Manusia Gua Terakhir

By , Senin, 30 Januari 2012 | 10:55 WIB

Kopao adalah gua orang Meakambut yang paling keramat. Ini adalah gua penciptaan, yang diyakini merupakan tempat asal mereka. Ia akan membawa saya ke sana besok. Ketika kami kembali ke Ulapunguna, anggota kelompok yang lain telah tiba. Inilah saat kami pertama kali berjumpa dengan Lidia, meringkuk dekat api, terbatuk-batuk dengan memilukan.

Keesokan harinya, saat si sakit memulai per­jalanan ke klinik, saya menuju gua Kopao bersama John dan Joshua. Jalurnya menanjak ke selokan yang bagai diterjang banjir dan men­dadak berakhir di dinding tebing. Tanpa ragu, John mulai mendaki batu hitam yang licin, jari kakinya mencari celah di dinding kapur itu.

Ia menemukan pohon kecil yang menjorok tegak lurus, mengikat tumbuhan rambat, dan menurunkan ujungnya untuk saya. Kami meng­habiskan waktu dua jam untuk memanjat 300 meter. Kami merangkak melalui batang pohon yang tumbuh vertikal di dinding tebing. Ujian terakhir adalah berjingkat-jingkat melewati birai yang halus bagaikan kaca dengan jurang yang dalam berkabut di bawah kami.

Di sisi lainnya adalah gua Kopao. Kami me­runduk di bawah batu yang menjorok dan ter­sandung sederetan panjang tengkorak. Tengkorak manusia. Mereka berjajar seolah sedang saling berbisik. Tempurung kepala me­reka berubah jadi hijau dan lubang mata yang gelap dan menghantui menatap langsung ke pe­nyusup. John sangat diam. Ia menyelipkan golok­nya pada ikat pinggang dari kulit kayu. Itu adalah tengkorak nenek moyangnya. Orang Meakambut masih memuja leluhur mereka. Se­olah masuk tanpa izin, dengan hati-hati ia ber­jalan menghindari tengkorak itu.

Lebih jauh di dalam gua terdapat lukisan, gambar telapak tangan manusia merah dan hitam. Ini adalah gambar telapak tangan pen­dahulu John. Ia tak tahu berapa umur mereka—mereka tak punya catatan waktu—tetapi banyak gambar itu yang hampir hilang. Seperti tengkorak, gambar itu seolah berkata, Berhenti, berbalik, pergi sekarang.

John memimpin saya melewati lukisan me­nuju celah sebesar 20 sentimeter di langit-langit. Ia duduk dan dengan khidmat berkata bahwa sekarang ia akan menceritakan kisah Kopao, tetapi begitu ia selesai, kami harus se­gera pergi dengan cepat dan diam. !break!

Pada awalnya, Api, roh Bumi, datang ke tempat ini dan menemukan sungai penuh ikan, hutan belantara penuh babi, dan banyak pohon sagu yang tinggi, tetapi tak ada manusia. Api berpikir: Inilah tempat yang bagus untuk manusia, jadi ia membuat celah pada gua. Orang pertama yang keluar adalah Awim, ke­­mudian Imboin, kelompok lain, akhirnya Mea­kambut. Mereka telanjang dan harus me­ngerutkan badan agar dapat keluar melalui celah itu. Orang lain ada di dalam, tetapi setelah Meakambut keluar, Api menutup celah itu, dan yang lain harus tinggal dalam kegelapan.

Orang Awim, Imboin, dan Meakambut ter­sebar di pegunungan dan tinggal di tempat ber­teduh yang terbuat dari batu. Mereka membuat kapak batu, busur, dan anak panah, dan hasil perburuan mereka bagus. Tak ada kebencian, pembunuhan, dan penyakit. Hidup indah dan tenang, dan semua orang perutnya terisi penuh.

Saat itu lelaki dan perempuan tinggal di gua terpisah, lanjut John. Kala petang, lelaki pergi ke gua khusus untuk menyanyi. Pada suatu malam ada lelaki yang berpura-pura sakit dan tak ikut. Ketika para lelaki bernyanyi, ia pergi ke gua perempuan dan berhubungan badan. Saat para lelaki kembali, mereka merasa ada hal yang tak beres. Seorang lelaki mendadak iri, yang lain merasa benci, yang lain marah, yang lain sedih. Inilah saat manusia mempelajari semua hal buruk, juga awal dari ilmu sihir.

Keesokan paginya di Ulapunguna, John duduk mencangkung, tangannya diletakkan di atas api, kepala menunduk. Tak ada bunga atau daun di rambut. Ia sangat resah. Joshua ber­kata, roh Kopao mendatangi John saat malam. Tengkorak itu berbicara dengannya. Lubang hitamnya bermata merah seperti makhluk hutan malam, dan tengkorak berkata mereka melihat John membawa lelaki kulit putih. Mereka mendengar John menceritakan kisah rahasia. Mereka marah. Cerita ini bukan untuk orang kulit putih.

