Relikui Berselimut Magi

By , Senin, 31 Oktober 2011 | 11:21 WIB

Pada suatu hari, pada akhir abad ketujuh, rom­bong­an tak dikenal menyusuri jalan Romawi tua yang melintasi tanah kering tak berpenghuni yang dibatasi hu­tan, di kerajaan Anglo-Saxon bernama Mercia. Mereka mungkin tentara, mung­kin juga pencuri—daerah terpencil itu terkenal dirundung penyamun selama ber­abad-abad—tetapi yang pasti mereka bukan pelancong biasa. Di dekat tanjakan kecil mereka menyimpang dari jalan, lalu menggali lubang dan mengubur se­kumpulan harta di dalam tanah.!break!

Selama 1.300 tahun harta itu tak terganggu, dan akhirnya lahan itu berevolusi dari lapangan tengah hutan menjadi padang gembala, menjadi ladang garapan. Lalu, pemburu harta yang di­lengkapi detektor logam—yang menjamur di Britania—mulai berdatangan mengunjungi pe­tani Fred Johnson, meminta izin berjalan-jalan di ladang. “Kukatakan kepada salah satu­nya, kunci inggrisku hilang dan kuminta dia men­carinya,” kata Johnson. Ternyata, pada 5 Juli 2009 Terry Herbert datang ke pintu rumah-tani itu dan memberi tahu Johnson bahwa ia menemukan harta karun Anglo-Saxon.

Simpanan Staffordshire, demikian julukan­nya, menyulut perhatian khalayak umum mau­pun cendekiawan Anglo-Saxon. Penemuan spek­ta­kuler di permakaman Anglo-Saxon sudah pernah terjadi, misalnya temuan harta raja di Sutton Hoo di Suffolk. Tetapi, harta karun yang digali dari ladang Fred Johnson ini unik—kumpulan benda emas, perak, dan batu akik dari masa awal Anglo-Saxon dan dari salah satu kerajaan terpenting zaman itu. Lebih dari itu, mutu dan gaya hiasan filigree dan cloisonné rumit yang memperindah benda-benar itu luar biasa, menimbulkan perbandingan dengan harta karun legendaris seperti Injil Lindisfarne atau Book of Kells.

Setelah dibuat katalognya, simpanan itu ternyata terdiri atas sekitar 3.500 keping yang mewakili ratusan benda utuh. Dan benda-benda tersebut menyajikan pola yang menarik. Ada lebih dari 300 rangka gagang pedang, 92 tutup ujung gagang pedang, dan 10 bandul sarung pedang. Juga penting: Tak ada uang logam atau perhiasan wanita, dan dari seluruh koleksi, tampaknya yang bukan senjata hanya tiga benda religius. Menariknya, banyak benda di antaranya seperti dibengkokkan atau dipatahkan. Berarti harta karun ini adalah tumpukan senjata militer elite yang rusak, disembunyikan 13 abad lalu di wilayah yang bergejolak secara politik dan militer. Simpanan Staffordshire ini bersejarah dan mengasyikkan—akan tetapi yang terpenting, penuh teka-teki.

Bangsa Celt, penjajah Romawi, penjarah Viking, dan penakluk Normandia—semua datang dan pergi, meninggalkan jejak pada tanah, bahasa, dan perangai Britania. Tetapi, yang kita sebut negara Inggris sekarang dibentuk ter­utama oleh kekuasaan Anglo-Saxon selama enam abad, yaitu tak lama setelah kepergian penjajah Romawi, sekitar tahun 410, hingga Penaklukan Normandia pada 1066.

Suku barbar bergerak di Eropa ke arah barat sejak pertengahan abad ketiga dan mungkin sudah mulai menyerang Britania sekitar saat itu. Pada awal abad kelima, suku-suku gelisah ini merongrong Roma, sehingga negara itu me­narik garnisun dari Britania, provinsi yang dikuasainya selama 350 tahun, untuk melawan ancaman yang lebih dekat ke tanah air sendiri. Sementara bangsa Romawi pergi, Scotti dan Pict, yaitu suku di sebelah barat dan utara, mulai menggempur perbatasan. Karena tak ada lagi pembela Romawi, bangsa Britania meng­undang pasukan Germania dari Eropa se­bagai tentara bayaran. Venerabilis Beda—karyanya Ecclesiastical History of the English People, yang ditulis pada abad kedelapan, adalah sumber paling berharga tentang zaman ini—menyebutkan bahwa undangan bersejarah ini terjadi sekitar tahun 450 dan bahwa tentara tersebut berasal dari “tiga suku Germania yang perkasa, yaitu Saxon, Angle, dan Jute.” Cendekiawan modern menentukan tanah air ketiga suku ini terletak di Jerman, Belanda utara, dan Denmark.

