By , Rabu, 28 September 2011 | 12:01 WIB

Jadi, jika remaja berpikir dan mampu me­ngenali risiko sebaik orang dewasa, mengapa mereka lebih cenderung mengambil risiko? Karena mereka menimbang risiko vs imbalan secara berbeda (lihat bagan, halaman 39): Dalam situasi ketika risiko dapat memberi imbalan yang diinginkan, mereka lebih menghargai imbalan itu daripada orang dewasa.

Permainan video yang digunakan Steinberg menggambarkan hal ini dengan jelas. Dalam permainan ini, pemain berusaha me­ngemudi melintasi kota dalam waktu sesingkat-singkatnya.

Saat remaja menempuh jalur itu sendirian, dalam situasi ruang kosong yang disebut Stein­berg sebagai situasi “tenang” secara emosional, mereka mengambil risiko setara dengan orang dewasa. Namun, jika ditambahkan unsur yang penting bagi remaja, situasi pun berubah. Dalam hal ini, Steinberg menambahkan teman: Saat ia membawa masuk teman-teman si remaja untuk menonton, si remaja lebih sering mengambil risiko dua kali lipat, mencoba menerobos lampu di tempat yang sebelumnya ia berhenti. Sementara itu, cara orang dewasa mengemudi tidak berbeda saat ada teman menonton.

Bagi Steinberg, ini menunjukkan dengan jelas bahwa pengambilan risiko muncul bukan akibat daya pikir lemah, tetapi akibat penilaian lebih tinggi terhadap imbalan.“Mereka lebih sering mengambil risiko bukan karena tiba-tiba meremehkan risiko,” kata Stein­berg, “melainkan karena mereka semakin mementingkan imbalan.”Peneliti seperti Steinberg dan Casey meyakini bahwa per­timbangan risiko vs imbalan yang memihak risiko ini lolos seleksi alam karena, sepanjang perjalanan evolusi manusia, ke­mauan mengambil risiko pada masa kehidupan ini memberi ke­unggulan adaptasi. Kesuksesan sering kali mengharuskan kita keluar dari rumah dan memasuki situasi yang kurang aman. Jadi, daya tanggap terhadap imbalan itu mirip dengan keinginan memperoleh sensasi baru: Hal ini mendorong kita keluar rumah dan memasuki wilayah baru.

Sebagaimana disiratkan oleh permainan me­ngemudi Steinberg, remaja memiliki tang­gapan yang kuat terhadap imbalan sosial. Baik teori fisiologi maupun evolusi menawarkan pen­jelasan untuk kecenderungan ini. Secara fisio­logi, masa remaja merupakan puncak ke­pekaan otak terhadap dopamin, yaitu neuro­transmiter yang tampaknya menyiapkan dan mengaktifkan jalur kesenangan, serta membantu mempelajari pola dan membuat keputusan. Ini turut menjelaskan kecepatan remaja belajar dan penerimaan luar biasa mereka terhadap imbalan—serta reaksinya yang kadang melo­drama­tis terhadap kesuksesan atau kekalahan.

Otak remaja juga peka terhadap oksitosin, yaitu hormon saraf lain yang (antara lain) membuat koneksi sosial lebih memuaskan batin. Jaringan dan dinamika saraf yang terkait dengan imbalan secara umum dan interaksi sosial banyak yang tumpang tindih. Jika salah satunya aktif, biasanya yang satu lagi juga aktif. Jika kedua hal ini diaktifkan semasa remaja, efeknya dahsyat.

Ini turut menjelaskan ciri lain masa remaja: Mereka lebih suka bergaul dengan teman sebaya, lebih dari masa sebelum atau sesudahnya. Pada tingkat tertentu, keinginan memiliki teman sebaya semata-mata mengungkapkan keter­tarikan umum remaja pada kebaruan di ranah sosial: Remaja menawari remaja lebih banyak kebaruan daripada keluarga sendiri yang sudah dikenal baik.