John khawatir roh itu akan menghukumnya dengan membunuh Lidia. Ia merasa kacau. Ia ingin pergi, lari dari pegunungan ke sungai dan naik perahu menyusuri sungai. Saya disalahkan dan seolah mengkhianati orang-orang ini.

Kepercayaan atas ilmu sihir dan guna-guna merupakan hal biasa di Papua Nugini. Amnes­ti Internasional mengutip laporan media yang menyatakan bahwa 50 orang yang dituduh melakukan sihir dibunuh tahun 2008; sebagian dibakar hidup-hidup. Pengarang Inggris Edward Marriott menggambarkan dalam buku­nya yang terbit tahun 1996, The Lost Tribe, bagaimana ia disalahkan ketika seorang perempuan dan empat anaknya meninggal karena sengatan petir, dan ia terpaksa lari me­nyelamatkan diri. Jika Lidia meninggal, besar kemungkinannya saya akan disalahkan.

Kami menjelaskan kepada John bahwa men­­dayung perahu akan memakan waktu be­berapa hari dan perahu motor tempel kami di­harapkan akan kembali besok pagi, saat kami dapat membawanya ke klinik di Amboin. Puas dengan rencana itu, John mengejutkan kami. Ia mengakui, orang-orangnya kehabisan makanan kemarin, sehingga hari ini mereka harus mem­buat sagu. Ketika kami mengusulkan agar kami berburu, ia menggelengkan kepala.

Malam itu hidangan makan malam adalah kue panekuk sagu yang dipanggang di atas api. Sagu adalah karbohidrat yang hampir tak mengandung protein, lemak, vitamin, atau mineral. Kami tak melihat daging.

John, Joshua, dan saya duduk di dekat api, mengunyah panekuk bergetah yang lunak, ber­cakap-cakap hingga malam hari. John mulai santai. Ia mengakui bahwa kelompoknya belum makan daging atau membunuh babi selama tiga bulan. Ia sangat khawatir dengan rakyatnya. Ia mengatakan dulu ada beberapa ratus orang Mea­kambut. Sekarang mereka kehilangan dua bayi dari setiap tiga bayi yang dilahirkan. Ia mengatakan tak ada babi yang tersisa di pegunungan, tak ada kasuari di hutan, tak ada ikan di sungai. Saat api unggun padam, John membisikkan sesuatu untuk saya sampaikan ke pemerintah Papua Nugini. Suatu pesan. !break!

Setelah fajar menyingsing, kelompok Em­ba­rakal bersolek untuk meninggalkan pe­gunungan. Para lelaki mencoreng wajah dengan warna hitam dan jingga; perempuan me­nyelimuti kulit dengan bintik-bintik. 

Kami mencapai kamp bernama Wakau, se­tengah perjalanan menyusuri sungai, menjelang tengah hari. Tiba-tiba kami mendengar siul­an orang dari pegunungan—sisa orang Mea­kambut yang kembali dari punggung bukit. Kelompok Embarakal memutuskan untuk ber­gabung, dan John meminta saya untuk me­nemukan Lidia, Michael, dan bayinya dan mengirimkan mereka pulang kalau sudah sehat. Saya lega karena John tidak ikut. Saya khawatir apa yang akan terjadi jika Lidia telah tiada. Kami tiba di tempat perahu motor saat petang dan menyusuri sungai hingga gelap se­belum akhirnya tiba di desa Awim. Klinik satu-satunya di wilayah itu tak memiliki pasok­an obat untuk menolong Lidia yang ada di sana. Tetapi ia masih hidup. Antibiotik me­nyelamatkannya. Ia lemah dan tak bisa berjalan. Kami memberinya infus malam itu. Michael dan anaknya juga membaik. Saat subuh, Lidia tersenyum dan berdiri tertatih-tatih.

Saat makan pagi, Sebastian Haraha memberi tanda agar saya duduk di sampingnya. Se­mentara waktu ia terpaksa menunda ren­cana­nya memetakan gua-gua Meakambut—yang bertujuan untuk menyelamatkan ha­bi­tat dan budaya mereka di masa mendatang. Baginya pilihannya jelas. Pertama-tama ia adalah manusia, baru kemudian etnografer.

“Melindungi gua? Apa gunanya jika tak ada orang Meakambut tersisa?” tanyanya marah. Keadaan Lidia membuatnya gamang. “Orang Meakambut di ambang kepunahan. Mereka mati karena penyakit yang mudah diobati. Dalam waktu sepuluh tahun mereka bisa benar-benar habis. Budaya serta bahasanya akan lenyap. Inilah kaum nomaden terakhir di Papua Nugini!” Ia jelas kesal, tetapi juga bersemangat.

“Jika saya kembali ke Port Moresby, saya akan langsung menuju kantor perdana menteri dan melakukan sesuatu.” Saya mengangguk, lalu menyampaikan pesan John kata demi kata: “Kami, orang Meakambut, akan berhenti ber­buru dan selalu berpindah dan tinggal di gua di gunung, jika pemerintah memberi kami klinik dan sekolah, dan dua sekop dan dua kapak, sehingga kami dapat membangun rumah.”