Tergiur oleh cerita tentang kesuburan tanah­nya dan “kepengecutan orang Britania,” tentara dari ketiga kapal pertama diikuti oleh tentara lain, dan tak lama kemudian, catat Beda, “pasukan suku-suku ini menyesaki pulau dengan bersemangat, dan jumlah orang asing mulai meningkat sedemikian sehingga menjadi sumber teror bagi orang pribumi.” Pendeta Britania, Gildas, yang risalah abad keenamnya On the Ruin of Britain menjadi laporan tertua yang masih tersisa tentang masa yang samar-samar ini, menggambarkan pertumpahan darah: “Api dendam… merebak dari laut ke laut… dan tidak berhenti, menghancurkan kota dan tanah tetangga, sampai ke tepi pulau satunya.”

Menurut Gildas, banyak orang pribumi Britania “malang yang tersisa” yang selamat kemudian kabur atau diperbudak. Namun, bukti arkeologi menyiratkan bahwa setidaknya sebagian permukiman pasca-Romawi meniru gaya Germania dalam hal tembikar, pakaian, dan praktik penguburan; dengan kata lain, setidaknya sebagian budaya Britania lenyap melalui asimilasi budaya. Mendalamnya pe­naklukan Anglo-Saxon atas Britania tampak jelas dalam peninggalan mereka yang paling langgeng, yaitu bahasa Inggris. Sementara sebagian besar Eropa keluar dari dunia pasca-Romawi dengan berbicara rumpun bahasa Roman—bahasa Spanyol, Italia, dan Prancis diturunkan dari bahasa Latin bangsa Romawi yang sudah silam—bahasa yang kemudian membentuk Inggris adalah bahasa Germania.

Penemuan simpanan harta karun di ladang Inggris sendiri tidaklah luar biasa. Di Britania, penemuan seperti itu terjadi di mana-mana.

Orang mengubur harta karena berbagai alasan: menjauhkannya dari tangan musuh, “menabung” kekayaan, dan sebagai sesajen. Karena dokumentasi zaman itu sangat sedikit, motif di balik penguburan Simpanan Stafford­shire lebih baik disimpulkan dari simpanan itu sendiri. Petunjuk pertama adalah ciri-cirinya yang khas militer, menyiratkan bahwa kumpulan itu bukan hasil curian campur-aduk. Ciri-ciri simpanan itu cocok dengan militerisme suku-suku Germania, yang bahkan membuat kagum bangsa Romawi yang bermental militer.

Inggris dibentuk oleh peperangan. Ke­mungkinan besar, munculnya kerajaan suku di Inggris Anglo-Saxon awal berasal dari peng­gabungan wilayah yang diraih melalui pe­perangan dan persekutuan. Menurut dugaan, warga kerajaan Mercia pertama adalah bangsa Angle yang menyusuri Sungai Trent ke hulu, lalu menetap di lembah di dekat simpanan itu. Mercia bukan saja salah satu kerajaan terpenting dari ketujuh ke­rajaan Anglo-Saxon utama yang menguasai Inggris, melainkan juga salah satu yang paling senang berperang. Antara tahun 600 dan 850 Mercia berperang 14 kali dengan tetangganya Wessex, 11 kali dengan bangsa Wales, dan 18 perang dengan musuh-musuh lain—dan ini hanya yang tercatat dalam sejarah.!break!

Jumlah ujung gagang pedang dalam Simpanan Staffordshire, 92, hampir sama dengan jumlah orang dalam pasukan pengawal bangsawan. Jadi, simpanan ini mungkin perlengkapan mili­ter elite yang menjadi ciri-ciri rombongan bangsawan tertentu. Bangsawan sering memberi pengawalnya pedang dan perlengkapan lain, bahkan kuda, yang seluruhnya disebut heriot, yang dikembalikan jika si pengawal meninggal sebelum tuannya. Pedang juga biasa dikuburkan bersama pemiliknya yang pendekar atau di­wariskan sebagai pusaka keluarga.

