Alkitab Raja James

By , Minggu, 29 Januari 2012 | 06:39 WIB

Rome Wager berdiri di depan arena rodeo di sebuah pe­ter­nakan kecil yang berlokasi tidak jauh dari Suaka Navajo di New Mexico. Dia di­kelilingi sekelompok koboi muda. Dengan gesper besar warna perak di pinggang dan kumis panjang terpilin ke bawah di kedua ujung mulutnya, Wager mengangkat tinggi-tinggi Alkitab dengan tangan kirinya. Sementara para koboi muda melepaskan topi dan meletakkannya di  lutut mereka. !break!

“Cerita-cerita saya selalu dimulai dengan awal yang agak berbeda,” ujar Brother Rome tatkala mereka berjongkok di halaman yang penuh debu. “Tetapi, Tuhan selalu membantu saya menyampaikannya dengan jelas.”

Sebelum menjadi pendeta Baptis, Wager adalah seorang  pengendara banteng dan saddle-bronc profesional. Ia memiliki rekor patah tulang di tubuh yang jumlahnya melampaui jumlah tulang di tubuhnya. Wager yang ber­darah campuran Belanda dan Seneca dari sang ayah, ditambah Lakota dari garis ibunya lalu bercerita tentang sejarah hidupnya yang liar. Tumbuh di sebuah peternakan di South Dakota, Walter muda gemar berkelahi. Ia juga dipukul, ditembak, dan ditikam. Dia jadi juara gulat dan tinju, lalu mulai mengenal minuman keras. “Dulu saya budak alkohol,” dia mengaku.

Akan tetapi, kehidupannya sebagai seorang koboi terasa hampa. Ia lalu mulai mencari mak­na kehidupan. Hingga pada suatu hari di sebuah ruang penjara Montana, dia menghabiskan waktu dengan membaca Alkitab.

“Saya melihat buku itu di penjara. Kemudian,  saya melihat Dia membuatkan saya rumah di surga… Dia merasuki hati saya.”

Kata-kata yang dituturkannya dengan lembut mampu memesona orang yang mendengarnya.  Para pengendara rodeo itu pun tertunduk. Mereka mendengarkan setiap kata yang keluar dari mulut Walter, sang pengkhotbah, dengan penuh perhatian. Padahal, yang keluar dari mulut Walter bukanlah sesuatu yang biasa di­ucapkan di kawasan Barat Amerika kala itu.  Kata-kata yang mampu “menyihir’ para  pen­dengar­nya itu berasal dari Inggris, diter­jemah­kan 400 tahun yang lalu oleh sekelompok pen­deta berjubah hitam. “2 Korintus 5. ‘Oleh karena itu, jika manusia ada di dalam Kristus, ia adalah ciptaan baru: masa lalu sudah mati, lihatlah, segala sesuatu menjadi baru.’”

Kata-kata dalam Alkitab Raja James me­rupa­kan perpaduan dari dua budaya asing. Bukan teks asli, melainkan terjemahan naskah berbahasa Yunani dan Ibrani kuno, yang diucap­kan berabad-abad yang lalu dan berjarak ribuan kilometer, yang muncul di satu sudut berdebu di  dunia baru dengan makna yang sama—megah tetapi terasa hangat, seperti suara alam semesta yang menembus dan terdengar  di dalam bagian telinga yang paling dalam.

Untuk dapat mendengarkan kekuatan kata-kata itu, seseorang tidak harus menjadi Kristen—sederhana dalam kosa kata, bergema luas, ber­irama agung dan sangat menyentuh emosi. Alkitab Raja James telah menjadi fondasi bagi pembentukan bahasa Inggris. Si kaya dan si miskin, orang-orang fasik, orang licik dan culas, sampah dunia, menyimpan ke­baikan sampai saat-saat terakhir, pakaian dan perhiasan terburuk, dunia semu kaum hartawan, dan peluang-peluang yang sangat tipis: Semua itu disampaikan kepada kita oleh para penerjemah yang menuntaskan karya menakjubkan mereka 400 tahun yang lalu.

