Rome Wager berdiri di depan arena rodeo di sebuah peternakan kecil yang berlokasi tidak jauh dari Suaka Navajo di New Mexico. Dia dikelilingi sekelompok koboi muda. Dengan gesper besar warna perak di pinggang dan kumis panjang terpilin ke bawah di kedua ujung mulutnya, Wager mengangkat tinggi-tinggi Alkitab dengan tangan kirinya. Sementara para koboi muda melepaskan topi dan meletakkannya di lutut mereka. !break!
“Cerita-cerita saya selalu dimulai dengan awal yang agak berbeda,” ujar Brother Rome tatkala mereka berjongkok di halaman yang penuh debu. “Tetapi, Tuhan selalu membantu saya menyampaikannya dengan jelas.”
Sebelum menjadi pendeta Baptis, Wager adalah seorang pengendara banteng dan saddle-bronc profesional. Ia memiliki rekor patah tulang di tubuh yang jumlahnya melampaui jumlah tulang di tubuhnya. Wager yang berdarah campuran Belanda dan Seneca dari sang ayah, ditambah Lakota dari garis ibunya lalu bercerita tentang sejarah hidupnya yang liar. Tumbuh di sebuah peternakan di South Dakota, Walter muda gemar berkelahi. Ia juga dipukul, ditembak, dan ditikam. Dia jadi juara gulat dan tinju, lalu mulai mengenal minuman keras. “Dulu saya budak alkohol,” dia mengaku.
Akan tetapi, kehidupannya sebagai seorang koboi terasa hampa. Ia lalu mulai mencari makna kehidupan. Hingga pada suatu hari di sebuah ruang penjara Montana, dia menghabiskan waktu dengan membaca Alkitab.
“Saya melihat buku itu di penjara. Kemudian, saya melihat Dia membuatkan saya rumah di surga… Dia merasuki hati saya.”
Kata-kata yang dituturkannya dengan lembut mampu memesona orang yang mendengarnya. Para pengendara rodeo itu pun tertunduk. Mereka mendengarkan setiap kata yang keluar dari mulut Walter, sang pengkhotbah, dengan penuh perhatian. Padahal, yang keluar dari mulut Walter bukanlah sesuatu yang biasa diucapkan di kawasan Barat Amerika kala itu. Kata-kata yang mampu “menyihir’ para pendengarnya itu berasal dari Inggris, diterjemahkan 400 tahun yang lalu oleh sekelompok pendeta berjubah hitam. “2 Korintus 5. ‘Oleh karena itu, jika manusia ada di dalam Kristus, ia adalah ciptaan baru: masa lalu sudah mati, lihatlah, segala sesuatu menjadi baru.’”
Kata-kata dalam Alkitab Raja James merupakan perpaduan dari dua budaya asing. Bukan teks asli, melainkan terjemahan naskah berbahasa Yunani dan Ibrani kuno, yang diucapkan berabad-abad yang lalu dan berjarak ribuan kilometer, yang muncul di satu sudut berdebu di dunia baru dengan makna yang sama—megah tetapi terasa hangat, seperti suara alam semesta yang menembus dan terdengar di dalam bagian telinga yang paling dalam.
Untuk dapat mendengarkan kekuatan kata-kata itu, seseorang tidak harus menjadi Kristen—sederhana dalam kosa kata, bergema luas, berirama agung dan sangat menyentuh emosi. Alkitab Raja James telah menjadi fondasi bagi pembentukan bahasa Inggris. Si kaya dan si miskin, orang-orang fasik, orang licik dan culas, sampah dunia, menyimpan kebaikan sampai saat-saat terakhir, pakaian dan perhiasan terburuk, dunia semu kaum hartawan, dan peluang-peluang yang sangat tipis: Semua itu disampaikan kepada kita oleh para penerjemah yang menuntaskan karya menakjubkan mereka 400 tahun yang lalu.
Kitab ini mencapai keberhasilan yang luar biasa di seluruh dunia. Dimulai pada Maret 1603, angka cetaknya melampaui buku berbahasa Inggris mana pun. Setelah memerintah sangat lama, Ratu Inggris Elizabeth I akhirnya wafat. Inilah saat yang telah lama dinantikan oleh sepupu sekaligus ahli warisnya, Raja James VI dari Skotlandia. Saat itu, Skotlandia adalah kerajaan termiskin di Eropa. Sebaliknya, Inggris adalah kerajaan yang beradab, subur, dan kaya. Ketika James mendengar kabar bahwa akhirnya dia akan mewarisi takhta Inggris, dia digambarkan sebagai “seorang papa yang akhirnya tiba di Tanah yang Dijanjikan.”
Sepanjang abad ke-16, Inggris mengalami reformasi yang tidak stabil karena terus-menerus dilanda pergantian rezim, antara Protestan dan anti-Protestan. Pertentangan ini mengakibatkan Inggris memiliki dua kitab yang berbeda versi.
Pertama adalah Alkitab Jenewa, yang diterbitkan di Jenewa pada 1560 oleh sekelompok kecil pengikut Calvin berkebangsaan Skotlandia dan Inggris. Kitab ini ditulis berdasarkan terjemahan awal William Tyndale, yang tewas pada 1536 sebagai martir karena membela keyakinannya. Meski disukai kaum puritan, alkitab ini banyak menyepelekan kaum bangsawan yang dinyatakan secara berulang dalam catatan pinggirnya. Misalnya, dengan menyatakan ketika seorang raja berani memerintah, maka dia bertindak seperti seorang tiran.
Raja James menyukai Alkitab Jenewa karena nilai pengetahuannya, tetapi tidak menyukai bagian alkitab yang bernada anti-bangsawan. Kemudian, untuk menandinginya, gereja pengikut Elizabeth menerbitkan Alkitab Pendeta (Bishop Bible). Alkitab yang memunculkan gambar besar sang ratu di halaman depan ini disusun dan diterjemahkan dengan tergesa oleh belasan pendeta pada 1568. Bisa ditebak, alkitab ini mendukung kaum bangsawan. Akan tetapi, tidak seorang pun mau menggunakannya. Sebab, gaya bahasa yang digunakan dalam Alkitab Jenewa tidak disukai oleh para pendeta karena dinilai terlalu lugas. Mereka lebih menyukai ungkapan yang sedikit berbunga-bunga. Karena sering digunakan, Alkitab Jenewa yang masih ada sekarang sudah lusuh. Sementara, Alkitab Pendeta biasanya masih sebersih saat alkitab-alkitab itu dicetak.
Perpecahan yang telah berlangung turun-temurun inilah yang ingin dibenahi Raja James. Menerbitkan alkitab baru adalah solusinya. Aturan-aturan dasar pun dikeluarkan pada 1604. Isinya, tidak boleh ada catatan pinggir yang kontroversial; tidak boleh ada kata-kata yang tidak dipahami rakyat biasa; teks harus akurat dan benar dan dipandu orang-orang pandai. Untuk mewujudkannya, Raja membentuk komite penerjemah dengan anggota yang cukup banyak, yakni sekitar 54 cendekiawan yang mewakili semua pihak, mulai dari kaum Puritan hingga perwakilan yang paling terpandang dari kalangan gereja. Kemudian, kelompok ini dibagi lagi dalam enam subkomite. Masing-masing diminta menerjemahkan enam bagian berbeda dari Alkitab.