Tetapi, kadang-kadang pedang dikubur tanpa pemilik. Dalam kebiasaan di Eropa utara sejak Zaman Perunggu hingga masa Anglo-Saxon, pedang dan benda lain, yang biasanya tampak jelas berharga, disimpan di dalam rawa, sungai, dan kali, selain di dalam tanah. “Kita tak bisa lagi menganggap simpanan harta karun hanya sebagai celengan,” kata Kevin Leahy, pakar se­jarah Anglo-Saxon yang diberi amanat membuat katalog harta karun Staffordshire. Simpanan ritual, yang dikubur bukan untuk ditabung, tidak hanya ditemukan di Britania, tetapi juga di Skandinavia, tanah air sebagian suku Germania di Inggris. Secara signifikan, banyak senjata—dan kadang benda lain, seperti alat kerajinan—dibengkokkan atau dipatahkan sebelum dikubur, seperti benda-benda di simpanan ini. Mungkin dengan “dibunuh”, senjata dapat dikirim ke dunia ruh atau menjadi sesajen ungkapan rasa syukur kepada dewa-dewa. Perusakan itu melambangkan bahwa si pengubur mempersembahkan manfaat senjata yang berharga itu, tanpa bisa diambil kembali.

“Simpanan ini peragaan kejantanan,” kata Nicholas Brooks, sejarawan yang menyebut benda gemerlap yang ditemukan di Staffordshire sebagai “perhiasan bagi pendekar pendamping raja.” Hampir 75 persen logam dalam simpanan itu berupa emas, yang berat totalnya lima kilo­gram lebih. Menurut Brooks, “sumbernya mis­terius.” Sebagian besar emas di Inggris pada dasarnya berasal dari Roma. Emas ke­kaisaran jatuh ke tangan suku Germania se­bagai rampasan setelah penjarahan Roma, dan simpanan yang ditemukan di Inggris mungkin pernah diedarkan kembali dan didaur ulang. Pada masa Simpanan Staffordshire, persediaan emas sudah menipis, dan sebagai gantinya di­gunakan perak dan aloi perak . Demikian pula, sumber batu akik—seperti emas, merupakan hal menonjol dalam simpanan itu—telah bergeser, dari India ke Bohemia dan Portugal.

Sejarawan Guy Halsall menaksir nilai emas dalam simpanan itu pada masanya setara dengan 800 solidus, senilai sekitar 80 kuda. Nilai modern temuan itu dihitung sebesar £3.285.000, atau 52,5 miliar rupiah kurang sedikit. Namun, pada zamannya, nilai simpanan itu tentu diukur dengan berbagai aspek lain. Emas memang me­nyilaukan, tetapi dari sudut pandang praktis, bagian senjata yang paling berharga—“bagian yang panjang, runcing, dan tajam untuk mem­bunuh,” komentar Halsall dengan kering—tidak ada dalam harta karun itu, dan mungkin saja mata pedangnya sengaja disimpan untuk digunakan lagi.

Hal terpenting, benda-benda dalam simpanan ini dulu ditempa dan dikubur dalam dunia yang melihat kegaiban dalam peristiwa dan tindakan sehari-hari; misalnya, nasib buruk diyakini berasal dari panah kecil yang dilepaskan peri jahat, dan ada banyak peninggalan berupa jimat terhadap serangan. Kesaktian sebuah benda lebih penting daripada nilai materinya. Emas dihargai tak hanya karena bernilai tinggi, tetapi juga karena sakti (karena indah dan tidak pernah rusak), dan karenanya digunakan dalam jimat. Mitos Germania menggambarkan aula emas dewa-dewa, dan seiring semakin makmurnya gereja dan biara Kristen, mereka membuat benda sakramen dari emas. Dalam banyak bu­daya, seni metalurgi sendiri bernuansa gaib, dan saga Nordik memerinci dengan jelas seni gaib sang pandai logam, dari tombak dan cincin emas Odin hingga godam Thor.

Hal yang magis ini juga mungkin menjelaskan ke­beradaan ketiga benda yang jelas nonmiliter dalam Simpanan Staffordshire: dua salib emas dan pita emas tipis yang diukir dengan kutipan kitab suci. Agama Kristen pertama datang ke Britania bersama penjajahan Romawi, me­mudar seiring memudarnya bangsa Romawi, dan diperkenalkan kembali dengan ber­se­mangat kepada Inggris Anglo-Saxon oleh para misionaris, sebagian besar dari Irlandia dan Eropa. Ada “keyakinan yang memandang perpindahan agama sebagai pertempuran spiritual,” tulis Karen Jolly, pakar tentang agama rakyat Anglo-Saxon. Berpindah ke agama Kristen adalah pertempuran jiwa—boleh dibilang peperangan, sesuatu yang dipahami kaum kafir Germania ini. Dan salib adalah lambang yang bermanfaat secara militer, yang muncul se­cara dramatis di pertempuran dalam sejarah. Venerabilis Beda berkisah tentang raja Northumbria, Oswald, yang sebelum Per­tempuran Heavenfield melawan bangsa Wales pada tahun 634 “menegakkan tanda salib suci dan, sambil berlutut, berdoa agar Tuhan mengirim bantuan surgawi kepada para penyembahnya yang menghadapi kesukaran.” Dia dan anak buahnya lalu “meraih kemenangan yang sesuai dengan iman mereka.” Yang aneh, salah satu dari kedua salib dalam simpanan itu sengaja dibengkokkan dan dilipat, sama seperti banyak benda lain yang ada di sana. Apakah ini untuk “membunuh” kesaktian militernya, seperti pada pedang?!break!

