Manusia Gua Terakhir

By , Senin, 30 Januari 2012 | 10:55 WIB

Ia terbaring di dalam gua, sekarat.

Lidia Maiyu yang bertubuh kurus meringkuk dekat api unggun. Mata­nya lebar dengan tatap­an kematian. Ia batuk, tubuhnya bergetar dan ia menjerit kesakitan. Lidia mungkin berusia 15 tahun, ia sendiri tak yakin. Tiga bulan silam ia melahirkan, dan bayinya mati: kelompok itu meninggalkan mayatnya di gua dan me­lanjut­kan perjalanannya. Pasu Aiyo, suami Lidia, men­ceritakan kepada saya, inilah yang ter­jadi. “Kalau kamu sakit, cuma ada dua pilihan: kamu membaik atau mati.”!break!

Kecuali cahaya dari api unggun, yang ada hanya gelap gulita. Di balik pintu masuk gua, hujan tercurah, gelombang air tanpa lelah me­nerpa dedaunan raksasa di hutan. Sepertinya malam senantiasa hujan di pegunungan Papua Nugini ini. Itulah sebabnya mengapa Lidia dan anggota kelompoknya yang masih tersisa, orang Meakambut, berteduh dalam lindungan bebatuan—mereka kering.

Terletak tinggi di karang terjal, terkadang perlu panjatan ber­bahaya melalui tetumbuhan rambat, gua juga merupakan benteng alam yang dulu pernah melindungi orang Meakambut dari musuh: pemburu kepala, kanibal, dan pencuri pengantin perempuan. Itu beberapa generasi yang lalu. Sekarang musuh mereka tidak buas tetapi mematikan: malaria dan tuberkulosa.

Pasu duduk dekat api. Ia merapikan cawatnya yang terbuat dari dedaunan dan menaruh kepala Lidia di pangkuannya. Lidia menatapnya dengan lemah. Pasu dengan sedih menyuruh saudara lelakinya John menanyakan kepada kami apakah ada yang dapat kami lakukan.

Kami—tim dari National Geographic—ke­­betulan tiba saat krisis terjadi. Rencana kami mengikuti orang Meakambut, salah satu penghuni gua terakhir masyarakat semi­nomaden di Papua Nugini, melalui tanah ke­lahiran mereka yang berbukit-bukit, terpaksa berubah karena keadaan darurat itu. Seorang anggota tim, teknisi medis darurat, memeriksa Lidia dan mendapati paru-parunya dipenuhi cairan, jantungnya berdegup 140 denyut se­menit, dan suhu tubuhnya 40 derajat.

Ia me­nyimpul­kan bahwa Lidia menderita pneumonia yang mengancam jiwa dan memberinya dosis ganda antibiotik dan Tylenol. Kami mem­bujuknya minum segelas air yang telah disterilkan dicampur gula dan garam, men­dudukkannya malam itu di pelukan suaminya sehingga ia dapat bernapas dengan lebih mudah, dan menyarankan agar begitu pagi merekah ia dibawa keluar dari pegunungan, lalu menyusuri sungai menuju klinik di desa Amboin. Dua orang anggota kelompok Meakambut lainnya, Michael Wakinjua dan bayi lelakinya juga sakit parah. !break!

Anggota tim kami, Sebastian Haraha, adalah etnografer yang turut untuk menunjukkan persis­nya lokasi gua-gua yang ditinggali orang Meakambut dengan sistem pemosisian global (GPS). Ia berharap akan mendaftarkannya se­suai dengan Undang-Undang Properti Budaya Nasional, sehingga tanah air orang Meakambut dilindungi dari penebangan dan penambangan. Sekarang ia menawarkan diri untuk menemani yang sakit menuruni gunung.

Saat subuh Lidia terengah-engah. Kami mem­berikan lebih banyak obat dan memberi Pasu persediaan pil untuk seminggu. Ia mem­bungkus tubuh Lidia yang lemah dalam bilum, atau tas jaring, dan menggendongnya di punggung­nya. Sebastian membantu Michael, sementara istri Michael menggendong bayi mereka yang jarang bergerak—karena terlalu lemah—di punggungnya.

Perlu enam jam sam­bil membuka jalan dengan golok untuk menuju Sungai Manbungnam, tempat perahu kano kami yang terbuat dari batang pohon yang dilubangi dan bermesin tempel menunggu. Dari sana masih akan makan waktu enam jam menyusuri sungai untuk mencapai klinik. Kecil harapan kami bahwa Lidia akan selamat.