Kitab ini mencapai keberhasilan yang luar biasa di seluruh dunia. Dimulai pada Maret 1603, angka cetaknya me­lampaui buku berbahasa Inggris mana pun. Setelah memerintah sangat lama, Ratu Inggris Elizabeth I akhirnya wafat. Inilah saat yang telah lama dinantikan oleh sepupu se­kali­gus ahli warisnya, Raja James VI dari Skot­landia. Saat itu, Skotlandia adalah kerajaan termiskin di Eropa. Sebaliknya, Inggris adalah kerajaan yang beradab, subur, dan kaya. Ketika James mendengar kabar bahwa akhirnya dia akan mewarisi takhta Inggris, dia digambarkan sebagai “seorang papa yang akhirnya tiba di Tanah yang Dijanjikan.”

Sepanjang abad ke-16, Inggris mengalami re­formasi yang tidak stabil karena terus-menerus dilanda pergantian rezim, antara Protestan dan anti-Protestan. Pertentangan ini mengakibatkan Inggris memiliki dua kitab yang berbeda versi.

Pertama adalah Alkitab Jenewa, yang di­terbitkan di Jenewa pada 1560 oleh sekelompok kecil pengikut Calvin ber­kebangsaan Skotlandia dan Inggris. Kitab ini ditulis berdasarkan ter­jemahan awal William Tyndale, yang tewas pada 1536 sebagai martir karena membela ke­yakinannya. Meski disukai kaum puritan, alkitab ini banyak menyepelekan kaum bangsawan yang dinyatakan secara berulang dalam catatan pinggirnya. Misalnya, dengan menyatakan  ketika seorang raja berani memerintah, maka dia bertindak seperti seorang tiran.

Raja James menyukai Alkitab Jenewa karena nilai pengetahuannya, tetapi tidak menyukai bagian alkitab yang bernada anti-bangsawan.  Kemudian, untuk menandinginya, gereja peng­ikut Elizabeth menerbitkan Alkitab Pendeta (Bishop Bible). Alkitab yang memunculkan gambar besar sang ratu di halaman depan ini di­susun dan diterjemahkan dengan tergesa oleh belasan pendeta pada 1568. Bisa ditebak, alkitab ini mendukung kaum bangsa­wan. Akan tetapi, tidak seorang pun mau menggunakannya. Sebab,  gaya bahasa yang digunakan dalam Alkitab Jenewa  tidak disukai oleh para pendeta karena dinilai terlalu lugas. Mereka lebih menyukai ungkap­an yang sedikit berbunga-bunga. Karena sering digunakan, Alkitab Jenewa yang masih ada sekarang sudah lusuh.  Sementara, Alkitab Pendeta biasanya masih se­bersih saat alkitab-alkitab itu dicetak.

Perpecahan yang telah berlangung turun-temurun inilah yang ingin dibenahi Raja James. Menerbitkan alkitab baru adalah solusinya.  Aturan-aturan dasar pun dikeluarkan pada 1604. Isinya, tidak boleh ada catatan pinggir yang kontroversial; tidak boleh ada kata-kata yang tidak dipahami rakyat biasa; teks harus akurat dan benar dan dipandu orang-orang pandai. Untuk mewujudkannya, Raja membentuk ko­mite penerjemah dengan anggota yang cukup banyak, yakni sekitar 54 cendekiawan yang me­wakili semua pihak, mulai dari kaum Puritan hingga perwakilan yang paling terpandang dari kalangan gereja. Kemudian, kelompok ini dibagi lagi dalam enam subkomite. Masing-masing di­minta menerjemahkan enam bagian berbeda dari Alkitab.

Meskipun para penerjemah dipilih berdasar­kan keahlian mereka dalam bahasa-bahasa kuno, banyak di antara mereka yang sudah me­nikmati kehidupan kaya dan beragam. John Layfield, misalnya, pernah berperang melawan Spanyol di Puerto Riko. Sebuah pe­tualangan yang menyebabkannya terpesona oleh keindahan Karibia yang masih perawan. Lalu, George Abbot adalah seorang pengarang buku laris panduan jelajah dunia. Ada juga Had­rian à Saravia yang berdarah Flemish dan Spanyol. Beberapa di antara mereka juga pernah menjelajahi Eropa; sementara yang lain­nya bahasawan Arab. William Bedwell dan Henry Savile, cendekiawan bangsawan yang dikenal sebagai “majalah berjalan”, adalah pakar matematika. Ada juga pecandu alkohol ber­nama Richard “Belanda” Thomson, ahli ba­ha­sa Latin cemerlang yang terkenal sebagai “pemabuk Inggris-Belanda tak bermoral.” Lalu, di antara perwakilan terpandang dari ge­reja terdapat seorang lelaki murung yang di­khianati istrinya, John Overall, kepala gereja St. Paul. Menurut teman-temannya, ia terlalu sering berbicara dalam bahasa Latin sehingga hampir melupakan bahasa Inggris. Kesalahan Overall adalah menikahi seorang gadis terkenal yang menawan hati, yang kemudian meninggalkannya karena berselingkuh dengan bangsawan yang justru tidak bisa berbahasa Latin, Sir John Selby. Itu adalah dunia di mana tak ada jurang pemisah antara politik dan agama.

