Otak Nan Rancak

By , Rabu, 28 September 2011 | 12:01 WIB

Namun, jika ditawari hadiah ekstra, re­maja menunjukkan bahwa mereka mampu men­dorong area-area pelaksana itu bekerja le­bih keras, sehingga nilai mereka naik. Dan pada usia 20, otak mereka sudah menanggapi tugas ini sebaik orang dewasa. Luna menduga peningkatan ini terjadi ketika jaringan yang lebih kaya dan koneksi yang lebih cepat men­jadikan area pelaksana itu lebih efektif.

Kajian seperti ini membantu menjelaskan me­ngapa remaja berperilaku begitu tidak konsisten dan mengesalkan: senyum saat sarapan, me­nyebalkan saat makan malam; serius saat Senin, serampangan saat Sabtu. Selain kurang pengalaman secara umum, mereka juga masih belajar menggunakan jaringan baru otaknya. Stres, lelah, atau tantangan dapat mengacaukan fungsi otak mereka.     Grafik perkembangan yang lambat dan tidak merata yang terungkap oleh kajian pencitraan ini menawarkan penjelasan yang menarik tentang mengapa remaja melakukan hal bodoh: Mereka berbuat seperti itu karena otak mereka belum selesai tumbuh!

Pandangan ini, sebagaimana di­sebut oleh judul berbagai ma­kalah ilmiah dan artikel po­puler tentang “otak remaja”, meng­gambarkan remaja sebagai “barang setengah jadi” yang “otak pra-matangnya” membuat se­bagian orang bertanya-tanya, apakah mereka sedang dalam tahap yang “mirip dengan ke­terbelakangan mental.”Namun, artikel yang sedang Anda baca ini menuturkan cerita ilmiah yang berbeda ten­tang otak remaja. Selama sekitar lima tahun ter­akhir, sementara teori barang-setengah-jadi menyebar dalam budaya kita, bidang kajian otak remaja sendiri belajar berpikir lebih kompleks. Beberapa peneliti mulai memandang temuan otak dan gen baru-baru ini dari sisi yang lebih cerah dan positif, yang sangat dipengaruhi oleh teori evolusi. Teori otak remaja yang dihasil­kan—sebutlah teori remaja-adaptif—tidak meng­gambarkan remaja sebagai draf kasar, tetapi sebagai makhluk yang sangat peka dan mudah beradaptasi, yang otaknya sangat cocok untuk menghadapi tugas beralih dari rumah yang aman ke dunia yang rumit di luar.

Pandangan ini kemungkinan lebih mudah diterima kaum remaja. Lebih penting lagi, pan­dang­an ini lebih sesuai dengan prinsip paling dasar dalam biologi, yaitu seleksi alam. Seleksi alam biasanya membabat sifat yang tidak bermanfaat. Jika masa remaja adalah kum­pulan sifat tak bermanfaat—cemas, bodoh, gegabah; impulsif, egois, dan serampangan—bagai­mana sifat-sifat itu bisa selamat dari se­leksi alam? Seharusnya sifat-sifat itu tidak se­lamat.

Namun, sebenarnya, sifat-sifat yang merepot­kan itu bukan sifat mendasar masa remaja; hanya saja, itulah yang paling kita perhatikan karena membuat kita kesal atau membahayakan anak-anak kita. Sebagaimana diungkapkan B. J. Casey, ilmuwan saraf, “Semakin kita memahami hal-hal yang membuat masa ini unik, masa re­maja semakin terlihat sebagai masa yang sangat fungsional, bahkan adaptif. Memang inilah yang diperlukan agar manusia mampu menghadapi transisi hidup pada masa remaja.”!break!

Untuk menemukan remaja adaptif di balik sifat pandir yang meng­­­ganggu itu, kita jangan melihat tin­dakan tertentu saja, seperti menuruni tangga dengan skateboard, atau berpacaran dengan orang bejat, tetapi lihatlah perilaku lebih luas yang mendasari tindakan seperti itu.

Mari kita mulai dengan kegemaran remaja mencari ketegangan. Kita semua menyukai hal baru yang mengasyikkan, tetapi pada masa remajalah kita paling menghargai hal-hal itu. Pada masa ini kita mencapai puncak pencarian sensasi, demikian disebut ilmuwan perilaku: memicu adrenalin.

Mencari sensasi belum tentu impulsif. Impulsivitas biasanya menurun sepanjang hidup, mulai sekitar usia 10, tetapi kesukaan pada ketegangan memuncak sekitar usia 15. Dan pencarian sensasi dapat menghasilkan perilaku positif: Keinginan berkenalan dengan orang baru, misalnya, dapat menciptakan lingkaran teman yang lebih luas, yang secara umum membuat kita lebih sehat, lebih bahagia, lebih aman, dan lebih sukses.

Sisi positif ini mungkin menjelaskan me­ngapa keterbukaan terhadap hal-hal baru te­tap merupakan salah satu ciri-ciri dominan per­kem­bangan remaja. Kesukaan pada hal baru secara langsung membuahkan pengalaman yang bermanfaat. Secara lebih umum, berburu sensasi memberi inspirasi yang dibutuhkan untuk “menjelajah ke luar rumah” dan ke wilayah baru.

Hal lain yang juga memuncak semasa re­maja (dan mungkin yang paling membuat kesal orang tua) adalah mengambil risiko. Kita paling getol bermain dengan risiko pada masa remaja daripada pada masa lain. Ini terlihat di lab secara konsisten, yaitu remaja mengambil risiko lebih besar dalam berbagai eksperimen terkendali, yang melibatkan permainan kartu hingga simulasi mengemudi. Ini juga terlihat dalam kehidupan nyata, yaitu masa kira-kira usia 15 hingga 25 yang menampakkan puncak dalam beragam kegiatan berisiko. Sangat banyak anggota kelompok usia ini yang meninggal akibat hampir segala jenis ke­celakaan (selain kecelakaan kerja). Sebagian besar penyalahgunaan obat atau alkohol jang­ka panjang dimulai semasa remaja, dan orang yang di kemudian hari minum alkohol secara bertanggung jawab pun biasanya minum ber­lebihan semasa remaja.   

Apakah anak-anak ini sekadar bertindak bodoh? Itulah penjelasan yang konvensional: Mereka tidak berpikir, atau menurut model barang-setengah-jadi, otak mereka yang masih berkembang itu gagal melindungi mereka.

Namun, penjelasan ini tidak tepat. Seperti yang diingatkan Laurence Steinberg, psikolog perkembangan yang berspesialisasi di bidang masa remaja, bahkan remaja usia 14-17 tahun—pengambil risiko terbesar—menggunakan strategi kognitif dasar yang sama dengan orang dewasa, dan mereka biasanya memecahkan masalah dengan nalar sebaik orang dewasa. Ber­tentangan dengan keyakinan populer, mereka juga menyadari sepenuhnya bahwa mereka manusia fana. Dan, seperti orang dewasa, kata Steinberg, “remaja sebenarnya tidak meremehkan risiko.”