Keragaman geografi Papua Nugini yang luas menciptakan keragaman biologi yang sangat besar, yang pada gilirannya diikuti oleh keragaman budaya yang amat banyak: lebih dari 800 bahasa di negara yang luasnya sekitar 3,5 kali luas pulau Jawa ini. Karena keragaman ini, setelah penguasa kolonial melarang pemburu kepala, kanibalisme, dan perang antarsuku yang dimulai 1880-an, wilayah ini menarik, baik bagi misionaris maupun antropolog.

Hanya di wilayah yang sangat sulit di­jangkau­lah orang nomaden tradisional seperti Meakambut bisa ditemukan. Kelompok itu tinggal di dua punggung bukit yang terjal di lereng curam di bagian utara yang luas dari Pe­gunungan Central. Batas antara tanah mereka dan kawasan permukiman di sekelilingnya—Imboin, Awim, Andambit, Kanjimei, dan Namata—belum ditandai dengan jelas. Teritori mereka sekitar 260 kilometer persegi.

Orang Meakambut tak dikenal dunia luar hingga 1960-an, saat patroli Australia mulai me­nyusuri topografi paling sulit di negara itu. Tahun 1991, antropolog Borut Telban dari Slovenia tinggal seminggu di daerah itu dan menemukan 11 orang Meakambut yang ting­gal dalam tempat perlindungan yang dibuat sekenanya dan di gua-gua. Ia bercerita bahwa kaum lelakinya mengenakan kalung dari rangkai­an biji kina dan bercawat, perempuanya mengenakan rok dari rumput.

Ketika Telban kembali tahun 2001, ia tak dapat menemukan mereka lagi. Tetapi orang Awim, yang masih berhubungan dengan orang Meakambut, tahu bahwa orang Meakambut masih ada. Hingga tiga generasi sebelumnya, orang Awim juga bergaya hidup nomaden. Tetapi kemudian me­reka menetap di tepi Sungai Arafundi agar dapat memiliki akses atas sekolah dan klinik.   Dengan harapan agar bertemu dengan masya­rakat penganut budaya seminomaden terakhir ini, peneliti antropologi bernama Nancy Sullivan mengirimkan tim pada bulan Juli 2008 untuk menemukan orang Meakambut dan menginventarisasi gua mereka.

Sulivan mempelajari lukisan gua di wilayah itu—lukisan telapak tangan yang merekam gene­rasi penghuninya. Ia tinggal di Papua Nugini selama lebih dari dua dekade dan meng­adopsi sejumlah anak. Tim Sullivan me­nemukan 52 orang Meakambut yang masih ber­tahan dan 105 gua yang telah diberi nama oleh penduduk setempat. Hanya sekitar 20 yang digunakan secara aktif sebagai tempat berteduh. Mereka menemukan pot tanah liat, belati dari tulang, dan lukisan telapak tangan di dinding sembilan gua, juga tengkorak manusia di tiga gua. Banyak dari orang tua telah meninggal.!break!

       Saat awal pencarian orang Meakambut, kami terbang dengan pesawat kecil yang dapat mendarat di air menuju basin Sungai Sepik, dataran banjir yang mengeringkan barat daya Papua Nugini. Kami meluncur melewati anak sungai yang makin kecil dan makin kecil dalam perahu bermotor hingga kami malahan mendorong, bukan menaikinya. Akhirnya kami meneruskan perjalanan dengan berjalan kaki.

Dua malam berturut-turut kami mencoba menghubungi mereka melalui “telepon hutan”: Tiga lelaki memukul batang bertingkat dua dari pohon menjulang. Dentuman suara meng­gema di seluruh kanopi pepohonan. Jika ini tak berhasil, kami bersusah payah berjalan kaki se­lama dua hari berkeliling untuk mencari ke­­beradaan terakhir yang diketahui dari ke­lompok itu, Tembakapa, sekumpulan gubuk temporer yang berdiri di punggung bukit yang berkabut. Tempat itu sudah ditinggalkan. Di tengahnya terdapat salib kayu dikelilingi batu.

Pada tengah hari keesokannya, dua orang Mea­kambut datang melangkah ke kemah kami—mereka mendengar panggilan telepon hutan. Mereka mengenali Joshua Meraveka, 26, anggota tim Sullivan saat itu, menyambutnya dengan gembira, dengan kuat menyalami tangan­­nya. Ia memperkenalkan mereka se­bagai John dan Mark Aiyo—kakak beradik, mungkin usianya akhir 20-an tahun.