Terjemahan Al­kitab yang mencerminkan Kitab Suci asli, yang mudah diperoleh rakyat biasa, dan me­wujud­kan keagungan Tuhan merupakan alat politik paling ampuh di Inggris pada abad ke-17. “Kami berharap Alkitab ini mencerminkan Kitab Suci yang asli yang dapat dipahami bahkan oleh orang yang tak berpendidikan sekalipun,” kata para penerjemah dalam prakata Alkitab terbitan 1611 itu. Gaya bahasa yang sederhana inilah—yang menyebabkan Brother Rome Wager lancar berkomunikasi dengan para koboi muda—yang menjadi sasaran para penerjemah Raja James.Setiap anggota dari keenam subkomite me­ner­jemahkan sendiri-sendiri seluruh bagian ter­tentu dari Alkitab. Kemudian, masing-masing membawa terjemahannya ke rapat subkomite. Di rapat inilah berbagai versi terjemahan di­bandingkan, lalu ditetapkan satu versi ter­jemahan. Selanjutnya, versi itu diserahkan ke komite revisi umum untuk seluruh Alkitab, yang mengadakan rapat di Stationers’ Hall di London.

Di sini, para cendekiawan yang melakukan revisi meminta versi yang diusulkan itu di­baca­kan dengan suara keras—tanpa melihat teks—sementara di pangkuan mereka terdapat terjemahan sebelumnya dalam Bahasa Inggris dan berbagai bahasa lain. Hanya telinga dan pikiranlah yang menjadi alat bantu editorial. Mereka menginginkan Kitab Suci itu terdengar wajar. Jika hal ini tidak terpenuhi pada rapat dengar pertama, terjadi diskusi editorial yang berlangsung alot—yang luar biasa, umumnya mereka berdiskusi dalam bahasa Latin dan kadang Yunani. Komite revisi menyajikan versi akhir kepada dua pendeta, kemudian kepada uskup senior Gereja Inggris, dan akhirnya, se­tidaknya secara teoretis, kepada Raja.!break!

Alkitab Raja James adalah buku yang dicipta­kan oleh dunia di mana dunia itu diciptakan. Hubungan erat ini terasa sangat nyata dalam be­berapa ruangan di jantung kota London. Di dalam Westminster Abbey, gereja terbesar kaum bangsawan Inggris,Very Reverend Dr. John Hall, kepala gereja Westminster yang ber­pakaian pantalon abu-abu dan berkacamata dapat ditemui di kantor pimpinan gereja yang dilindungi panel dan berkarpet. Di sini, pen­dahulu­nya kepala gereja dari abad ke-17, Lancelot Andrewes, memimpin subkomite yang menerjemahkan lima buku pertama kitab Per­janjian Lama. Di ruangan-ruangan ini pula, kalimat pembuka “Pada mulanya Allah menciptakan langit dan bumi” terdengar untuk pertama kali.

John Hall memimpin upacara pernikahan Pange­ran William dan Kate Middleton di ge­reja ini pada April tahun ini. Suasananya sung­­guh berbeda dengan suasana khotbah Rome Wager di depan para koboi di lapangan berdebu di New Mexico. Namun bagi Hall, ada sesuatu pada Alkitab Raja James yang dengan mulus menjembatani jurang perbedaan di antara mereka. Dia membaca Alkitab Raja James ketika masih kecil, dan mulai membacanya kembali belum lama ini. “Ada saat-saat tertentu ketika membacanya,” ujarnya, “yang membuat saya begitu terharu hingga meneteskan air mata. Saya menyukai kisah setelah Yesus disalib dan bangkit kembali, lalu beliau muncul di hadapan para rasul saat mereka berjalan menuju Emmaus. Para rasul tidak mengenalnya, tetapi mereka bercakap-cakap, dan di akhir kisah itu mereka berkata kepada Yesus, ‘Tinggallah bersama kami karena hari sudah menjelang malam.’ Kalimat itu—begitu sederhana, begitu langsung, dan begitu mantap—sangat mendalam maknanya bagi saya selama bertahun-tahun. Bahasanya sarat misteri dan keagungan, namun juga men­cerminkan pimpinan yang penuh kasih, dan di situlah letak kekuatan buku ini.”

