Ketika Telban kembali tahun 2001, ia tak dapat menemukan mereka lagi. Tetapi orang Awim, yang masih berhubungan dengan orang Meakambut, tahu bahwa orang Meakambut masih ada. Hingga tiga generasi sebelumnya, orang Awim juga bergaya hidup nomaden. Tetapi kemudian mereka menetap di tepi Sungai Arafundi agar dapat memiliki akses atas sekolah dan klinik. Dengan harapan agar bertemu dengan masyarakat penganut budaya seminomaden terakhir ini, peneliti antropologi bernama Nancy Sullivan mengirimkan tim pada bulan Juli 2008 untuk menemukan orang Meakambut dan menginventarisasi gua mereka.
Sulivan mempelajari lukisan gua di wilayah itu—lukisan telapak tangan yang merekam generasi penghuninya. Ia tinggal di Papua Nugini selama lebih dari dua dekade dan mengadopsi sejumlah anak. Tim Sullivan menemukan 52 orang Meakambut yang masih bertahan dan 105 gua yang telah diberi nama oleh penduduk setempat. Hanya sekitar 20 yang digunakan secara aktif sebagai tempat berteduh. Mereka menemukan pot tanah liat, belati dari tulang, dan lukisan telapak tangan di dinding sembilan gua, juga tengkorak manusia di tiga gua. Banyak dari orang tua telah meninggal.!break!
Saat awal pencarian orang Meakambut, kami terbang dengan pesawat kecil yang dapat mendarat di air menuju basin Sungai Sepik, dataran banjir yang mengeringkan barat daya Papua Nugini. Kami meluncur melewati anak sungai yang makin kecil dan makin kecil dalam perahu bermotor hingga kami malahan mendorong, bukan menaikinya. Akhirnya kami meneruskan perjalanan dengan berjalan kaki.
Dua malam berturut-turut kami mencoba menghubungi mereka melalui “telepon hutan”: Tiga lelaki memukul batang bertingkat dua dari pohon menjulang. Dentuman suara menggema di seluruh kanopi pepohonan. Jika ini tak berhasil, kami bersusah payah berjalan kaki selama dua hari berkeliling untuk mencari keberadaan terakhir yang diketahui dari kelompok itu, Tembakapa, sekumpulan gubuk temporer yang berdiri di punggung bukit yang berkabut. Tempat itu sudah ditinggalkan. Di tengahnya terdapat salib kayu dikelilingi batu.
Pada tengah hari keesokannya, dua orang Meakambut datang melangkah ke kemah kami—mereka mendengar panggilan telepon hutan. Mereka mengenali Joshua Meraveka, 26, anggota tim Sullivan saat itu, menyambutnya dengan gembira, dengan kuat menyalami tangannya. Ia memperkenalkan mereka sebagai John dan Mark Aiyo—kakak beradik, mungkin usianya akhir 20-an tahun.
John, seorang pemimpin Meakambut, mengenakan jaket Lakers biru, cawat daun, dan ikat kepala bermanik-manik berhias bulu kuning. Mark mencoret wajahnya dengan arang dan tanah liat merah serta menaruh pakis di rambutnya serta helaian bunga kuning di jenggotnya yang hitam. Mereka meletakkan busur dan anak panah serta golok mereka, berjongkok di dekat api, dan mulai melinting daun tembakau untuk merokok. Karena kami bersama Joshua, kehadiran kami tampaknya tak mengganggu mereka.
Ia bercerita bahwa mereka punya nama Kristen karena sebagian dari mereka pernah tinggal di desa untuk beberapa saat; satu orang pergi ke sekolah Alkitab dan membaptis mereka ketika ia kembali. John dan Mark berasal dari kelompok Embarakal yang beranggotakan 12 orang, satu dari mungkin empat kelompok yang membentuk kaum Meakambut. Ketiga kelompok lainnya harus pergi untuk membawa anggota mereka yang sakit ke klinik kesehatan di gunung (ketimbang ke klinik dekat sungai).
“Terlalu banyak orang sakit,” kata John melalui Joshua. Anggota kelompok Embarakal yang lain, yang beberapa di antaranya juga sakit parah, katanya, akan menuju gua bernama Ulapunguna esok hari untuk menemui kami.
Kami berangkat menuju gua Ulapunguna pada jam sembilan keesokan paginya. Jalan dipenuhi jaring tanaman rambat, tapi Mark menembusnya dengan mudah bagaikan hantu. Kami pun tiba di Ulapunguna, gua setinggi 12 meter yang tersembunyi oleh batu yang tergantung menjorok dengan tempat api dan tempat anak panah berjejer di dinding. Anak panah tanpa bulu itu panjangnya lebih dari satu meter. Ada tiga anak panah untuk ikan, dua untuk burung, dua untuk babi. Ketika saya bertanya seberapa sering mereka membunuh babi, John berkata, setiap minggu. Jelas bahwa ia bangga menjadi pemburu. Mark berkata, “Menjadi nomaden itu sudah mengalir dalam darah kami.” !break!
Sambil menunggu kedatangan anggota Embarakal lain, John mengganti tali busurnya dan, melalui Joshua, bercerita tentang kehidupan gua. Orang Meakambut menghabiskan beberapa hari hingga minggu di tempat perlindungan dari batu atau gubuk sebelum berpindah. Perempuan dan anak-anak menanam taro, labu, timun, singkong, pisang, dan tembakau, untuk dipanen ketika mereka melewatinya di lain waktu. Para lelaki berburu dan membantu perempuan membuat tepung dari sagu.
Setiap gua punya pemilik dan nama, dan kepemilikan itu diwariskan dari ayah ke anak lelaki. Mark dan John memiliki gua Ulapunguna. Sebagian gua memiliki legenda, yang hanya diketahui pemiliknya: Hanya pemilik gua yang dapat berbagi rahasianya.
Sambil menarik tali busur bambunya yang baru, John memberi isyarat agar saya mengikutinya. Kami berjalan melalui hutan menuju tempat terbuka, di mana ia menunjuk dinding kapur yang besar. “Kopao,” katanya.