John, se­orang pemimpin Meakambut, mengenakan jaket Lakers biru, cawat daun, dan ikat kepala bermanik-manik berhias bulu kuning. Mark men­coret wajahnya dengan arang dan tanah liat merah serta menaruh pakis di rambutnya serta helaian bunga kuning di jenggotnya yang hitam. Mereka meletakkan busur dan anak panah serta golok mereka, berjongkok di dekat api, dan mulai melinting daun tembakau untuk merokok. Karena kami bersama Joshua, ke­hadiran kami tampaknya tak mengganggu mereka.

Ia bercerita bahwa mereka punya nama Kristen karena sebagian dari mereka pernah tinggal di desa untuk beberapa saat; satu orang pergi ke sekolah Alkitab dan membaptis mereka ketika ia kembali. John dan Mark berasal dari kelompok Embarakal yang beranggotakan 12 orang, satu dari mungkin empat kelompok yang membentuk kaum Meakambut. Ketiga kelompok lainnya harus pergi untuk membawa anggota mereka yang sakit ke klinik kesehatan di gunung (ketimbang ke klinik dekat sungai).

“Terlalu banyak orang sakit,” kata John melalui Joshua. Anggota kelompok Embarakal yang lain, yang beberapa di antaranya juga sakit parah, katanya, akan menuju gua bernama Ulapunguna esok hari untuk menemui kami.  

Kami berangkat menuju gua Ulapunguna pada jam sembilan keesokan paginya. Jalan di­penuhi jaring tanaman rambat, tapi Mark me­nembusnya dengan mudah bagaikan hantu. Kami pun tiba di Ulapunguna, gua setinggi 12 meter yang tersembunyi oleh batu yang ter­gantung menjorok dengan tempat api dan tempat anak panah berjejer di dinding. Anak panah tanpa bulu itu panjangnya lebih dari satu meter. Ada tiga anak panah untuk ikan, dua untuk burung, dua untuk babi. Ketika saya bertanya seberapa sering mereka membunuh babi, John berkata, setiap minggu. Jelas bahwa ia bangga menjadi pemburu. Mark berkata, “Menjadi nomaden itu sudah mengalir dalam darah kami.” !break!

Sambil menunggu kedatangan anggota Embarakal lain, John mengganti tali busur­nya dan, melalui Joshua, bercerita tentang kehidupan gua. Orang Meakambut meng­habiskan bebe­rapa hari hingga minggu di tempat perlindung­an dari batu atau gubuk se­belum berpindah. Perempuan dan anak-anak menanam taro, labu, timun, singkong, pisang, dan tembakau, untuk dipanen ketika mereka melewatinya di lain waktu. Para lelaki berburu dan membantu perempuan membuat tepung dari sagu.

Setiap gua punya pemilik dan nama, dan kepemilikan itu diwariskan dari ayah ke anak lelaki. Mark dan John memiliki gua Ulapunguna. Sebagian gua memiliki legenda, yang hanya diketahui pemiliknya: Hanya pe­milik gua yang dapat berbagi rahasianya.

Sambil menarik tali busur bambunya yang baru, John memberi isyarat agar saya meng­ikutinya. Kami berjalan melalui hutan menuju tempat terbuka, di mana ia menunjuk dinding kapur yang besar. “Kopao,” katanya.

Kopao adalah gua orang Meakambut yang paling keramat. Ini adalah gua penciptaan, yang diyakini merupakan tempat asal mereka. Ia akan membawa saya ke sana besok. Ketika kami kembali ke Ulapunguna, anggota kelompok yang lain telah tiba. Inilah saat kami pertama kali berjumpa dengan Lidia, meringkuk dekat api, terbatuk-batuk dengan memilukan.

Keesokan harinya, saat si sakit memulai per­jalanan ke klinik, saya menuju gua Kopao bersama John dan Joshua. Jalurnya menanjak ke selokan yang bagai diterjang banjir dan men­dadak berakhir di dinding tebing. Tanpa ragu, John mulai mendaki batu hitam yang licin, jari kakinya mencari celah di dinding kapur itu.

Ia menemukan pohon kecil yang menjorok tegak lurus, mengikat tumbuhan rambat, dan menurunkan ujungnya untuk saya. Kami meng­habiskan waktu dua jam untuk memanjat 300 meter. Kami merangkak melalui batang pohon yang tumbuh vertikal di dinding tebing. Ujian terakhir adalah berjingkat-jingkat melewati birai yang halus bagaikan kaca dengan jurang yang dalam berkabut di bawah kami.