Awalnya, terjemahan baru Alkitab itu tidak meraih sukses besar saat per­tama kali terbit. Warga Inggris lebih senang menggunakan Alkitab Jenewa yang sudah mereka kenal dan sukai. Lagi pula, terbitan demi terbitan Alkitab baru itu sarat dengan kesalahan cetak. Alkitab Durjana terbitan 1631 yang terkenal terlewat mencantumkan kata yang sangat penting (kata “not” yang berarti “tidak”) dalam Keluaran 20:14, sehingga tercetak, “Engkau boleh berzina.” Akibatnya, percetakan harus membayar denda sangat besar.

Namun, pada pertengahan 1600-an, Al­kitab Raja James secara efektif berhasil meng­ganti­kan semua alkitab pendahulunya dan men­jadi Alkitab utama di negara-negara ber­bahasa Inggris. Tatkala para saudagar dan koloni Inggris meluas melintasi Atlantik dan merambah Afrika dan anak benua India, Alkitab Raja James ikut pula tersebar bersama mereka. Alkitab itu menjadi barang dagangan, digunakan se­bagai bungkus cerutu, obat, manisan, hingga selongsong peluru, dan akhirnya dipasarkan sebagai “buku yang dibaca Raja Anda.”

Masyarakat Alkitab di Inggris dan Amerika mendistribusikan Alkitab Raja James ke se­luruh dunia. Masyarakat Alkitab Inggris dan asing yang bermarkas di London, misalnya, mengapalkan lebih dari seratus juta eksemplar dalam kurun 80 tahun setelah berdiri pada 1804.

Namun, ada sisi gelap di balik kisah Al­kitab yang sangat sukses ini. Sepanjang se­­­jarah­nya, alkitab ini digunakan dan di­manipulasi, oleh orang baik maupun jahat, yang memanfaatkannya untuk meraih ke­untungan pribadi. Sebagian besar isi alkitab ini menyangkut kebebasan, belas kasih, dan pe­­­­­ne­bus­an dosa. Namun, bagian-bagian itu di­­imbangi oleh bahasa yang menyiratkan ke­gigihan balas dendam dan kekuasaan. Sebagai Alkitab kerajaan, buku ini juga men­jadi alkitab para budak sehingga selalu bersifat ambivalen di kawasan yang pernah menjadi jajahan Inggris.!break!

Di antara puing-puing dan rong­sok­an mobil di Trench Town dan Taman Tivoli di West Kingston, Jamaika, setiap rumah dipagari agar tidak terlihat dari jalan. Di samping itu, rumah juga dipasangi dinding tinggi dari besi bergelombang yang dipaku ke papan kasar. Kawasan yang dikuasai oleh gembong narkoba yang dilindungi polisi ini memiliki angka pem­bunuhan tertinggi di dunia. Inilah provinsi yang dikuasai hukum rimba, kemiskinan parah, dan ketakutan. Dilihat dari tatanan sosialnya, dengan segelintir orang kaya yang berkuasa dan banyaknya kaum papa, sebenarnya tidak terlalu berbeda dengan keadaan Inggris awal abad ke-17.

Ini adalah salah satu pusat musik reggae—yang dilahirkan dan menjadi gaya hidup kaum Rastafari—dan Alkitab Raja James. Seperti di­katakan Mutabaruka, DJ dan penyair dari Jamaika, “Hal pertama yang dikenal orang di negara jajahan ini adalah Alkitab Raja James.” Padahal, mereka bukan penganut Kristen. Sejak 1930-an mereka percaya bahwa kaisar Etiopia saat itu, Haile Selassie, adalah Tuhan.