Namun, remaja tertarik pada teman sebaya karena alasan lain yang lebih kuat: berinvestasi di masa depan, bukan masa lalu. Kita memasuki dunia yang dibentuk oleh orang tua. Tetapi kita akan menjalani sebagian besar hidup kita, dan makmur (atau tidak) dalam dunia yang di­pimpin dan dicipta-ulang oleh rekan seusia kita. Mengenal, memahami, dan membangun hubungan dengan mereka sangat berpengaruh pada kesuksesan. Tikus atau monyet yang pan­dai bergaul, misalnya, biasanya mendapat wilayah atau area bersarang terbaik, makanan dan minuman terbanyak, sekutu lebih banyak, dan kawin lebih sering dengan pasangan yang lebih baik dan sehat. Dan manusialah spesies yang pergaulannya paling rumit dan mendalam.

Ciri-ciri yang sangat khas manusia ini men­jadikan hubungan sebaya bukan hanya hal sam­pingan, melainkan hal utama. Bahkan sebagian kajian pindaian otak menyiratkan bahwa reaksi otak kita pada pengucilan teman sebaya setara dengan reaksinya terhadap ancaman kesehatan fisik atau pasokan makanan. Dengan kata lain, pada tingkat saraf, kita memandang penolakan sosial sebagai ancaman keberadaan. Dengan me­­ngetahui ini, mungkin kita lebih mudah me­maklumi tangis histeris anak 13 tahun saat dibohongi temannya atau kemurungan anak 15 tahun yang tidak diundang ke pesta. Anak-anak ini! kita mengeluh. Mereka bereaksi terhadap naik-turun pergaulan seolah-olah nasib mereka tergantung pada itu! Mereka benar. Nasib mereka memang tergantung pada hal itu.!break!

Ketegangan, kebaruan, risiko, pergaulan dengan teman sebaya. Sifat-sifat ini mungkin kelihatannya sekadar melakukan hal baru yang bodoh bersama teman-teman. Namun, jika di­teliti lebih dalam, kita lihat bahwa sifat-sifat yang mendefinisikan masa remaja ini men­jadikan kita lebih mudah beradaptasi, baik se­bagai individu maupun sebagai spesies. Tentunya itulah sebabnya sifat-sifat ini, dengan definisi yang luas, tampaknya muncul dalam hampir semua budaya manusia, modern mau­pun suku tradisional. Sifat ini mungkin ter­pusat dan terungkap lebih gamblang dalam budaya Barat modern, yang remajanya begitu sering bergaul dengan sesamanya. Tetapi, para antropolog mendapati bahwa hampir semua budaya dunia mengakui masa remaja sebagai masa khas ketika remaja menyukai kebaruan, kegairahan, dan teman sebaya. Pengakuan yang hampir mengglobal ini membantah pemikiran bahwa hal ini adalah produk budaya.

Budaya jelas membentuk masa remaja. Bu­daya memengaruhi cara ekspresinya dan mungkin durasinya. Budaya dapat memperhebat perwujudannya. Namun, bukan budaya yang menciptakan masa remaja. Keunikan masa ini berasal dari gen dan proses perkembangan yang lolos seleksi alam selama lebih dari ribuan generasi karena memainkan peran penting selama masa peralihan yang krusial ini: menghasilkan makhluk yang siap secara optimal untuk meninggalkan rumah yang aman dan memasuki wilayah tak dikenal.

Pergerakan keluar dari rumah ini adalah hal tersulit yang dilakukan manusia, juga paling penting—bukan hanya bagi individu, melainkan juga bagi spesies yang telah menunjukkan ke­mampuan tanpa tanding dalam menguasai lingkungan baru yang menantang. Dalam istilah ilmiah, remaja memang menjengkelkan. Tetapi, mereka mungkin manusia yang paling mampu beradaptasi secara sempurna, dan memang semestinya begitu. Tanpa mereka, umat manusia mungkin tidak semudah itu menyebar ke seluruh planet.