Di sisi lainnya adalah gua Kopao. Kami me­runduk di bawah batu yang menjorok dan ter­sandung sederetan panjang tengkorak. Tengkorak manusia. Mereka berjajar seolah sedang saling berbisik. Tempurung kepala me­reka berubah jadi hijau dan lubang mata yang gelap dan menghantui menatap langsung ke pe­nyusup. John sangat diam. Ia menyelipkan golok­nya pada ikat pinggang dari kulit kayu. Itu adalah tengkorak nenek moyangnya. Orang Meakambut masih memuja leluhur mereka. Se­olah masuk tanpa izin, dengan hati-hati ia ber­jalan menghindari tengkorak itu.

Lebih jauh di dalam gua terdapat lukisan, gambar telapak tangan manusia merah dan hitam. Ini adalah gambar telapak tangan pen­dahulu John. Ia tak tahu berapa umur mereka—mereka tak punya catatan waktu—tetapi banyak gambar itu yang hampir hilang. Seperti tengkorak, gambar itu seolah berkata, Berhenti, berbalik, pergi sekarang.

John memimpin saya melewati lukisan me­nuju celah sebesar 20 sentimeter di langit-langit. Ia duduk dan dengan khidmat berkata bahwa sekarang ia akan menceritakan kisah Kopao, tetapi begitu ia selesai, kami harus se­gera pergi dengan cepat dan diam. !break!

Pada awalnya, Api, roh Bumi, datang ke tempat ini dan menemukan sungai penuh ikan, hutan belantara penuh babi, dan banyak pohon sagu yang tinggi, tetapi tak ada manusia. Api berpikir: Inilah tempat yang bagus untuk manusia, jadi ia membuat celah pada gua. Orang pertama yang keluar adalah Awim, ke­­mudian Imboin, kelompok lain, akhirnya Mea­kambut. Mereka telanjang dan harus me­ngerutkan badan agar dapat keluar melalui celah itu. Orang lain ada di dalam, tetapi setelah Meakambut keluar, Api menutup celah itu, dan yang lain harus tinggal dalam kegelapan.

Orang Awim, Imboin, dan Meakambut ter­sebar di pegunungan dan tinggal di tempat ber­teduh yang terbuat dari batu. Mereka membuat kapak batu, busur, dan anak panah, dan hasil perburuan mereka bagus. Tak ada kebencian, pembunuhan, dan penyakit. Hidup indah dan tenang, dan semua orang perutnya terisi penuh.

Saat itu lelaki dan perempuan tinggal di gua terpisah, lanjut John. Kala petang, lelaki pergi ke gua khusus untuk menyanyi. Pada suatu malam ada lelaki yang berpura-pura sakit dan tak ikut. Ketika para lelaki bernyanyi, ia pergi ke gua perempuan dan berhubungan badan. Saat para lelaki kembali, mereka merasa ada hal yang tak beres. Seorang lelaki mendadak iri, yang lain merasa benci, yang lain marah, yang lain sedih. Inilah saat manusia mempelajari semua hal buruk, juga awal dari ilmu sihir.

Keesokan paginya di Ulapunguna, John duduk mencangkung, tangannya diletakkan di atas api, kepala menunduk. Tak ada bunga atau daun di rambut. Ia sangat resah. Joshua ber­kata, roh Kopao mendatangi John saat malam. Tengkorak itu berbicara dengannya. Lubang hitamnya bermata merah seperti makhluk hutan malam, dan tengkorak berkata mereka melihat John membawa lelaki kulit putih. Mereka mendengar John menceritakan kisah rahasia. Mereka marah. Cerita ini bukan untuk orang kulit putih.

John khawatir roh itu akan menghukumnya dengan membunuh Lidia. Ia merasa kacau. Ia ingin pergi, lari dari pegunungan ke sungai dan naik perahu menyusuri sungai. Saya disalahkan dan seolah mengkhianati orang-orang ini.

Kepercayaan atas ilmu sihir dan guna-guna merupakan hal biasa di Papua Nugini. Amnes­ti Internasional mengutip laporan media yang menyatakan bahwa 50 orang yang dituduh melakukan sihir dibunuh tahun 2008; sebagian dibakar hidup-hidup. Pengarang Inggris Edward Marriott menggambarkan dalam buku­nya yang terbit tahun 1996, The Lost Tribe, bagaimana ia disalahkan ketika seorang perempuan dan empat anaknya meninggal karena sengatan petir, dan ia terpaksa lari me­nyelamatkan diri. Jika Lidia meninggal, besar kemungkinannya saya akan disalahkan.