Namanya Ras Tafari sebelum 1930, ketika dia dijuluki “Raja para Raja, Singa dari Yudea, Utusan Tuhan.” Semua gelar itu terdapat dalam Alkitab bagi Sang Juru Selamat. Masyarakat pulau itu sudah lama menggunakan Alkitab Baptis. Pada pertengahan abad ke-20, di saat warga Jamaika mencari Injil penebusan baru, keyakinan tersebut mendadak menjadi masuk akal. Ras Tafari adalah sang penyelamat, Tu­han di alam nyata, dan Etiopia adalah Tanah Perjanjian. Bagi warga Rastafari, yang sangat sadar akan sejarah perbudakan kaum berkulit hitam, Jamaika adalah Babilonia, yang setara dengan kota tempat bangsa Israel diperbudak. Kebebasan dan penebusan tidak akan dialami di surga, sebagaimana yang selalu dikatakan kaum Kristen, melainkan di dunia.

“Pengalaman pada masa perbudakan ikut berperan,” kata Mutabaruka, “karena manusia butuh diselamatkan dan mendapatkan pene­busan. Warga Rasta tidak percaya kepada Tuhan yang menciptakan langit. Penebusan mereka berada dalam karakter manusia. Ketika bangsa Eropa datang dan berkata, ‘Yesus di langit,’ orang Rasta menolaknya dengan tegas.” (Yesus di langit bagi orang Rasta sama dengan kisah tentang Kebangkitan Yesus.) “Dia berkata, ‘Ketika engkau melihat saya, engkau melihat Tuhan.’ Tidak ada Tuhan di langit. Manusia adalah Tuhan, Afrika adalah Tanah Perjanjian.”

Michael “Miguel” Lorne adalah seorang pe­nasihat hukum Rastafari yang selama 30 tahun bekerja untuk “kaum miskin dan papa” di   daerah yang paling keras di Kingston. Meski dinding kantornya dipenuhi gambar tentang Afrika dan kaisar Etiopia itu, jendelanya ber­teralis dan pintu depannya berkunci tiga dan di­­perkuat pintu baja.

“Alkitab sering digunakan untuk menaklukkan para budak,” ujar Lorne. Tam­pak­nya seperti membenarkan kaum ku­lit putih memperbudak kaum kulit hitam. “Imbalanmu adalah surga, kamu harus menerima ini sebagai takdirmu,” katanya.

Lorne terlihat baik, tegar, dan penuh inspirasi. “Kami mendambakan dunia yang tidak mem­bedakan orang berdasarkan warna kulitnya seperti saat ini. Itulah salah satu keindahan Rastafari. Kami yang pernah menderita, di­kasari, dan dipukuli, telah memperjuangkan ganti rugi dan perbaikan selama bertahun-tahun. Namun, kami tidak akan menggunakan kekerasan untuk memperolehnya.”

Warga Rastafari yang saleh membaca Alkitab Raja James setiap hari. Lorne pun sudah me­nuntas­kannya. Evon Youngsam, anggota Dua Belas Suku Israel, salah satu “cabang” (mansion) gerakan Rastafari di Kingston, yang kantor pusatnya berseberangan dengan rumah tua Bob Marley di kota, belajar membaca Alkitab Raja James di pangkuan neneknya. Dia lalu mengajari anak-anaknya membaca dengan menggunakan alkitab itu. Para penganut paham Bobo Shanti, mansion Rastafari lainnya, hidup di kompleks permukiman mereka yang terpencil di kaki bukit Blue Mountains di luar Kingston. Mereka menyanyikan kidung Mazmur setiap hari. Suasana permukiman kelompok ini tenang dan hangat, nyaris seperti biara. Tetapi penganut paham Rastafari lainnya justru mempunyai gaya hidup yang sangat berbeda. Mereka mengikuti sikap tidak toleran yang terdapat dalam be­berapa bagian Alkitab itu.

Alkitab Raja James selalu memiliki dua sisi. Kitab ini berasal dari kekuasaan kaum bangsa­wan, dan digunakan untuk menakut-nakuti rakyat yang lemah. Namun, tak dapat di­sangkal buku itu juga menyajikan keindahan, kemurahan hati, dan kebaikan dalam kehidupan kaum kaya maupun papa. Asal-usulnya ambi­valen—untuk kaum Puritan dan pendeta, si mampu dan tak mampu, untuk kelugasan dan kemuliaan, untuk menyampaikan kata-kata Tuhan kepada manusia, sekaligus meningkatkan posisi para penguasa—dan ambivalensi ajaran ini merupakan warisannya yang sejati.