Teori remaja-adaptif ini, meski akurat, mungkin sulit diterima—khususnya bagi orang tua yang menghadapi remaja dalam masa yang paling sulit, pembangkang, atau mengerikan. Mungkin kita merasa lebih tenang bahwa perilaku mencemaskan ini dapat ditafsirkan ulang sebagai tanda-tanda proses belajar suatu organisme menghadapi lingkungannya. Tetapi, seleksi alam tak mengenal ampun, dan kesalahan di masa remaja dapat membawa akibat yang tragis. Kita memang tidak menghadapi risiko terbunuh dalam pertempuran ritual atau di­­makan macan, tetapi narkoba, alkohol, mengemudi, dan kejahatan memakan banyak korban. Putra saya masih hidup, walau tanpa mobil, di tempat kuliahnya. Namun, beberapa teman SMA-nya tewas dalam eksperimen me­ngemudinya. Anak-anak kita menerapkan keluwesan adaptif itu dalam berbagai risiko yang kecil tapi mengerikan.

Namun, kita tetap bisa dan berhasil mem­bantu mereka. Penelitian menunjukkan bahwa saat orang tua berkomunikasi dan membimbing anak remajanya secara tegas tetapi tidak terlalu ikut campur, tetap akrab tetapi membiarkan me­reka mandiri, anak-anak mereka pada umumnya lebih sukses dalam hidup. Remaja ter­utama ingin belajar dari teman, tetapi tidak seluruhnya. Pada tingkat tertentu dan pada saat tertentu (dan orang tualah yang harus menyadari kapan), remaja mengakui bahwa orang tua dapat memberi pelajaran yang baik—pengetahuan yang dihargai bukan karena kewenangan orang tua, tetapi karena berasal dari pergulatan orang tua sendiri saat berjuang memahami seluk-beluk dunia. Remaja menyadari dengan benar bahwa ia bukan hanya harus memahami dunia orang tuanya, tetapi juga dunia yang akan ia masuki.

Sementara itu, saat kesal menghadapi remaja, besarkanlah hati Anda dengan mengingat satu ciri terakhir otak remaja. Masa ini adalah masa panjang saat area otak depan yang berkembang belakangan ini masih luwes, saat mereka menjadi matang perlahan-lahan. Seperti yang disebutkan sebelumnya, area-area inilah yang terakhir membentuk selubung lemak mielin—materi putih otak—yang mempercepat transmisi sinyal saraf. Dan sekilas lalu ini seperti berita buruk: Jika kita memerlukan area-area ini untuk menunaikan tugas rumit memasuki dunia, me­ngapa area-area ini tidak tancap gas saat meng­hadapi tantangan yang paling besar?

Jawabannya, kecepatan otak diraih dengan mengorbankan keluwesan. Meski sangat mem­percepat akson, selubung mielin juga menghambat pertumbuhan cabang akson baru. Menurut Douglas Fields, ilmuwan saraf NIH yang bertahun-tahun mempelajari mielin, “Itulah kenapa masa ketika suatu area otak membentuk mielin menjadi masa penting dalam belajar—perkabelan ditingkatkan, tetapi setelah proses itu selesai, perubahan lebih sulit terjadi.”

Masa terbaik untuk penyusunan ulang ko­nek­si oleh pengalaman sangatlah spesifik bagi setiap area otak. Jadi, pusat-bahasa otak mendapat selubung paling banyak dalam 13 tahun pertama, yaitu saat anak-anak masih belajar bahasa. Selubung yang sempurna me­ngon­solidasikan hasil belajar itu—tetapi men­jadikan pembelajaran selanjutnya, misalnya bahasa asing, lebih sulit diperoleh.

Gelombang perkembangan dari belakang ke depan yang lama dan lambat ini, yang baru selesai pada usia pertengahan 20-an, tampaknya merupakan adaptasi khas manusia. Mungkin menjadi salah satu yang paling berpengaruh bagi kita. Mungkin aneh bahwa manusia lambat pintar dalam hidup ini. Namun, jika kita menjadi bijak lebih awal, pada akhirnya kita menjadi lebih bodoh.