Kami menjelaskan kepada John bahwa men­­dayung perahu akan memakan waktu be­berapa hari dan perahu motor tempel kami di­harapkan akan kembali besok pagi, saat kami dapat membawanya ke klinik di Amboin. Puas dengan rencana itu, John mengejutkan kami. Ia mengakui, orang-orangnya kehabisan makanan kemarin, sehingga hari ini mereka harus mem­buat sagu. Ketika kami mengusulkan agar kami berburu, ia menggelengkan kepala.

Malam itu hidangan makan malam adalah kue panekuk sagu yang dipanggang di atas api. Sagu adalah karbohidrat yang hampir tak mengandung protein, lemak, vitamin, atau mineral. Kami tak melihat daging.

John, Joshua, dan saya duduk di dekat api, mengunyah panekuk bergetah yang lunak, ber­cakap-cakap hingga malam hari. John mulai santai. Ia mengakui bahwa kelompoknya belum makan daging atau membunuh babi selama tiga bulan. Ia sangat khawatir dengan rakyatnya. Ia mengatakan dulu ada beberapa ratus orang Mea­kambut. Sekarang mereka kehilangan dua bayi dari setiap tiga bayi yang dilahirkan. Ia mengatakan tak ada babi yang tersisa di pegunungan, tak ada kasuari di hutan, tak ada ikan di sungai. Saat api unggun padam, John membisikkan sesuatu untuk saya sampaikan ke pemerintah Papua Nugini. Suatu pesan. !break!

Setelah fajar menyingsing, kelompok Em­ba­rakal bersolek untuk meninggalkan pe­gunungan. Para lelaki mencoreng wajah dengan warna hitam dan jingga; perempuan me­nyelimuti kulit dengan bintik-bintik. 

Kami mencapai kamp bernama Wakau, se­tengah perjalanan menyusuri sungai, menjelang tengah hari. Tiba-tiba kami mendengar siul­an orang dari pegunungan—sisa orang Mea­kambut yang kembali dari punggung bukit. Kelompok Embarakal memutuskan untuk ber­gabung, dan John meminta saya untuk me­nemukan Lidia, Michael, dan bayinya dan mengirimkan mereka pulang kalau sudah sehat. Saya lega karena John tidak ikut. Saya khawatir apa yang akan terjadi jika Lidia telah tiada. Kami tiba di tempat perahu motor saat petang dan menyusuri sungai hingga gelap se­belum akhirnya tiba di desa Awim. Klinik satu-satunya di wilayah itu tak memiliki pasok­an obat untuk menolong Lidia yang ada di sana. Tetapi ia masih hidup. Antibiotik me­nyelamatkannya. Ia lemah dan tak bisa berjalan. Kami memberinya infus malam itu. Michael dan anaknya juga membaik. Saat subuh, Lidia tersenyum dan berdiri tertatih-tatih.

Saat makan pagi, Sebastian Haraha memberi tanda agar saya duduk di sampingnya. Se­mentara waktu ia terpaksa menunda ren­cana­nya memetakan gua-gua Meakambut—yang bertujuan untuk menyelamatkan ha­bi­tat dan budaya mereka di masa mendatang. Baginya pilihannya jelas. Pertama-tama ia adalah manusia, baru kemudian etnografer.

“Melindungi gua? Apa gunanya jika tak ada orang Meakambut tersisa?” tanyanya marah. Keadaan Lidia membuatnya gamang. “Orang Meakambut di ambang kepunahan. Mereka mati karena penyakit yang mudah diobati. Dalam waktu sepuluh tahun mereka bisa benar-benar habis. Budaya serta bahasanya akan lenyap. Inilah kaum nomaden terakhir di Papua Nugini!” Ia jelas kesal, tetapi juga bersemangat.

“Jika saya kembali ke Port Moresby, saya akan langsung menuju kantor perdana menteri dan melakukan sesuatu.” Saya mengangguk, lalu menyampaikan pesan John kata demi kata: “Kami, orang Meakambut, akan berhenti ber­buru dan selalu berpindah dan tinggal di gua di gunung, jika pemerintah memberi kami klinik dan sekolah, dan dua sekop dan dua kapak, sehingga kami dapat membangun rumah.”