Belanga Budaya Marseille

By , Jumat, 24 Februari 2012 | 14:40 WIB

Seluruh lingkungan permukiman di­penuhi imigran yang berusaha menemukan tempat untuk kehidupan baru dan menerapkan kebudayaan lama mereka, meskipun kedua unsur itu berevolusi menjadi sesuatu yang baru dan berbeda. Salah satu masjid tertua kota itu, El Takwa, terdapat di sini; di sejumlah kafe, kaum lelaki tua menyeruput kopi sambil mengenakan kopiah khas Kepulauan Komoro; banyak wanita mengenakan jilbab yang biasa di­kenakan wanita Muslim konservatif. Hanya se­gelintir yang mengenakan pelindung wajah sangat konservatif, niqab, yang menutupi se­luruh wajah.

Dan sekarang semakin sedikit yang mengena­kannya. Pada April 2011, peme­rintahan Presiden Nicolas Sarkozy melarang pemakaian pelindung wajah di depan umum. Saat Idul Adha, saya duduk di dekat pasar di Rue Longue des Capucins—yang tampak seperti jalan di Aljir atau Tangier—menikmati segelas anggur merah. Saya perhatikan seorang lelaki berjanggut di pasar menggendong sesuatu yang tadinya saya kira bayi telanjang.

Kemudian, saya baru sadar bahwa benda itu itu kambing yang sudah dikuliti dan siap disembelih. Penyembelihan domba setiap tahun pada hari Idul Adha ini menjadi masalah politik karena pemerintah kota berusaha membatasi agar penjagalan resmi dilakukan di pinggiran kota. Namun, bahkan di situ pun, mereka yang tidak menyukai budaya Muslim yang dianggap keterlaluan mengatakan banjir darah hewan itu sebagai lambang kebiadaban.

“Terdapat xenofobia yang menyeruak dari waktu ke waktu,” Gaudin mengakui hal itu saat kami berbincang di kantornya. “Tetapi, kebijakan saya justru benar-benar bertolak belakang—kebijakan tentang kedermawanan, persaudaraan dan persatuan—sejauh yang dapat saya lakukan.”

Salah satu ujian bagi usaha Marseille untuk menampung penduduknya yang terus mem­bengkak yang merupakan masalah de l’immigration adalah pertanyaan tentang apa­kah, di mana, dan bagaimana kaum Muslim ber­ibadah. Pada hari Jumat, sejumlah rumah ibadah yang relatif kecil di Marseille menye­babkan jamaahnya meluap ke jalan, dan kadang menghalangi jalan. Pemandangan ini disitir oleh politisi sayap kanan sebagai bukti bahwa gerombolan Islam telah merambah kota. “Kita warga Prancis digantikan oleh orang lain dan budaya, agama, dan pola hidup mereka,” kata Stéphane dari Front Nasional sayap kanan. “Gelombang imigrasi begitu deras dalam 20 tahun terakhir ini sehingga kita terbenam.”

“Terdapat lebih dari 70 masjid dan musala di Marseille,” kata Gaudin, tetapi jelas jumlah ini tidak cukup. Gagasan mendirikan masjid besar telah menarik dukungan. “Penduduk setuju—sebanyak 60 persen. Mereka mengerti bahwa setiap agama perlu memiliki monumen yang signifikan,” kata Gaudin. Peletakan batu pertama masjid itu dilakukan pada Mei 2010. Ketua masjid agung di Paris menghadiri upacara itu. Seorang politisi Partai Sosialis menyatakan pembangunan masjid itu menandakan “masya­rakat yang hidup berdampingan penuh persaudaraan.” Pembangunan itu diperkirakan selesai pada 2013.!break!

Tiga bulan kemudian, saya meminta sopir taksi membawa saya ke lokasi itu, kompleks bangunan yang pernah berfungsi sebagai rumah jagal. “Anda meminta saya mengantarkan Anda ke lokasi itu?” tanya si sopir, yang jelas tidak menyetujui pembangunan masjid itu. “Invasi sudah dimulai,” katanya saat kami menempuh perjalanan menuju bukit.

Komite yang mendukung pembangunan masjid berencana agar muazin tidak melantang­kan suaranya dan sebagai gantinya menandai waktu salat dengan cahaya dari menara. Tetapi, kaum konservatif melancarkan protes bahwa menara bangunan bernilai Rp270 miliar itu akan mendominasi langit Marseille, yang sudah lama disediakan untuk gereja Notre-Dame de la Garde. Ketika saya tiba di lokasi itu, tidak ada tanda pendirian menara, tidak ada tanda pem­bangunan sama sekali, kecuali beberapa surat izin yang ditempelkan di dinding.

Gaudin mengusulkan agar sebagian dari kompleks rumah jagal itu diubah menjadi masjid untuk menekan biaya. Tetapi, tidak seorang pun dalam masyarakat Muslim menyetujuinya. Membayangkan penggunaan gedung di dekat tempat penyembelihan hewan di luar rumah ibadah sangat menyinggung perasaan banyak orang. Mereka bersikeras bahwa masjid harus dibangun di atas tanah kosong.

Setahun setelah peletakan batu pertama, saya datang lagi ke lokasi itu. Belum ada ke­majuan apa-apa. Orang yang menggalang dana untuk masjid dipaksa mengundurkan diri oleh pengurus lainnya. Setelah pertikaian itu, dana pun tidak mengalir lagi. Bangunan yang seharusnya melambangkan “hidup ber­dampingan dengan semangat persaudaraan” di kalangan warga Marseille justru menjadi lambang perpecahan di kalangan Muslim sendiri. Oktober lalu, setelah terus-menerus menerima protes dari para pemilik toko dan penduduk karena tidak ada tempat parkir bagi jemaah yang mungkin berdatangan ke masjid, izin pembangunannya dicabut.

“Jika Anda bukan warga Marseille, Anda pasti mengira ada perasaan kebersamaan yang indah, tempat semua komunitas [Muslim] berbaur,” kata Omar Djellil dari Masjid El Takwa di Porte d’Aix.

“Tetapi, itu hanya dari luar. Karena keterikatan budaya, orang lebih suka berkumpul dengan kalangannya sendiri. Warga Kepulauan Komoro dengan sesama warga Komoro, warga asal Aljazair dengan se­sama Aljazair, warga asal Moroko juga dengan sesama Maroko. Voilà!”