Kemungkinan ini semakin meyakinkan ka­rena adanya satu-satunya benda lain yang tam­paknya nonmiliter: Pita emas tipis, kedua sisinya diukir dengan kutipan kitab suci yang sama, yang, menariknya, juga dilipat. “[S]urge d[omi]ne disepentur inimici tui et [f]ugent qui oderunt te a facie tua—Bangkitlah, Tuhan, supaya musuh-Mu berserak dan orang-orang yang membenci Engkau melarikan diri dari hadapan-Mu.” Kutipan ini berasal dari teks Vulgata Latin ayat Bilangan 10:35 dan Mazmur yang kini bernomor 68:1—ayat yang mungkin digunakan untuk tujuan yang tidak lazim. Dalam Life of Saint Guthlac, yang ditulis sekitar tahun 740, Guthlac diganggu setan, lalu ia “menyanyikan ayat pertama Mazmur 67 seolah-olah bernubuat, ‘Bangkitlah, Tuhan,’ dll.: Ketika mereka mendengar ini, pada saat yang sama, lebih cepat daripada kata-kata, semua rombongan setan lenyap bagai asap dari hadapannya.” Bahkan benda nonmiliter dalam Simpanan Staffordshire itu tampaknya memiliki fungsi gaib yang bermanfaat secara militer.

Bangsa Mercia adalah perampok perbatasan yang agresif—nama Mercia berasal dari kata Inggris Kuno mierce, yang berarti “orang per­batasan”—dan mungkin itu sebabnya sim­panan itu terdiri atas benda dengan gaya dari berbagai daerah. “Simpanan itu ditemukan di zona perbatasan, yang selalu menarik,” kata Kevin Leahy. “Tempatnya di perbatasan Mercia dan Wales.” Dengan kata lain, wilayah yang diperebutkan. Sekitar tahun 650, di Lembah Trent di Staffordshire, dekat Lichfield, terjadi pertempuran kecil yang melibatkan orang Mercia dan tetangga Wales mereka. Banyak rampasan perang diangkut dari situ—mungkin lewat jalan Romawi tua, Watling Street, yang melewati tempat ditemukannya Simpanan Staffordshire. Peristiwa dan tempat ini diperingati dalam puisi Wales “The Death Song of Cynddylan”:

Mulia dalam perang! Rampasan melimpahDibawa Morial dari garis depan Lichfield.Seribu lima ratus ternak dari garis depan;delapan puluh kuda jantan dan abah-abah.Uskup kepala merana di rumah sudut empat,biarawan pembukuan tak melindunginya.Rombongan 80 kuda dan rampasan dari seorang uskup “merana” (detail yang ter­gambar dari ukiran dan salib emas): Puisi itu menawarkan penjelasan menarik tentang simpanan itu, tetapi sayangnya penjelasan itu dibangun dari bukti tak langsung yang lemah, yang kebetulan tersisa dari zaman yang sebagian besar buktinya telah lenyap. Kita dapat menyusun banyak teori lain yang menarik. Kelompok tak dikenal itu mungkin memilih tempat penguburan karena tempat itu tersembunyi—atau justru karena menonjol. Permakaman itu mungkin ditandai agar dapat ditemukan, atau mungkin diniatkan sebagai sesajen yang tersembunyi selamanya dari semua orang, kecuali dewa-dewa mereka. Simpanan itu mungkin tebusan, rampasan perang, atau tanda syukur. Mungkin juga koleksi pusaka Anglo-Saxon yang dikubur pada masa  setelah itu.

Di masa kini, lanskap Mercia yang sudah pupus masih menggema dalam nama-tempat Anglo-Saxon, seperti nama yang berakhir dengan “leah” atau “ley,” yang berarti “hutan terbuka”, seperti Wyrley, atau Lichfield sendiri, yang namanya berarti kira-kira “padang gembala umum di dalam atau samping hutan kelabu.” Tempat penguburan simpanan itu kini berupa padang rumput tempat kuda Fred Johnson merumput. Kemungkinan besar kita tak akan pernah tahu kisah di balik Simpanan Staffordshire, tetapi di dunia tanpa mantra atau naga seperti sekarang, mampukah kita memahaminya seandainya kita tahu?